KALI ini saya ingin mengawali diskusi kita dengan cerita. Sebuah cerita ringan dan biasa saja, yang bisa jadi, Anda juga pernah mengalaminya. Melalui cerita ringan dan biasa ini kita berharap bisa memotret sekilas wajah Islam Indonesia yang belakangan tengah dipromosikan sebagai solusi bagi dunia.
Jumat lalu, saya sholat jumat di sebuah masjid tak jauh dari pusat kota Bogor. Seperti pada umumnya suasana masjid tiap hari Jumat, jamaah meluber hingga ke pelataran. Meski demikian, para jamaah tak perlu khawatir tak bisa mendengarkan khotbah sang khotib karena pengeras suara terpasang di tiap sudut masjid. Maka tak hanya yang sholat di sekitar masjid saja, orang-orang yang berada jauh dari masjid juga bisa mendengarkan suara sang khotib.
Singkat cerita, dengan suara lantang sang khatib menjelaskan empat syarat menuju negeri yang baldatun tayyibatun warabbun ghafur, yaitu negeri yang paripurna, yang mendapat ampunan dari Allah swt: pertama, Ulama yang mengamalkan ilmunya dengan baik; kedua, Umara (pemimpin) yang adil; ketiga, orang kaya yang dermawan; dan keempat, orang fakir yang berkenan berdo’a untuk kebaikan negeri.
Tak jauh berbeda dengan sang khotib di Bogor. Pada Jumat lainnya yang saya sendiri lupa secara persis waktunya, di sebuah masjid kecil di dusun saya di Jombang, sang khotib juga menjelaskan kunci menggapai ridlo Allah sebagai jalan menuju negeri tayyibatun wa rabbun ghafur. Baginya, hanya ada dua jalan menuju ridlo Allah dan menjadi negeri yang tayyibatun wa rabbun ghafur yaitu: taat pada semua perintah Allah dan ikhlas atas apa yang dikehendaki oleh Allah dalam hidup seorang muslim. Melalui itu, selanjutnya sang khotib menjelaskan makna ikhlas. “Siapakah orang yang mendapatkan ridlo Allah dengan ikhlas tersebut?” tanya sang khotib. Yakni mereka yang sabar serta ikhlas dengan kemiskinannya bagi yang miskin dan sabar serta ikhlas dengan kekayaannya bagi yang kaya. Karena keduanya, miskin dan kaya adalah ujian dari Allah. Siapa yang tidak kuat dengan ujian kemiskinan dari Allah akan ditempatkan di nerakanya Allah. Begitu pula sebaliknya, siapa yang tidak kuat dengan ujian kekayaan dari Allah akan ditempatkan di nerakanya Allah.
Kedua khotib, baik di Bogor dan di Jombang, meski mempunyai latar teologi berbeda[1], sesungguhnya sama-sama mengidap fatalisme akut yang melihat persoalan dunia sebagai pantulan cahaya takdir Allah yang final. Bagi cara beragama semacam ini, tak ada subjek, yang ada adalah wayang. Bahkan, melalui teologi semacam ini, agama hanya menjadi sebatas soal kesanggupan menerima kenyataan hidup sebagai situasi yang terberi. Jadi, siapa yang siap menerima takdir Allah maka rahmat Allah balasan untuknya.
Empat prasyarat yang diajukan sang khotib di Bogor, yang entah dari mana sumbernya, saya sendiri tak pernah mengeceknya, apakah dari hadis atau dari qaul Ulama, yang jelas terdengar absurd dan bagi saya bermasalah. Karena tak ada syarat-syarat material yang memungkinkannya.
Di zaman kapitalisme yang sistem kerjanya, disebut oleh Joseph A. Schumpeter secara cukup provokatif sebagai “proses penghancuran yang kreatif” (the process of creative destruction)[2], yang terus menerus menciptakan barang-barang konsumsi baru, metode-metode produksi dan transportasi baru, pasar-pasar baru, dan bentuk-bentuk baru dari organisasi industrial yang dibikin oleh perusahaan-perusahaan kapitalis, untuk menjaga tetap beroperasinya mesin bernama kapitalisme,[3] dengan menghalalkan segala cara, bahkan dengan kekerasan. Mengharapkan pemimpin yang adil, dan orang kaya yang dermawan, sementara tak ada satu prasyarat material pun yang memungkinkannya, tak lain adalah kekonyolan dan ketololan.
***
Inti dari cerita dimuka adalah kedua khotib yang kita bicarakan di sini telah menjadikan agama sebagai cara untuk mengasingkan manusia, khususnya kaum miskin atau kaum proletar, dari tanggungjawab historisnya untuk melepaskan belenggu penghisapan dari diri mereka dengan merebut kembali apa-apa yang seharusnya menjadi milik mereka. Pesan khotbah pasifis kedua khotib tersebut sangat manipulatif, intimidatif, dan menistakan manusia, khususnya kaum miskin, sebagai subjek sejarah yang menentukan sendiri takdir sejarahnya.
