Sumber ilustrasi: sbs.com.au
PADA 19 Desember 2012, Park Geun-hye, putri diktator Korea Selatan Park Chung-hee, terpilih sebagai presiden. Park yang disokong partai beraliran konservatif Saenuri unggul tipis dari lawannya Moon Jae-in dari partai Minju, 51.6 persen melawan 48 persen. Keunggulan tipis Park ini merupakan raihan persentase terbesar dalam pemilu Korea Selatan sejak udara demokrasi mulai berhembus di negeri itu pada 1987. Park didukung 15 juta lebih suara rakyat, sementara pengumpul suara rakyat terbesar sebelumnya adalah Roh Moo-hyun dari partai Minju yang berhasil menghimpun 12 juta lebih suara.
Apa faktor yang membuat Park—seorang perempuan di Korea Selatan yang kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuannya terlebar di antara negara-negara OECD—dapat menghimpun suara rakyat yang begitu besar? Ada beragam perspektif dan perdebatan untuk menjawab pertanyaan ini. Salah satu jawaban termalas, walaupun ada benarnya juga, adalah dengan mengaitkan sang tuan putri pada bayang-bayang kebesaran ayahnya. Jika mendiang Park Chung-hee begitu dipuja-puja kaum konservatif, maka Park Geun-hye sebagai putrinya pun akan mudah diterima kaum konservatif yang memuja ayahnya.
Tapi kebesaran ayahnya saja terbukti tidak cukup sewaktu Park hampir terbuang dari Saenuri setelah kalah bersaing dari Lee Myung-bak dalam bursa bakal calon presiden 2007. Paling tidak ada dua upaya yang dilancarkan Park dan pendukungnya ketika masa kampanye 2012, kedua upaya ini berhubungan dengan penciptaan mitos. Dapat dibilang dua upaya ini tidak dilakukan kandidat konservatif sebelum Park—atau minimal tidak dilakukan dengan baik.
Pertama, Park membangun citra inklusif dengan mendekati kubu progresif yang memusuhinya. Ia memulai masa-masa awal kampanye dengan mengunjungi situs-situs perlawanan terhadap militerisme. Ia bahkan menemui para aktivis dan keluarga yang dulu menentang kediktatoran ayahnya. Gestur pura-pura progresif Park semakin meyakinkan ketika ia mengalungkan karangan bunga pada patung Chun Tae-il, syuhada gerakan buruh yang syahid membakar diri dalam sebuah protes di pasar Pyeonghwa pada 1970.
Lebih jauh lagi, Park dan timnya membentuk Komisi Kebahagiaan Nasional yang dikepalai ekonom reformis Kim Jong-in. Ia juga mencanangkan gagasan kyongje minjuhwa, demokratisasi ekonomi, sebagai bagian dari kampanyenya. Park seolah-olah telah menjadi kandidat progresif yang muncul dari kalangan konservatif lantaran platform kampanyenya itu.
Kedua, Park mencitrakan dirinya sebagai patriot dingin yang selalu mengutamakan bangsa dan negaranya. Ketika baru mengetahui ibunya terbunuh oleh simpatisan Korea Utara dalam sebuah upaya pembunuhan terhadap ayahnya pada 1974, Park yang baru berumur 22 tahun justru menanyakan soal keamanan perbatasan Selatan-Utara. Patriotisme dingin ini juga ditampilkan ayahnya yang tetap melanjutkan pidato di podium setelah istrinya tertembak. Citra patriotik ayah dan putrinya ini dielu-elukan oleh para konservatif selama kampanye 2012.
Contoh lain terjadi pada 2006, ketika Park dalam sebuah kampanye untuk partai diserang oleh laki-laki tua mabuk dengan pisau. Akibatnya, wajahnya terluka sepanjang 11 sentimeter dan membutuhkan 60 jahitan. Setelah operasi yang dilakukan selama berjam-jam, pertanyaan pertama Park pada sekretasinya adalah: ‘bagaimana raihan suara kita di Daejon’. Setelah insiden tersebut, calon Saenuri yang didukung Park terpilih menjadi walikota Daejon.
