Kondisi infrastruktur jalan di Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Sabtu (14/2/2015). Kredit foto: Kompas.com
JADI banyak orang di Indonesia akhirnya bertepuk tangan atas ‘keberhasilan’ negara di bawah komando Jokowi dalam memajukan pembangunan di Papua, setelah membaca apa yang diberitakan media-media besar di Jakarta dengan judul yang bombastis. Lantas berita-berita itu dibagikan melalui media sosial, dikampanyekan, lalu menjadi semacam ikon keberhasilan, bahwa Papua adalah sungguh Indonesia dan bahwa Indonesia sungguh-sungguh telah membangun Papua.
Baca di Detik Finance, “Ada Jalan Trans Papua, dari Jayapura ke Merauke Bisa Pakai Mobil”[1]. Baca lagi berita yang diturunkan Kompas, “Jalan Trans Papua, Menembus Gunung dan Membelah Bukit”[2]. Narasumbernya jelas: Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Foto-foto yang disertakan dalam berita-berita di atas juga dari PUPR, tanpa menyebut detail lokasi foto tersebut. Paduan keindahan alam dan jalan trans yang bak ular putih di permadani hijau, itu, memikat banyak mata, membanggakan sebagian pembacanya, menggembirakan segelintir lainnya –karena jalur transportasi sudah mulai dibuka dan investasi di Papua semakin menjanjikan.
Banyak orang Papua yang protes saat membaca berita-berita hoax itu, namun tidak ditanggapi publik. Bahkan mungkin dianggap penghambat pembangunan. Boleh jadi ada yang sinis, “Kok ada ya, orang Papua yang tak ingin pembangunan.” Pembaca ditipu! Itu semua berita hoax, yang bila kita boleh mengandai-andai, adalah demi pencitraan, demi menjaga nama baik: bahwa pembangunan infrastruktur di Papua sudah terlihat keberhasilannya; bahwa pemerataan pembangunan itu telah nampak; bahwa Indonesia sungguh-sungguh membangun Papua; bahwa Papua tidak selalu identik dengan terbelakang; dan seterusnya, dan seterusnya.
Lalu muncullah Natalius Pigai dari Komnas HAM. Pimpinan kementrian PU menghadap dan minta maaf atas informasi hoax yang beredar beberapa waktu lalu. “Empat hari lalu pimpinan Kementerian PU yang paling bertanggungjawab menghadap saya dan minta maaf atas kesalahan dan janji akan perbaiki secepatnya, termasuk jalan Merauke ke Boven Digul,” papar Pigai[3]. Ternyata berita-berita keberhasilan pembangunan Trans Papua itu hoax, saudara.
Menurut Pigai, pimpinan PUPR juga tidak mampu menujukkan fakta-fakta riil dan tidak mampu menjawab lima item permintaannya terkait pembangunan insfrastruktur terpadu di Papua. Pertama, saya minta penerbitan instruksi Presiden (Inpres) untuk percepatan pembangunan infrastruktur Papua. Kedua, percepatan penyelesaian jalan dan jembatan yang rusak di Papua, lalu peningkatan kualitas pembangunan infrastruktur yang ada dan pembangunan jalan dan jembatan yang baru. Ketiga, terkait pemberdayaan orang asli papua sebagai kepala balai, dan prioritas kontraktor utama bagi OAP dimulai tahun anggaran 2017.
***
PT. Freeport Indonesia (PTFI) adalah persoalan. Lahirnya tidak dikehendaki, izin masuknya ditandatangani oleh pendatang yang mengaku diri tuan rumah. Papua Itu Kita (PIK) menulis dalam rilisnya baru-baru ini, dengan berlandaskan Kontrak Karya (KK) yang mulanya ditandatangani pada tahun 1967 dan diperpanjang hingga tahun 2021 mendatang, PTFI telah, dan akan terus menimbulkan berbagai permasalahan bagi masyarakat Papua dan kerugian bagi Indonesia. PIK juga mengingatkan bahwa KK I PTFI tahun 2967 itu illegal, karena dilakukan sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969. KK I dilaksanakan 2 tahun sebelum PEPERA, tahun 1967: Papua saat itu hanya diawasi oleh Indonesia sebagai perwakilan PBB dan belum secara resmi menjadi wilayah hukum Indonesia[4].
Gubernur Papua telah angkat bicara soal Freeport. Awalnya bicara ingin 80 persen dari hasil produksi PTFI dinikmati rakyat Papua. Lalu dukung Indonesia nasionalisasi PTFI, dengan harapan, provinsi Papua dapat kesempatan lebih luas untuk mengurus PTFI agar bisa lebih mampu bikin rakyatnya sejahtera. Semua itu tetap masih jadi mimpi. Kini para pemilik modalnya yang kaya raya. Negara dan tokoh-tokoh kunci struktural baik di pusat dan di daerah sudah dapat persen, beberapa perusahaan yang bergabung dalam proses penambangan itu tentu saja ikut rasa-rasa ‘hasil’, lalu tentu saja, TNI dan Polri. Imparsial bilang, antara tahun 1995-2004 saja, Polri dan TNI telah menerima aliran dana sebesar US$ 64 Juta dan US$ 1 juta pada tahun 2010 dari PTFI. Sedangkan KontraS melaporkan tiap bulannya anggota Polri memperoleh honor Rp 1,25 juta oleh manajemen PTFI. Tahun 2011 lalu, Indonesia Police Watch (IPW), menurut PIK juga pernah mendorong agar KPK mengusut “bantuan dana” sebesar US$ 14 juta yang dialirkan oleh PTFI pada Polri dan TNI.
