DALAM beberapa dasawarsa terakhir, diskusi soal kategori “ruang” dalam teori Marxis dapat perhatian yang signifikan. Hal ini bukan saja disebabkan oleh berlimpahnya literatur-literatur mengenai tema tersebut, lebih penting lagi adalah fungsi turunannya yang langsung dapat menajamkan diskusi praktis soal masalah perumahan sosialis, tata ruang taman publik, transportasi umum, pembagian pusat industri, pasar dan perdagangan, sampai masalah sanitasi dan kebersihan kota-kota. Dari gagasan abstrak seperti “produksi ruang”, kini diskusi ruang lewat perspektif Marxis telah jauh menekel masalah “jumlah ideal pepohonan dalam kompleks perumahan pekerja industrial tipe A”. Perkembangan yang menggembirakan.
Biar begitu diskusi ruang saya rasa masih timpang jika tidak dilengkapi diskusi aspek “waktu”. Alasannya sederhana saja, kita tidak hidup di dunia bermatra (dimensi) tiga, tetapi di dunia bermatra empat yang melibatkan ruang, juga kategori “waktu”. Untuk melengkapi diskusi aspek ruang ini, akan coba diluangkan diskusi soal kategori “waktu” yang berangkat dari serpihan-serpihan catatan Marx dari kajian filsafat alam doktoralnya, Grundrisse, dan tentu saja, Kapital. Disebut “serpihan” sebab Marx kemungkinan besar masih menyisakan tulisan-tulisan soal kategori waktu di tempat yang lain. Lokasi-lokasi tulisan ini dipilih sebab Marx di sana menjernihkan pandangannya di tiga segi krusial: filsafat alam, ekonomi-politik dan satu hal yang ia sebut sebagai “produksi komunal”. Jika pembahasan Marx mengenai kategori “ruang” ikut menyumbang pada penataan kota-kota paling layak huni di dunia saat ini, mestinya ada sesuatu yang bisa dipetik dari diskusinya mengenai kategori “waktu”.
“Di produksi berbasis komunal” tulis Marx di Grundrisse, “faktor waktu penting artinya”. Ia menambahkan, saya parafrasakan, “semakin sedikit waktu yang digunakan oleh masyarakat untuk memproduksi kebutuhan dasar, akan semakin banyak waktu yang tersisa bagi aktivitas lainnya”. Di tempat yang sama Marx lalu menelurkan istilah “ekonomi waktu” sebagai sebuah cara pengorganisasian dari “produksi komunal” ini. Ekonomi waktu mengacu pada langkah reduksi semua aktivitas ekonomi ke ukuran waktu. Pertanyaannya, bagaimana mungkin? “Ekonomi…waktu”? Ide gila macam apa lagi ini? Karena sulit dibayangkan kita akan meminjam sebuah episode eksperimen reformasi sosial dari seseorang penulis dan enterpreneur gagal bernama John Gray [1799-1883] sebagai semacam ilustrasi.
Di Inggris Raya tahun 1825 John Gray menerbitkan sebuah pamflet berjudul Lectures on human happiness. Ia menulisnya setelah usahanya bangkrut dan membolak-balik buku-buku ekonomi-politik bukan memberi pencerahan justru serasa menghantam kepalanya. Gray tidak percaya, dan berusaha meyakinkan diri bahwa pada kenyataannya Adam Smith menulis “kerja adalah harga pertama—uang-pembelian asli dari semua pembayaran barang-barang”, dan David Ricardo meyakini ‘waktu-kerja’ (labour-time) sebagai ukuran dasar dari pertukaran barang-barang di pasar. Apapun perbedaan detail teoretis yang ada pada keduanya, mereka sama-sama meyakinkan Gray jika kerja dan ranah produksi punya tempat primer di dalam ekonomi.
Sebagai hasilnya Gray, bersama beberapa orang lain, lantas mengajukan usulan penggunaan ‘sertifikat kerja’ sebagai sarana distribusi dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat kepada pemerintah. Sertifikat ini, direncanakan berisi catatan waktu-kerja yang digunakan sebagai satuan persis besaran curahan kerja, sehingga dapat menggantikan uang sebagai alat pembayaran dan sarana pertukaran barang-barang. Gray hakul yakin, usulnya ini mampu menghapus efek-efek merugikan dari penggunaan uang logam dan kertas yang rentan dimanipulasi otoritas keuangan; seraya mempermudah pekerja mengetahui, mengontrol, dan memperbanyak secara langsung upah riil yang mereka miliki. Selain lebih efesien, Gray percaya cara ini bisa membawa masyarakat ke bentuk distribusi pendapatan yang jauh lebih adil.