Kepada kubu liberal, Park menunjukkan keterbukaan dan platform progresif. Sedang kepada kubu konservatif, Park menunjukkan diri sebagai patriot dingin sebagaimana ayahnya dulu. Inilah salah dua dari berbagai langkah penting yang mengantarkannya ke tampuk kepresidenan. Tentu saja setelah ia naik ke tampuk kekuasaan, platform progresif ‘demokratisasi ekonomi’ dan sikap terbuka pada kubu liberal itu ia enyahkan entah ke mana.
Di bawah kekuasaannya, Park membawa rakyat Korea pada hari-hari omong kosong yang membingungkan. Demokratisasi ekonomi tidak terjadi dan perekonomian stagnan. Di bidang perburuhan, Park memberlakukan kebijakan yang anti-buruh, salah satunya dengan memperpanjang masa kerja kontrak. Kaum muda Korea kesulitan mendapat pekerjaan layak sedangkan tuntutan sosial begitu menekan. Laris-manisnya novel berjudul ‘Sebab Aku Membenci Korea’ karangan Jang Kyang-myung merefleksikan betapa frustasinya kaum muda Korea. Rakyat Korea begitu tidak bahagia sampai-sampai angka ketergantungan alkohol dan bunuh dirinya termasuk salah satu yang tertinggi di dunia. ‘Kami tidak percaya pada politisi, tapi kami juga tidak mau protes sambil melempar batu di jalanan,’ kata Jang mewakili angkatan millennial (ngehek?) dalam sebuah forum bedah buku di Seoul National University.
Situasi ekonomi yang menerbitkan frustasi itu harus ditambah lagi rentetan omong kosong dan skandal. Park abai pada keluarga korban tenggelamnya kapal Sewol pada April 2014 yang menelan 304 korban kebanyakan remaja dan anak-anak. Ia menolak pengusutan tuntas tenggelamnya Sewol dan memilih pergi dengan alasan bisnis ke Amerika Latin ketika keluarga korban memperingati setahun perkabungan pada April 2015. Park membatasi ruang demokrasi, merongrong gerakan kiri dengan menangkapi para pimpinannya. Di antara pimpinan gerakan yang ditangkap adalah Han Sang-gyun pemimpin Korean Confederation Trade Union yang ditangkap dengan alasan demonstrasinya pada 14 November 2015 mengganggu lalu lintas. Polisi semakin brutal di bawah kekuasaan Park, sehingga pada suatu protes pada November 2015 menembak seorang aktivis petani Baek Nam-gi dengan meriam air sampai tak sadarkan diri. Baek kemudian meninggal di rumah sakit pada 25 November 2015..
Skandal yang paling mencengangkan adalah ketika ia ketahuan mencurangi sistem penyaringan masuk EWHA Women University demi memasukkan anak dari teman terdekatnya. Setelah kasus ini mencuat, publik juga menyadari bahwa si teman dekat ternyata cenayang yang sering mempengaruhi kebijakan Park. Setelah skandal ini rakyat yang sudah muak dengan omong kosong pun muntab sampai-sampai Park dimakzulkan dari posisinya sebagai presiden pada 9 Maret lalu.
Dua hari setelah pemakzulan Park oleh rakyat Korea, kelompok Islamis sektarian di Indonesia secara ahistoris merayakan terbitnya surat kontroversial yang mengiringi rezim militer Soeharto naik ke tampuk kekuasaan.
Gembong Islamis sektarian macam Rizieq Shihab berdalih kemenangan orde baru patut dirayakan kaum muslim karena Orde Baru telah menumpas PKI. ‘Kita menyatakan terima kasih kepada Soeharto yang berjasa membasmi PKI,’ kata Rizieq dalam ceramahnya. Tidak ada yang baru dengan kebencian kaum Islamis sektarian terhadap komunisme. Cuci otak gila-gilaan Orde Baru selama tiga dekade telah mengubah salah satu gagasan politik paling poluler di Indonesia menjadi makian kotor belaka.
