Sumber ilustrasi: Rimanews
KEMENANGAN Anies Rasyid Baswedan dalam pemilihan gubernur Jakarta berarti banyak hal. Kemenangan ini tidak berhenti di Jakarta. Ia bergaung di seluruh daerah di Indonesia. Daerah-daerah mendongak ke Jakarta. Politisi-politisi lokal akan belajar tentang bagaimana kemenangan ini diraih.
Tidak usah menyembunyikan kenyataan dengan kata-kata manis. Kemenangan ini adalah kemenangan yang sangat brutal. Kemenangan di mana semua yang beradab dan berakal sehat disingkirkan. Kemenangan dengan membangkitkan nafsu yang berkuasa yang paling telanjang. Kemenangan dengan kerusakan sosial yang setara dengan bom hidrogen, yang sangat sulit untuk diperbaiki.
Kalau Anda seorang politisi, Anda pasti tahu bahwa inti kekuasaan adalah penaklukan. Dalam demokrasi, Anda menaklukan pemilih dengan persetujuan (consent). Caranya, Anda mempengaruhi orang. Anda membikin orang tertarik kepada diri Anda dengan program atau dengan bujukan.
Kadang, karena kepentingan strategis, Anda memakai taktik untuk memecah belah. Anda tahu bahwa tidak akan mungkin mendapat suara dari kelompok pemilih A, maka Anda berusaha untuk memenangkan kelompok G, X, dan P, misalnya. Atau, Anda perlu memecah kelompok A dengan berbagai macam bujukan agar mereka memilih Anda.
Namun Anda tahu bahwa setelah pertarungan untuk merebut kekuasaan selesai (ini yang namanya kampanye!), Anda akan memerintah. Anda akan menjadi pemimpin untuk semua rakyat, yang memilih atau tidak memilih Anda. Apa jadinya jika saat kampanye, Anda tidak hanya membelah tetapi membakar semua tenun sosial yang ada?
Hukumnya adalah seperti masuk ke toko keramik. Anda pecahkan, Anda bayar, dan Anda miliki keramik yang sudah jadi kepingan itu. Anda tentu tidak bisa dikatakan memiliki keramik ketika keramik itu hancur lebur karena di bulldozer.
Itulah.
Saya ingin memberikan perspektif yang sedikit berbeda tentang pemilihan gubernur ini. Saya tidak terlalu peduli hasilnya. Saya tidak mendukung salah satu calon. Namun yang sangat membuat saya kecewa adalah kebrutalannya, khususnya saat kampanye. Secara lebih khusus lagi, dengan kadar rasisme yang dipakai. Rasisme yang tidak saja overdosis tapi sudah meracuni bangsa ini.
Secara kebetulan, salah satu kandidat adalah Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Kita tahu, dia adalah keturunan Cina dan beragama Kristen. Dalam kampanye, kita lihat bagaimana sentimen anti-Cina ini dieksploitasi habis-habisan. Secara bergantian kita lihat publik diingat-ingatkan bahwa Ahok adalah Cina dan kafir. Berjilid-jilid aksi demonstrasi besar-besaran dipakai, rumah-rumah ibadah diduduki, para pengkhotbah tidak lagi berbicara tentang Tuhan tetapi tentang gubernur.
Saya tahu, langkah politik Ahok diperhatikan dengan seksama oleh mayoritas keturunan Cina di seluruh tanah air. Saya mengikuti mereka di media sosial. Begitu banyak harapan yang ditumpahkan. Saya bisa merasakan perasaan mereka yang tertekan ketika orang bebas meneriakkan slogan-slogan anti-Cina di jalanan.
Saya bisa mengerti perasaan terteror mereka ketika ada yang mengatakan perempuan-perempuan pendukung Ahok layak diperkosa. Saya tahu arahnya karena hanya perempuan-perempuan keturunan Cinalah yang pernah mengalami perkosaan massal. Saya ikut dalam duka mereka ketika pendukung lawan Ahok menunjuk bahwa merekalah biang kerok kesulitan hidup mereka. Saya juga mengerti kefrustasian mereka ketika perbedaan antara Cina dan pribumi sengaja diperlebar sepanjang kampanye.
Namun disisi yang lain, saya juga melihat ada kebanggaan di kalangan masyarakat keturunan Cina. Paling tidak ada satu yang mewakili mereka untuk menduduki jabatan publik di negeri ini. Pejabat ini, Ahok, bekerja dengan baik. Mayoritas rakyat yang dilayani mengatakan bahwa mereka puas dengan kerja gubernurnya.
Beberapa teman saya keturunan Cina juga mulai belajar sejarah. Mereka tahu ada tiga keturunan Cina ikut dalam Konggres Sumpah Pemuda. Juga ada keturunan Cina dalam BPUPKI dan PPKI yang mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, bahwa golongan Cina adalah anak-anak sah Republik ini, bahwa mereka punya tanggungjawab dan hak untuk memajukan Republik ini, bahwa kemakamuran negeri ini adalah kemakmuran untuk mereka juga.