Selain pemikiran Smith dan Ricardo, ada konteks historis khas yang melatari usul Gray. Ia menulis pamfletnya saat revolusi industri ikut mengerek perubahan-perubahan besar. Di Inggris Raya, Gray menyaksikan dikenalkannya standar baru, Greenwich Mean Time (GMT). Ini adalah sistem koordinasi waktu baru yang dipergunakan sejak sistem transportasi modern seperti kereta api dan kapal laut jadi jauh lebih cepat: saat pengiriman 100 Kg batu bara dari kota A ke kota B tidak lagi diprakirakan tiba “sekitar 5-6 hari” atau “satu-dua minggu”, tetapi lebih persis: “Hari senin, pukul delapan pagi”. Memang sulit membayangkan dunia tanpa jam harian, tapi revolusi industri memang bukan bawaan spesies manusia. Pasca revolusi industri, standar waktu internasional seperti GMT (dan perkembangannya seperti Coordinated Universal Time dan Jam Atom yang jadi standar waktu digital di era kontemporer) dalam arti tertentu berperan sebagai semacam “birokrasi ekonomi” yang bertugas memilah-milah, sekaligus menyeragamkan, pertama-tama, standar pergerakan sirkulasi ekonomi.
Penyeragaman waktu yang kian universal ini tepat sekali jika dipandang sebagai warisan khas kapitalisme. Evans-Pritchard pernah menulis soal konsepsi waktu suku Nuer yang diatur bukan seturut angka-angka jam yang kita kenal, tetapi aktivitas menggembala sapi. Waktu makan siang orang Nuer bukan “jam 01.00 siang”, atau “setelah empat kali bolak balik jam pasir”, melainkan saat semua sapi gembala sudah berada di hamparan sabana. Evans-Pritchard juga mencatat bahasa suku Nuer bahkan tidak punya istilah yang mengandung pengertian serupa dengan istilah ‘waktu’ yang kita kenal sekarang. Sebenarnya tidak perlu jauh-jauh ke suku Nuer di Sudan, ada contoh menarik lagi dari orang Trunyan di Bali. Konon sampai tahun 1975, anak muda orang Trunyan biasa membeli arloji rusak sebagai perhiasan. Sebabnya tidak lain karena orang Trunyan sampai saat itu masih memakai konsepsi waktu yang berlainan dengan saudara sebangsanya di Jakarta. Jika ditanya kapan waktu berangkat ke sawah, orang Trunyan tidak melihat arloji rusak itu dan menjawab “pukul 05.00 pagi”, melainkan “Kruyuk siap kadua”, istilah waktu lokal yang menunjuk kokok ayam jago kali kedua lepas tengah malam. Jadi bisa dikatakan di komunitas-komunitas yang belum terpapar kapitalisme, masyarakat memiliki kategori waktu khas yang berlainan sekali dengan yang kita kenal sekarang.
Di ranah pemikiran, adanya perbedaan konsep waktu di sejarah masyarakat melahirkan konsep-konsep waktu yang berlainan. Konsepsi waktu yang terkoordinasi, dibagi secara geografis dan memiliki ukuran pusat, dibedakan dengan konsep waktu yang lebih sederhana. Waktu meski dimaknai berbeda-beda dari satu masyarakat ke masyarakat lain, pada dasarnya selalu memainkan peran penting dalam organisasi sosial. Lebih dari itu konsep waktu masyarakat juga selalu direpresentasikan secara simbolik: bahasa, tulisan, angka-angka. Dengan demikian konsepsi waktu masyarakat jamak dipahami sebagai bagian aspek kultural. Waktu diciptakan, dibagi dan disepakati oleh anggota-anggota masyarakat. Pandangan ini agaknya menyuntikkan pengertian adanya keragaman pemaknaan simbolik antar masyarakat. Akan tetapi efek sampingnya tidak selamanya eksplanatif. Saya ingat suatu kali membaca tulisan Lewis Mumford yang menganggap waktu sebagai perkakas paling tiran dan otoriter di masyarakat modern.
Bagaimana pandangan Marx?