Orang asli Papua dapat apa?
Boro-boro bicara seluruh orang asli Papua pemilik tanah air dan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu. Sudah dipetak-petak, saudara. Yang punya hak ulayat atas PTFI hanya 7 suku dari 260-an suku di seluruh Papua. Dan apa yang didapat mereka? Bahkan pembayaran atas tanah sebagai hak ulayat saja tidak pernah ada: dirampok, diambil begitu saja, seperti tanah tak bertuan. Pernah ada perang dan pemindahan besar-besaran orang-orang Amungme Kamoro dari tempat tinggal mereka, karena akan diambil alih sebagai areal konsesi PTFI. Mereka di pindah ke luar areal yang jauh dari tempat mereka meramu dan mendapatkan makan, dan dampak yang ditimbulkan sungguh mengerikan. Barangkali kau tak tertarik dengan cerita kematian dan penderitan. Tidak usah, bikin mimpi buruk.
Franky Samperante, direktur Pusat Budaya dan Hak-Hak Masyarakat (PUSAKA) kepada tabloidjubi.com menjelaskan, menurut penelitiannya, sejak Freeport mulai ada di Papua, belum ada satu forum atau kesempatan buat masyarakat untuk suarakan aspirasinya terkait hak-hak mereka. Negara Indonesia bilang, hasil-hasil eksploitasi kekayaan alam Papua telah dikembalikan dalam bentuk pembangunan infrastruktur dan dana Otonomi Khusus sejak tahun 2001 hingga saat ini. Sementara sejak tahun itu hingga 2015, provinsi Papua selalu bertengger di urutan paling akhir sebagai yang termiskin, yang tertinggal pembangunannya dengan angka kemiskinan tertinggi, angka buta huruf tertinggi, angka kematian tertinggi, dan diprediksi sedang mengalami slow motion genocide[5].
Benar kata syair anak Papua: kami hidup di atas emas, berenang di atas minyak, tapi semua anugerah itu bukan kami punya. Kami hanya berdagang buah-buah pinang.
***
Konon kata sejarah, pelayaran pada abad ke-16 dilakukan karena didesak oleh revolusi industri. Eropa butuh kuasai sumber bahan baku buat kuasai pasar Eropa. Konsepnya mungkin tidak berubah hingga kini: kuasai daerah-daerah sumber bahan baku, ambil dan pekerjakan penduduk setempat untuk kepentingan produksi dan, bawa kemari hasil produksinya, kita kuasai pasar Eropa. Tanah Jawa jadi basis Eropa pada zaman penjajahan. Malaka berkecambuk saat bangsa-bangsa ekspansionis itu ingin mengamankan jalur pedagangan. Maluku (Tidore-Ternate) dikuasai sebelum pengawet ditemukan, karena selain untuk dipasarkan, rempah-rempah adalah satu-satunya alat pengawet makanan yang sangat berguna untuk pelayaran jauh. Walau Maluku, Sulawesi, Sumatra juga punya tanah luas, mengapa pusat produksi dan ekspansinya di tanah Jawa? Karena disanalah terdapat tenaga-tenaga kerja produktif yang menjanjikan, yang sangat dibutuhkan penjajah kala itu.
Indonesia merdeka. Papua dianeksasi. Selama puluhan tahun Papua diperas dan dikorbankan untuk tuan kapital dan tentu saja: orang aslinya dibantai dengan alasan separatis, pemberontak, istilahnya GPK (gerakan pengacau keamanan). Setiap protes atas ketidakadilan dibantai dengan penjara dan senjata. Eksploitasi yang utama dan pendidikan sebagai saluran peningkatan tenaga kerja produktif tidak jalan baik bahkan kandas. Lambat laun terang mulai datang. Sulawesi menjadi salah satu basis tenaga kerja produktif. Maluku dan terutama Papua, terbelakang. 80 persen penduduknya belum berpendidikan. Hanya cocok untuk jadi tanah sumber bahan mentah dan setengah jadi untuk selanjutnya dibawa ke kota-kota basis tenaga kerja produktif seperti Sulawesi, Surabaya, Jakarta, karena disanalah pabrik-pabrik berdiri, mengeksploitasi orang Indonesia, untuk lipatganda keuntungan tuan kapital.
