Sumber Ilustrasi: Vice.com
KITA baru saja menyaksikan perang terhadap perempuan dideklarasikan di layar kaca.
Seorang da’i bernama Febri Sugianto yakin kalau pembalut dan sepatu hak tinggi membuat perempuan susah untuk punya anak. Zulkifli Muhammad Ali menuduh tiap ibu yang melahirkan dengan metode sesar mengalami gangguan jin. Kemudian Syamsuddin Nur Makka, dalam sebuah ceramah yang kini sudah jadi klasik, mengatakan bahwa ganjaran untuk laki-laki saleh adalah pesta seks di surga.
Profesi ustadz, menurut penulis Nadirsyah Hosen, ‘adalah profesi paling mudah di dunia’. Untuk menjadi ustadz, seorang muslim tak memerlukan sertifikat profesi.
Sebentar—sertifikat profesi?
Faktanya memang, agama adalah bisnis terbesar di dunia dan itu tak hanya di Indonesia. Di Amerika Serikat, studi Religious Freedom & Business Foundation pada 2016 menyebutkan bahwa sumbangan sosial ekonomi dari agama dapat menyentuh angka sekitar $1.2 triliun dolar yang datang dari pelbagai sumber, salah satunya adalah media. Tren ini terus naik sejak 1980an, ketika mimbar-mimbar dan TV di Amerika menyiarkan pesan-pesan televangelis klasik seperti Jimmy Swaggart dan Jerry Falwell yang terobsesi dengan dosa, terduga pendosa, dan potensi orang lain berbuat dosa—seraya mempersetankan tubuh perempuan sebagai sumber dosa.
Sebagai mayoritas di Indonesia, umat Islam adalah pasar tersendiri. Stasiun-stasiun televisi berlomba-lomba untuk menarik perhatian dengan menyiarkan acara berlabel islam yang dikemas dalam berbagai bentuk. Soalnya adalah, Islam seperti apa yang ditawarkan?
‘Jimmy Swaggart’ dan ‘Jerry Falwell’ berwajah Melayu dan fasih bertutur dengan logat Arab kini mudah ditemui di stasiun-stasiun TV nasional beberapa tahun belakangan. Setelah sesak dengan sinetron yang menghina kecerdasan atau panggung joget macam ‘Goyang Cesar Yuk Keep Smile’ dan sejenisnya, kini yang berjaya di TV adalah ceramah keagamaan seperti Islam itu Indah (Trans TV) hingga Inspirasi Iman (di TVRI, yang menghadirkan Felix Siauw). Tidak sekali-dua kali materi acara-acara ini mempromosikan sektarianisme, paham keagamaan yang eksklusif, merendahkan umat agama lain, dan tak lupa, mempersetankan perempuan.
Di layar kaca kita hari ini, pesan-pesan ini dikemas sebagai hiburan—lebih tepatnya hiburan agama, religiotainment.
Saya hanya bisa membayangkan seperti apa rasanya berada di studio bersama banyak penonton perempuan lainnya ketika Febri Sugianto menyebutkan bahwa salah satu alasan perempuan susah punya anak adalah karena pembalut dan sepatu hak tinggi. Selain itu, pembalut yang dipakai perempuan mengembalikan bakteri jahat ke dalam rahim. Menurut teori Febri yang luar biasa bizzare, titik reproduksi perempuan terletak di tumit, sehingga menggunakan hak tinggi dapat membuat perempuan susah punya anak.
Febri Sugianto memang tak memiliki kapabilitas apapun untuk berceramah mengenai kesehatan reproduksi. Ia tak pernah mendalami ilmu kedokteran sehingga apa yang disampaikan baiknya diabaikan saja.
Namun, televisi memfasilitasi kesesatan berpikirnya sehingga ditonton oleh jutaan orang. Pesan Febri sekadar menguatkan prasangka-prasangka keblinger tentang seksualitas perempuan dan melanggengkan stigma buruk terhadap perempuan. Menstruasi, suatu proses alamiah dalam tubuh perempuan, dianggap sebagai horror. Masih belum cukup?
Ucapan Febri Sugianto tentang hubungan tumit dan kemandulan hanya menguatkan pandangan patriarkis bahwa perempuan yang tak bisa memiliki anak sama sekali tak ada nilainya.
Tidak perlu penjelasan yang lebih detail mengapa Febri layak disebut misoginis, ‘kan?
Sebagai seorang ibu, pengalaman saya melahirkan adalah proses antara hidup dan mati. Walaupun melahirkan dengan cara normal, bukan berarti saya memandang operasi sesar mengurangi esensi seorang ibu. Saya mengenal banyak ibu hebat, yang melahirkan dengan cara sesar maupun tidak, memberi anaknya susu formula, serta bekerja di luar rumah.
Ketika mendengar ceramah Zulkifli Muhammad Ali bahwa operasi sesar mengundang gangguan jin, saya hanya bisa tersenyum pahit.
Pesan Zulkifli Muhammad memperkeruh perdebatan abadi tentang ibu rumah tangga vs ibu pekerja, melahirkan normal vs operasi bedah sesar, atau ibu ASI vs susu formula. Ia memasok bahan bakar untuk debat kusir yang telah memecah-belah perempuan menjadi dua kubu yang saling cerca.
Tidakkah ironis melihat masih banyak perempuan yang memandang sesamanya sebagai warga kelas dua, hanya karena tidak menikah, tak punya anak, atau bekerja di luar rumah?
Bagi da’i-da’i ini, perempuan tak ubahnya monster—kendati mereka kerap berbusa-busa memuliakannya sebagai ‘ibu’.
Semua kebudayaan, tulis Barbara Creed dalam The Monstrous Feminine, punya bayangan sesosok perempuan menyerupai monster. Dalam imajinasi itu, hal-hal alamiah yang melekat pada perempuan dipandang sebagai sesuatu yang mengganggu tatanan sosial. Perempuan selalu dinilai ‘menyalahi kodrat’, ‘melampaui batas’, atau ‘ngelunjak‘—dan karena itu harus dikekang, disunat, dipasung, dinikahkan cepat-cepat.
Strategi mempersetankan perempuan seperti ini pernah dilakukan oleh Orde Baru. Pada awal Oktober 1965, Angkatan Darat menyulap Gerwani jadi sosok monster yang luar biasa buas. Gerakan perempuan terbesar di Indonesia yang dulu terlibat aktif membela perempuan di kampung-kampung, mengajari baca-tulis, menentang poligami, tiba-tiba digambarkan sebagai jagal. Bagi para propagandis Orde Baru, aktivitas Gerwani membahayakan supremasi laki-laki di puncak piramida sosial.
Masuk akal bukan, jika salah satu propaganda maut yang disebarkan tentara adalah cerita para perempuan yang menjagal penis para jenderal sambil menari telajang?***