Melalui teologi pasifis, para pemuka agama kerap kali menganjurkan kaum proletar memperbanyak doa atas ujian hidupnya. Padahal doa tidak secara otomatis akan memperkuat iman seseorang pada Allah. Sebaliknya, doa dalam rangka kepasrahan menerima penghisapan justru makin menunjukkan betapa keroposnya iman seorang muslim pada janji Allah, yang kelak akan menjadikan kaum proletar sebagai pewaris bumi, jika mereka berkenan mengubah tatanan yang didominasi kelas penghisap menjadi tatanan baru tanpa kelas.
Kita patut curiga dengan tafsir keberagamaan semacam ini. Konon di zaman bani Umayyah, teologi pasifisme dibakukan oleh kerajaan dan dikekalkan dalam kesadaran rakyat agar tak ada seorangpun rakyat protes atas despotisme dan kedurjanaan di lingkungan keluarga kerajaan. Bahkan keluarga bani Umayyah mengklaim bahwa mereka menjadi raja atas takdir dan seizin Allah. Sehingga siapapun yang mengkritik atau bahkan melawan kekuasaan keluarga bani Umayyah dianggap sama dengan melawan takdir Allah, yang berarti melawan Allah itu sendiri.
Tentu kita bertanya, mengapa teologi pasifis seperti kedua khotib di muka masih terus bercokol di abad dua satu ini. Benarkah teologi pasifis sebagai jalan menuju akhirat atau justru sebaliknya sebenarnya adalah rencana licik bentuk-bentuk penguasaan atas dunia (baca: alat produksi) dan pelanggengan penghisapan dengan menjauhkan kaum miskin dari tanggung jawab historisnya?
Perlu kita jawab dengan tegas. Teologi pasifis adalah teologinya para penghisap! Di zaman dimana penjarahan kapitalisme terjadi di hampir seluruh penjuru dunia, pasifisme beragama merupakan racun yang berbahaya bagi kaum proletar. Agama merupakan pisau bermata dua. Bisa digunakan sebagai membelah apel atau untuk menusuk perut orang, tergantung siapa yang menggunakannya. Di tangan kaum borjuis, agama tak ubahnya obat bius yang disuntikkan ke tubuh kaum proletar untuk mengurangi rasa sakit dan pedihnya penghinaan dan penghisapan yang menimpa diri mereka. Dengan demikian, agama menjadi salah satu instrumen penghisapan dan penindasan paling efektif selain negara.
Bukan berarti kita hendak menolak agama. Tapi justru melalui kritik seperti ini, kita hendak mengembalikan spirit agama, khususnya Islam sebagaimana fitrahnya. Karena faktanya, secara historis tak bisa dibantah, mulanya agama, tak hanya Islam, merupakan jerit tangis dan pekik perlawanan kaum papa atas berbagai penghisapan pada masanya. Bahkan agama hadir selalu dalam rangka merespon penghisapan dalam berbagai manifestasinya. Maka tak ada satupun agama yang lahir dalam suatu kondisi sosial yang berkeadilan. Agama selalu hadir dalam situasi penuh gejolak kemanusiaan ketika penindasan menjadi wajah dunia.
***
Gejala suburnya teologi pasifisme ini juga dikonstruksi sekian lama oleh tendensi keberagamaan lainnya yang tanpa kita sadari mewabah di Indonesia. Kita akan kembali pada cerita khotbah jumat.
Kalau kita ingat-ingat tiap Jumat, kita seringkali mendengar suara sang khotib saling bersahutan antara masjid yang satu masjid dengan lainnya, seolah tengah berlomba menjadi corong terdepan syiar Islam. Kita bisa pahami mengapa kondisinya demikian. Tak lain karena pengeras suara oleh sebagian besar umat Islam Indonesia dianggap sebagai bagian integral dari syiar Islam. Saya sendiri seringkali dalam sebuah ceramah mengatakan Islam Indonesia sebagai “agama pengeras suara”. Islam dianggap hadir sejauh ada pengeras suara. Ketika Anda mendengar ada orang mengaji dengan pengeras suara di masjid atau musholla, persis disanalah Islam dianggap telah hadir ke dunia. Maka kalau Anda menggugatnya karena suara yang memekakkan telinga telah mengganggu banyak orang, Anda harus siap-siap dicap sebagai musuh Islam.
Tapi pertama-tama yang harus ditekankan, sebagai seorang muslim, kita tak perlu buru-buru emosi terhadap sebutan Islam sebagai agama pengeras suara. Bisa jadi, justru kritik ini sedikit membantu kita mengoreksi kegagalan kaum muslim selama ini dalam mengaktualkan dan mematerialkan Islam di dunia. Sehingga, dengan kegagalan tersebut, jarak antara klaim dan kenyataan menjadi sangat jauh sekali. Klaimnya peduli, kenyataannya tidak. Klaimnya memberi rahmat kenyataannya tidak, dan seterusnya.