Pendidikan paling bobrok di Indonesia ada di Papua. Kesehatan paling miris di Indonesia ada di Papua. Kemiskinan, kematian dan kemelaratan paling mengerikan di Indonesia ada di Papua. Syarat-syarat produksi di Papua tidak terpenuhi. Itulah mengapa smelter PTFI harus didirikan di Jawa dan bukan di Papua: para pemodal dan kroninya tidak ingin rugi harus mengeluarkan biaya cukup besar untuk pendidikan, untuk mempersiapkan tenaga kerja produktif buat jadi tenaga kerja di perusahaan-perusahaan mereka. Biarlah mereka jadi penyokong di belakang proyek infrastruktur ala Jokowi. Biar segera sesudah syarat akomodasi memenuhi syarat, dan dengan uang Otsus, tenaga kerja produktif mulai memadai, modal ditanam dan Papua dieksplotasi. Tapi itu nanti, suatu saat nanti.
Bagaimana dengan 80 persen rakyat Papua yang bahkan tak mampu baca-tulis-hitung? Persetan dengan mereka, peduli amat! Tak ada mereka lebih baik: pelanggaran HAM sama sekali jauh dari agenda pembangunan NKRI di Papua, dari Soeharto hingga Jokowi sama saja! Proses dan skema kapitalisme menguasai dan mengendalikan basis produksi yang terjadi di Indonesia sudah sedang terjadi di Papua dengan bantuan tenaga kerja produktif di Indonesia yang tersedia.
Bila NKRI menasionalisasi semua perusahaan asing, bila berani, tentu saja ceritanya bisa berbeda. Orang Indonesia kaya dengan sumber daya alam dan berhak hidup sejahtera di atas tanah airnya, persis seperti orang Papua. Tapi hal ini tentu saja sangat tinggi.
Jadi selamat mempersoalkan perosalan PTFI seolah-olah tambang itu milik kalian, hai saudaraku dan tuan-tuan pemodal. Selamat bersenang-senang atas pemberitaan hoax tentang jalan trans Papua itu yang semakin menenggelamkan kesadaranmu akan penderitaan yang sudah, sedang dan akan ditanggung orang asli Papua yang buta huruf, terbelakang, dan tersingkir di tanah airnya itu. Dan bila infrastukturnya sudah jadi, kalian datanglah ke Papua, dengan niat yang sama bejatnya dengan para pemodal asing. Eksploitasilah Papua semau dan semampu kalian. Dalam proses yang sedang dirintis ini, orang Papua tidak akan berubah, tidak akan pernah berubah: mereka akan selalu di posisi kalah, tak akan pernah dilibatkan, tidak akan pernah diperhatikan, tidak akan pernah diberdayakan, tidak akan dihargai sebagai manusia sejati, selamanya akan jadi pekerja kasar dan murahan karena kurangnya skill dan ilmu: persis seperti yang rakyat Indonesia alami dulu. Dan bila boleh saya bilang, praktik politik etis ala Belanda di Papua sangat-sangat berhasil menghalau orang asli Papua ke pintu kepunahan.
Bagi yang masih punya nurani, bersatu dalam satu poros persatuan rakyat yang tertindas, Indonesia-Papua, untuk mempercepat proses Papua merdeka adalah solusi terbaik. Syarat untuk kembali kepada arti sesungguhnya kemerdekaanmu adalah kemerdekaan Papua, karena kini di Papua, si iblis itu lebih gampang dikalahkan daripada di sini, di tempatmu! Dengan menyatakan dengan lantang kepada penguasamu sebagai seorang rakyat tertindas yang telah sadar, bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh karena itu maka penjajahan atas Papua harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan, ada dua keuntungan: selain Papua berkesempatan mengambilalih semua kendali atas kehidupannya dan mengutamakan pembangunan tenaga kerja produktifnya melalui pendidikan, kesehatan dan mengutamakan pembangunan manusia untuk mengambil alih pembangunan demi kesejahteraannya sendiri, saudara juga akan punya kesempatan menegakkan kedaulatanmu 100% dalam lapangan ekonomi-politik.***
Penulis adalah mahasiswa Papua, kuliah di Yogyakarta.
———–
[1] Baca: https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3425815/ada-jalan-trans-papua-dari-jayapura-ke-merauke-bisa-pakai-mobil (diakses tanggal 28/02/2017)
[2] Baca: http://properti.kompas.com/read/2017/02/10/111122821/jalan.trans.papua.menembus.gunung.dan.membelah.bukit (dikases tanggal 28/02/2017)
[3] Baca: http://tabloidjubi.com/m/artikel-3894-jalan-trans-papua-antara-propaganda-rencana-dan-kisah-nyata.html (diakses tanggal 28/02/2017)
[4] Baca: http://tabloidjubi.com/m/artikel-4038-papua-itu-kita-freeport-bawa-lebih-banyak-masalah-ketimbang-manfaat.html (diakses tanggal 28 Februari 2017)
[5] Baca laporan Dr. Jim Elmslie dkk di sini: https://www.freewestpapua.org/wp-content/uploads/2013/10/A-Slow-Motion-Genocide-Indonesian-Rule-in-West-Papua.pdf (diakses tanggal 28 Februari 2017)