Pertama, dalam kajiannya atas dua filsafat alam atomis kuno, Demokritos dan Epikuros, Marx sendiri memahami waktu sebagai sifat dari alam fisik-material. Jadi, Marx tidak mengelirukan waktu dengan representasi simbolis-kultural-nya seperti jam pasir, kalender, “Kriyuk siap kadua”, atau jam digital. Ada-tidak adanya manusia, dengan kata lain, tidak memengaruhi keberadaan waktu, jadi Marx bisa dibilang memandang waktu sebagai seorang realis. Kedua, dalam perbandingannya dengan ruang (komposisi), Marx (dan Epikuros) melihat ruang adalah bentuk pasif dari alam fisik-material, sementara waktu adalah bentuk aktif-nya. Jika ruang adalah perwujudan dari substansi material yang berubah (aksiden), maka waktu adalah (maafkan saya) “perubahan yang mencerminkan dirinya sendiri, perubahan sebagai perubahan” (aksiden dari aksiden). Memakai contoh geometri, jika kita dapat mengukur “panjang”, “lebar”, “tinggi” dari alam fisik, maka itu adalah “ruang”-nya, sedangkan jika punya ukuran “tadi”, “sekarang”, atau “nanti”, misalnya, itu adalah bukti bahwa alam fisik-material itu sedang berubah, sedang bergerak. Ketiga, waktu disebut Marx sebagai “bentuk absolut penampakan”. Dengan kata lain, waktu dapat ditangkap panca indera manusia. Jika dirumuskan secara singkat, atomisme Marx muda mendefinisikan waktu sebagai penampakan alam fisik-material yang menandai pergerakan/perubahan, atau waktu adalah penampakan gerak alam.
Menurut saya pandangan atomis Marx muda soal kategori waktu lebih memiliki nuansa. Pertama, konsepsi ini dengan membasiskan waktu pada alam, membantu kita tidak terjatuh pada relativisme kultural yang implisit di Mumford. Relativisme kultural memang mampu menjelaskan kekayaan puspa ragam konsepsi waktu sejarah masyarakat, akan tetapi ia akan kesulitan menjelaskan tendensi keseragaman dari konsep waktu pasca revolusi industri. Ia juga akan kesulitan mengapa Mumford sampai mengatakan waktu modern bersifat otoriter—mengapa konsep waktu modern memiliki kekuatan memaksa? Kalau benar konsep waktu sekadar ciptaan kebudayaan masyarakat, semestinya kita dapat melenyapkan otoritas waktu hanya dengan melupakannya saja. Selain itu, yang paling penting, relativisme menutup sama sekali diskusi peluang pemanfaatan positif waktu di masyarakat pasca-kapitalisme. Seperti yang barangkali terlihat, justru varian-varian dari pandangan seperti ini yang ditolak oleh tulisan ini sejak awal. Hal kedua, konsepsi waktu Marx mampu menghadirkan konsepsi waktu sebagai kualitas dari alam fisik-material. Kualitas, sama-sama kita tahu, dicirikan kemampuannya ditangkap inderawi manusia. Di satu sisi ini menjelaskan mengapa masyarakat pra-kapitalis cenderung memiliki waktu yang kualitatif, sembari di sisi lain memberi dasar kritik atas konsepsi waktu di kapitalisme yang kuantitatif belaka. Yang menarik, persis kekurangan penalaran kualitas-kuantitas ini yang juga mewarnai kritik Marx terhadap eksperimentasi Gray yang sudah kita singgung sebelumnya.
Benar jika Marx, seperti Smith, mengakui bahwa “kerja adalah harga pertama”, dan seperti Ricardo, memaknai waktu-kerja bersifat konstitutif terhadap nilai komoditas. Jika komoditas A dan komoditas B dapat dipertukarkan, maka mesti ada ukuran bersama pertukaran A-B. Ukuran bersama itu kita tahu adalah nilai. Dan nilai menurut Marx, besarannya (magnitudo) diukur oleh kuantitas dari “waktu-kerja yang diperlukan secara sosial” dalam skala jam, hari, dsb. Kawan Gray lantas menyimpulkan: jika nilai komoditas diukur oleh waktu-kerja yang kuantitatif, maka mestinya kita bisa mengganti uang (yang selalu kuantitatif) dengan catatan waktu-kerja.