Sekaligus mereka juga belajar bahwa hanya setelah tahun 1965, golongan Cina dikeluarkan dari politik dan dicegah menduduki jabatan publik. Hidup mereka dikunci di balik teralis toko-toko mereka. Mereka hidup dan bekerja dalam perlindungan. Tentu, perlindungan tidak didapat dengan cuma-cuma. Mereka harus membayar.
Golongan Cina hanya boleh berdagang. Hakekat berdagang adalah berkompetisi: membeli semurah-murahnya, menjual semahal-mahalnya. Namun, dalam iklim “perlindungan” ini ada modifikasi. Akses untuk mendapatkan yang suplai yang murah itu dikuasai oleh penguasa. Tidak ada jalan lain untuk mendapatkan suplai murah kecuali berkolusi dengan mereka yang pegang kekuasaan. Saat itu, yang berkuasa adalah yang berbedil. Mereka sekaligus yang menjadi pelindung dan menjaga akses ke suplai yang murah.
Dalam keadaan ini, tidak terlalu heran bila kerusuhan anti-Cina menjadi sesuatu yang rutin. Manakala ekonomi sulit, ada Cina yang selalu bisa disalahkan. Bila elit rebutan kekuasaan, ada Cina yang siap dikorbankan. Mungkin Anda akan bertanya-tanya mengapa setelah 19 tahun Orde Baru runtuh, hampir tidak ada kerusuhan anti-Cina? Kebetulan?
Tentu tidak. Ini semua terjadi karena secara struktural politik kita berubah. Orang keturunan Cina lebih bebas bergerak. Akses ke suplai barang murah tidak lagi hanya dikuasai kaum berbedil. Mereka juga tidak begitu butuh perlindungan. Kalaupun mereka butuh perlindungan, mereka mencarinya di dalam masyarakat dimana mereka hidup. Dan tentu tidak dapat dihindari juga dari politisi-politisi lokal yang selalu butuh dana itu. Lebih bagus lagi, mereka pun bisa ikut berpolitik. Sebagian dari mereka jadi anggota DPRD, DPR, bahkan walikota.
Apa yang bisa dikita simpulkan dari semua ini?
Golongan Cina akan bermanfaat untuk bangsa Indonesia jika kita memperlakukan mereka benar-benar sebagai warga negara. Mereka bukan orang asing di negeri ini, seperti pemerintah kolonial Belanda yang mendudukan mereka sebagai “golongan Timur asing.” Mereka ikut dalam setiap detak perjuangan untuk mendirikan negara ini.
Saran saya kepada golongan yang selama ini mengaku pribumi dan memakai sentimen kepribumian ini untuk mencapai kekuasaan politik, berhentilah ‘mencina-cinakan’ etnis Cina. Adalah kerugian besar jika kita menyia-nyiakan bakat dan kemampuan mereka.
Pemilihan gubernur DKI Jakarta tidak sekedar tentang Ahok. Untuk golongan etnis Cina, pemilihan ini merupakan ujian terhadap persepsi bahwa suku Cina adalah penduduk asing di negeri ini. Ahok, dengan segala kekurangannya yang patut dikritik, sudah membuktikan bahwa dia mampu menjadi pelayan publik. Dia memiliki ketrampilan manajerial yang selama ini sudah terbukti berhasil membangun bisnis di kalangan orang Cina.
Berhentilah mempertanyakan loyalitas etnis Cina terhadap bangsa dan negara ini. Tidak ada dalam sejarah bangsa ini Cina sebagai satu golongan etnis melakukan pemberontakan.
Berhentilah berprasangka bahwa golongan etnis Cina akan menjadikan Indonesia negara jajahan Republik Rakyat Cina (RRC). Prasangka seperti itu tidak saja keblinger namun juga tidak dilandasi kenyataan.
Saya menangkap kepedihan mendalam dari golongan etnis Cina setelah kekalahan Ahok. Seorang kawan menulis pesan kepada saya, yang saya kira amat penting saya bagikan disini. Dia mengatakan, “Bukan masalah kalah atau menang. Kita tidak masalah kalau Ahok kalah. Tapi, cara menangnya itu yang bermasalah. Apa artinya kemenangan dengan total destruction seperti itu?”
Proses kampanye yang teramat brutal ini membuat saya sangat gelisah akan satu hal. Jika seorang politisi berkuasa lewat ekploitasi sentimen rasisme, maka ketika berkuasa ada kemungkinan besar dia akan menutupi ketidakmampuannya memerintah dengan cara yang sama. Untuk politisi yang demikian, saya kira dia harus berhenti berbicara tentang tenun-tenunan.
Mau dia obral berapa gulung pun, semua tenunan itu sudah habis dia bakar. ***