Gerakan Buruh Sebagai Gerakan Identitas?

Print Friendly, PDF & Email

BAGAIMANA kita menilai perkembangan gerakan buruh saat ini? Buat saya, secara organisasi gerakan buruh mengalami kemajuan yang sangat pesat dibandingkan 15 atau 20 tahun lalu. Kebebasan berorganisasi dijamin, serikat buruh menjamur di mana-mana, dan aksi-aksi buruh bukan lagi hal yang terlarang.

Namun demikian, secara politik dan ideologi, gerakan buruh mengalami kemunduran luar biasa. Gerakan buruh hanya asyik dan aktif mengadvokasi isu-isu partikularnya atau isu-isu sektoralnya semata: menuntut naik gaji, menuntut penghapusan kerja kontrak, menuntut penghapusan pasar kerja fleksibel, menuntut jaminan keselamatan kerja. Pokoknya, isu-isu yang hanya berkaitan dengan dirinya sendiri.

Di luar isu-isu sektoral itu, gerakan buruh bungkam dan tutup mata. Gerakan buruh diam ketika terjadi persekusi terhadap kelompok minoritas agama, etnis dan orientasi seksual. Gerakan buruh bungkam terhadap penindasan yang dilakukan korporasi dan aparat keamanan terhadap petani. Gerakan buruh tidak menunjukkan solidaritasnya terhadap aksi-aksi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertindas lainnya dalam masyarakat. Intinya, selama itu tidak berkaitan dengan kepentingan khusus kaum buruh, maka gerakan buruh tidak peduli.

Pada titik ini, gerakan buruh hanya menjadi sekadar gerakan berbasis Politik Identitas. Dan karena itu, gerakan buruh sangat mudah terjebak menjadi gerakan yang konservatif, terpisah dan terisolasi dari gerakan rakyat tertindas lainnya. Apa-apa yang mengancam manfaat yang dinikmatinya akan mereka lawan, bahkan sesama buruh pun bisa saling bermusuhan. Itulah yang terjadi ketika sebagian serikat buruh menjadikan tenaga kerja asing (asal Cina) sebagai musuhnya. Di sini serikat buruh menjadi gerakan bersendikan nasionalisme sempit, bukan mengadvokasi solidaritas pekerja internasional yang sama-sama ditindas oleh sistem kapitalisme.

Politik Identitas gerakan buruh juga menyebabkan mereka gampang digiring oleh elit-elit serikat untuk kepentingan politik para elit tersebut. Dalam momen pilkada DKI yang sarat kampanye SARA, kita temukan elit-elit serikat buruh yang mendukung pasangan Anies-Sandi yang mempromosikan kampanye SARA itu. Padahal tidak ada sama sekali jaminan bahwa pemenang Pilkada ini akan memperbaiki kualitas hidup kaum buruh.

Politik Identitas gerakan buruh juga membuat kompetisi antar serikat menjadi tidak sehat: rebutan massa, rebutan pabrik, rebutan teritori pengorganisiran, atau karena perbedaan garis politik masing-masing serikat. Bahkan di antara sesama buruh individual terjadi saling sikut-menyikut, cari muka ke atasan atau majikan demi memerptahankan hidup dan pekerjaannya. Akibatnya, jangankan solidaritas dengan sesama kaum tertindas, solidaritas sesama serikat pun sangat sulit terbentuk.

Dengan menguatnya Politik Identitas gerakan buruh ini, maka sulit untuk menyaksikan gerakan buruh menjadi pelopor perubahan sosial secara keseluruhan. Dalam sistem kapitalisme pos-fordisme saat ini, dengan neoliberalisme sebagai ujung tombaknya, maka aksi-aksi sektoral gerakan buruh sama sekali tidak akan menggoyahkan kekuasaan kelas kapitalis. Dengan pergerakan kapital yang sangat cepat dari satu teritori ke teritori lainnya, maka aksi-aksi sektoral bukanlah jawaban. Bahkan, aksi-aksi sektoral itu hanya akan memperkuat kedudukan kapital. Aksi menuntut kenaikan upah, misalnya, mengasumsikan bahwa kaum buruh ingin agar pemodal itu tetap eksis, tetap meraih keuntungan maksimal dan berkelanjutan, dan juga tetap menindas mereka. Hanya saja, naikkan sedikitlah upah kami.

Namun jika serikat terus-menerus melakukan mogok, pabrik bisa tutup. Sebagian aktivis serikat berpendapat, jika pabrik tutup maka gerakan buruh harus merebut pabrik tersebut, mendudukinya dan menjalankannya secara swakelola. Bukankah anggota serikat sudah memiliki keahlian, baik dalam hal permesinan maupun manajerial? Dalam banyak kasus, tidak hanya di Indonesia, aksi-aksi perebutan dan pendudukan pabrik ini mengalami kegagalan: karena soalnya bukan hanya mengoperasikan pabrik, memproduksi barang dan menjualnya, tapi bagaimana keluar dari lingkaran penindasan kapital? Apa artinya pabrik yang dikelola oleh kaum buruh tapi tetap menjalankan prinsip-prinsip kerja kapitalisme?

Sampai di titik ini, kita lihat bahwa kemajuan organisasi yang dicapai oleh gerakan buruh saat ini tidak memadai dalam memperjuangkan hak-haknya. Tanpa kesadaran politik dan ideologi yang jelas, maka gerakan buruh hanya menjadi gerakan Politik Identitas yang akhirnya berujung buntu. Gerakan buruh harus meninggalkan Politik Identitas, karena ini secara esensial mengandaikan bahwa buruh itu sudah ada sejak adanya bumi ini dan akan terus ada selama bumi ini eksis. Sehingga apapun aktivitas gerakan buruh pasti sifatnya tambal-sulam. Inilah esensi politik identitas itu: a-historis.

Agar tidak tambal-sulam, maka kelas buruh mesti meyadari bahwa dirinya adalah sebuah kelas yang berelasi dengan kelas lainnya, yakni kelas kapitalis. Tanpa adanya kelas kapitalis maka tak ada kelas buruh, begitu sebaliknya. Dan relasi kelas buruh-kapitalis ini bukanlah sesuatu yang abadi, ia tidak muncul di zaman feudal atau perbudakan, tetapi baru muncul di zaman kapitalisme, karena itu relasi ini bisa dihapuskan. Dengan kesadaran ini, maka gerakan buruh berhadapan dengan kapitalis bukan dalam hubungan personal apalagi identitas, tapi hubungan politik dan struktural. Politiknya adalah Politik Kelas. Ia bergerak bukan untuk menuntut belas kasih kelas kapitalis, menuntut remah-remah dari keuntungan yang dipungut kelas kapitalis dalam bentuk kenaikan upah semata. Ia bergerak untuk menghapuskan sistem ini, sistem masyarakat berkelas yang membuatnya eksis sebagai buruh.

Dengan semakin gencarnya penetrasi kapitalisme di seluruh ruang dan aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan ekologi saat ini, maka solidaritas kelas buruh terhadap kelompok masyarakat lainnya yang tertindas oleh sistem kapitalisme ini menjadi keharusan. Gerakannya menjadi inklusif, terkoneksi dengan yang lain, dan bersifat universal.

Pada titik inilah baru kita bisa mengklaim bahwa gerakan buruh adalah pelopor perubahan sosial.***

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.