Melalui medium pengeras suara inilah seolah-olah umat Islam tak perlu lagi bersusah payah membumikan Islam dalam praktik hidup sehari-hari: membela yang lemah, melawan kebatilan, serta menegakkan keadilan. Sekali lagi, Anda cukup mengaji di masjid dengan pengeras suara, atau memutar suara para qari’ mengaji dengan pengeras suara semacam syaikh Sudais, syaikh Suraim, atau ustad Muammar, Anda sudah dianggap sebagai pejuang Islam. Saya tak mengatakan ini semua keliru. Saya hanya ingin mengatakan bahwa pengeras suara merupakan wajah Islam kita di Indonesia, yakni Islam simbolik-bombastik dalam pengertian yang paling umum. Gemar mengonstruksi klaim-klaim besar namun secara faktual terbukti sebaliknya.
Dari keberagamaan pengeras suara ini, kaum muslim, alih-alih membangun prasyarat material guna mewujudkan tatanan sosial berkeadilan, justru terjebak pada pengulangan-pengulangan klaim-klaim besar yang tak bisa dimaterialkan. Baik kaum dai maupun intelektualnya terjebak dalam kubangan yang sama. Sama-sama fatalis. Para intelektual, karena keengganannya melampaui tatanan yang ada, bahkan turut mengamini secara bulat tesis Fukuyama, liberalisme sebagai akhir sejarah, sehingga menganjurkan menerima secara taqlid (membabi buta) berlangsungnya privatisasi badan-badan usaha milik negara (BUMN), dan komodifikasi SDA, yang oleh David Harvey disebuat sebagai akumulasi melalui perampasan.[4] Aneh sekali, kaum intelektual Islam yang gemar menganjurkan rasionalisme Islam tapi justru menjadi muqallid (pembebek) dalam urusan ekonomi dan politik pada mesin kapitalisme global.
Kegagalan kita selama ini karena ketidakmampuan kita mendiagnosa persoalan sesungguhnya di balik fenomena-fenomena yang tengah terjadi, yang disebabkan oleh mewabahnya kecenderungan umum atau tendensi pasifisme maupun psikologisme dalam membaca fenomena sosial-keagamaan hari ini.
Sedemikian, jika sejak pada abad 16 hingga abad 19 VOC meraup untung dari menghisap Hindia Belanda, dengan menempatkan dirinya di puncak rantai sistem upeti,[5] maka hari ini, para politisi borjuis berkolaborasi dengan para bandit nasional maupun internasional yang menjadi mata rantai tertinggi penghisapan di negeri ini. Dengan demikian, tak ada jalan lain bagi kaum proletar seluruh negeri selain harus bersatu, karena hanya dipundak merekalah negeri yang baldatun wa rabbun ghafur dimungkinkan melalui perjuangan mengintervensi politik secara langsung, lebih dari sekedar melakukan tekanan politik dari pinggir. Karena tak mungkin akan ada pemimpin yang adil kalau mereka sejak semula bagian dari para bandit. Tak akan ada ulama yang mengamalkan agamanya dengan benar, kalau sejak semula mereka menjadi bagian dari mesin penghisapan. Apalagi, tak mungkin orang kaya akan berbuat baik pada kaum miskin, karena ia bisa kaya justru karena ia menghisap kaum proletar.
Teologi pasifis harus disubstitusi dengan teologi aktif, teologinya kaum kaum proletar, yang dicirikan oleh semangat menggali persoalan dunia melalui penilikan objektif-material untuk memecahkan persoalan di dunia, sebelum mengetuk pintu surga. Jika tidak, kita hanya turut memperpanjang waktu penghisapan dan melanggengkan malapetaka. Naudzubillah mindzalik.***
Bogor, 10 April 2016
—————
[1] Ketika saya dengarkan dengan cermat, beberapa kali sang khotib di sebuah masjid di Bogor menyebut nama Sayyid Qutb, seorang ideolog Ikhwanul Muslimin Mesir yang mati di tiang gantungan, saya bisa memastikan sang khotib kemungkinan besar seorang ikhwanul muslimin. Sedangkan khotib di dusun saya di Jombang, bisa saya pastikan seorang sunni, karena secara pribadi saya mengenalnya.
[2] Joseph A. Schumpeter, Capitalism, Socialism and Democracy, London & New York: Routledge, 1976, hal. 81-86.
[3] Ibid., hal. 82-83.
[4] Lih. David Harvey, A Brief History of Neoliberalism. Oxford: Oxford University Press, 2005, hal. 157-158.
[5] Tania Murray Li, The Will to Improve, Governmentaly, Development, and the Practice of Politics, Durham & London: Duke University Press, 2007, hal. 62-63.