Kali ini bukan hanya kecupetan anti-komunis saja yang dipamerkan, tapi juga kedegilan ahistoris yang sudah sedemikian akutnya. Ada banyak sumber mengungkapkan bagaimana rezim otoriter Soeharto telah menista dan menjagal kaum muslim, dari Tanjung Priok (1984), Talang Sari (1989),hingga pemberlakukan DOM di Aceh (1990-1998). Belum lagi kesemena-menaan orde baru yang mensyaratkan Surat Izin Mubaligh untuk mengawasi dan mengendalikan pesan dakwah. Kini orang-orang yang mengaku ulama dan mubaligh itu tanpa malu-malu bermesraan di depan umum dengan anak-anak tukang jagal yang bertahun-tahun menista kaum muslim. Kebebalan inilah yang terjadi jika kaum muslim terus-terusan mengaji keutamaan tahajud tapi enggan mengaji sejarahnya sendiri secara kritis.
Kedegilan ahistoris kaum Islamis sekatrian ini telah berperan besar dalam menormalisasi fasisme Cendana. Hajatan haul Soeharto yang diadakan di masjid At-Tin sebelas September lalu ibarat mengaduk-aduk comberan dan memicu berhamburan keluarnya jentik-jentik wabah fasisme. Terbukti selepas haul tersebut tagar #RinduOrba sempat tren di media sosial. Anak-anak Cendana pun kembali lancang cuap-cuap delusional di media massa. Titiek dengan asal-asalan menyebut demokrasi telah kebablasan sambil mengajak orang-orang kembali pada mentalitas fasis ayahnya, sementara Hutomo mengumumkan khayalan tingkat tingginya menjadi calon presiden dengan dukungan partai gurem.
Tingkah delusional anak-anak jagal Kemusuk ini bisa saja kita jadikan bahan tertawaan, tapi betapa menjengkelkan jika perdebatan kita tak kunjung beranjak ke tema lain yang lebih maju dan konkret. Betapa kita telah banyak membuang-buang waktu dan energi karena harus meladeni orang-orang yang menganggap zaman orde baru lebih enak. Di sisi lain kita juta tak boleh kecolongan, jangan sampai wabah penyakit orde baru ini kembali semakin menjangkiti khalayak banyak.
Seperti anak-anak diktator di berbagai negara lain, anak-anak Cendana juga masih belum beranjak dari ‘surga’ yang dibangun orang tuanya untuk mereka. Dengan warisan dari orang tuanya yang korup, putra-putri dikator di berbagai negara menggalang kekuatan sayap konservatif dan hendak menganulir proses demokratisasi yang sedang berlangsung di negaranya. Di Korea Selatan, Park Geun-hye si tuan putri diktator berhasil naik ke tampuk kekuasaan dengan bekal omong kosong. Tambal sulam omong kosong pun terjadilah sampai rakyat Korea muak. Seperlima rakyat Korea Selatan akhirnya turun ke jalan untuk melengserkan Park. Mereka berhasil.
Anak-anak Cendana macam Hutomo yang masih menyimpan delusi berkuasa kembali mungkin akan meniru strategi kibul-kibulan seperti yang dilakukan Park. Hutomo boleh menerbitkan berbagai omong kosong untuk memoles dirinya agar tampak meyakinkan dan cocok untuk memimpin. Tapi kita sudah punya pelajaran dari rakyat Korea yang dibuat menderita dan linglung di bawah rezim Park setelah ditipu mentah-mentah selama kampanye. Sekali anak-anak diktator itu pernah dimanja dengan kemewahan yang mengorbankan rakyat, maka mereka kembali akan bermewah-mewah dengan mengorbankan rakyat jika mereka diberi kesempatan. Mereka akan menambal satu omong kosong dengan omong kosong lainnya, lalu mengembalikan kita pada hari-hari omong kosong.***