Dua hal luput. Pertama, nilai mesti dipahami bukan sebagai besaran waktu-kerja berdasar komoditas individual. Nilai selalu bersifat sosial. Ini sebab Marx memakai istilah “waktu-kerja yang diperlukan secara sosial”, sebab yang dihitung bukan curahan waktu-kerja individual dari satu orang pekerja, atau bahkan dari ribuan pekerja di satu sektor tertentu. Nilai adalah lebih tepat dipandang sebagai hukum yang mengatur gravitasi pertukaran antar komoditas yang besarannya bergantung pada kondisi-kondisi sosial seperti kemajuan daya-daya produktif. Kedua, pertukaran komoditas kapitalis masih memiliki kewajiban memenuhi kebutuhan masyarakat. Meski di balik tiap komoditas selalu ada nilai-lebih yang dihisap, komoditas justru kita perjual-belikan, kita konsumsi, sebab ia memenuhi kebutuhan. Komoditas yang dihasilkan “pabrik-pabrik kapitalis” itu, memiliki kegunaan sosial. Pertukaran nilai satu komoditas sebab itu (yang terlihat dalam bentuk pertukaran paling sederhana seperti barter) selalu terjadi dengan komoditas lain yang memiliki nilai yang dapat disetarakan, namun justru memiliki kualitas yang berbeda; peran mengayomi ragam kualitas-kualitas komoditas ini yang disediakan oleh uang. Waktu-kerja di dalam kapitalisme, tidak dapat digunakan sebagai ukuran pertukaran sebab ia hanya menciptakan nilai. Padahal komoditas bukan hanya nilai, melainkan juga nilai-guna. Dengan kata lain Gray berangkat dari fakta sistem produksi untuk mereformasi sistem distribusi-sirkulasi tanpa melihat perbedaan spesifik di tiap ranahnya.
Jika Marx mengkritik Gray yang menginginkan penggunaan waktu-kerja sebagai sarana distribusi-sirkulasi komoditas, lantas mengapa ia sendiri mengangankan sebuah “ekonomi waktu” dalam “produksi komunal”? Seperti sudah kita lihat, penggunaan dan lahirnya konsepsi waktu yang universal adalah sumbangsih dari kapitalisme. Sektor produksi (jam kerja), distribusi (transportasi), hingga sirkulasi (bank) di era ini makin mengarah pada konsepsi Marx soal ekonomi waktu: waktu kian dipakai sebagai ukuran aktivitas perekonomian. Menghadapi fakta-fakta ini Marx pada dasarnya memandang kapitalisme menyediakan prasyarat bagi “produksi komunal” yang ia diskusikan. Dukungan Marx atas ekonomi waktu ia tarik dari kecenderungan “perata-rataan kerja-kerja kompleks ke kerja-kerja sederhana”, alias kecenderungan perluasan massa pekerja modern berkat peningkatan daya-daya produktif di kapitalisme yang maju. Sayangnya kapitalisme terus dihantui problem yang sama, yakni ketiadaan perencanaan. Perencanaan tidak dapat dilakukan di “produksi privat” yang pemilik, penguasa, dan penentu produksinya saling berkompetisi mengejar laba satu sama lain. Meski saya sebut memiliki kewajiban sosial memenuhi kebutuhan masyarakat, di dalam “produksi privat” pemenuhan ini berjalan sendiri-sendiri, saling berkompetisi, tidak terkoordinasi dan justru dikendalikan pasar yang irasional. Sementara kewajibannya bersifat sosial, hak miliknya bersifat individual, dan pengendaliannya diatur secara irasional. Akibatnya kategori waktu yang kian universal dan presisi justru dipakai sebagai alat ukur penggenjot akumulasi: jam kerja berlebih, target skala produksi di luar batas kebutuhan masyarakat atau spekulasi-spekulasi “masa depan” a la pasar saham.
Menurut saya, gagasan Marx soal perencanaan ekonomi waktu di produksi komunal dapat dilaksanakan jika kepemilikan privat—setidaknya di cabang-cabang ekonomi utama—dihapuskan, sehingga melapangkan jalan bagi perencanaan ekonomi, sambil mendorong maju peningkatan daya-daya atau tenaga-tenaga produktif sebagai prasyarat dasar bagi penyederhanaan kerja-kerja kompleks, membutuhkan jam kerja tinggi, menjadi lebih sederhana dan dapat dilakukan secara lebih massal dan merata. Peningkatan daya-daya produktif juga prasyarat bagi kalkulasi waktu atas segala cabang ekonomi. Hal terakhir ini agaknya sudah dimungkinkan oleh tingkat perkembangan teknologi digital-internet dewasa ini. Belum lagi jika mengingat capaian signifikan dari kajian-kajian penggunaan-waktu (time-use studies) di negara-negara maju beberapa dekade belakangan, yang bukan hanya menghitung penggunaan waktu pekerja, namun juga berhasil memperhitungkan waktu-kerja kerja-kerja domestik yang sebelumnya tidak diperhitungkan. Biar begitu gagasan ekonomi waktu tetap meninggalkan permasalahan. Salah satu tantangan terbesar dari penerapan ekonomi waktu adalah menetapkan prosedur spesifik reduksi kerja-kerja berkeahlian (skilled worker) yang masih tersisa dan dibutuhkan oleh industri ke besaran waktu yang kuantitatif. Tanpa berhasil menetapkan prosedur ini, kontradiksi kerja mental dan kerja fisik akan tetap tinggal sebagai misteri. ***