Daftar Isi:
- Suara “Merah” Ibukota: Geliat Politik Partai Komunis Indonesia Comite Djakarta Raya
- Kiri dan Ahli
- Masalah dengan Modal Sosial: Empat Kritik Harriss terhadap Putnam
KAMI, Left Book Review (LBR) IndoPROGRESS, terakhir kali terbit pada September lalu, meski rubrik ini diniatkan untuk terbit dua bulan sekali. Nyatanya mengelola rubrik yang mengharuskan penulisnya mengulas buku-buku Kiri secara serius memang berat. Apalagi mensiasati waktu di tengah kesibukan lain. Alhasil, kami baru bisa mengudara kembali pada akhir Februari (atau Maret, tergantung seberapa cepat ilustrasi edisi kali ini dibuat), dengan tiga entry naskah yang kami jamin membuat Anda tidak akan menyesal membacanya.
Ini bukan semacam pembenaran atas kurang disiplinnya kami dalam mengelola rubrik. Namun, kami ingin mengatakan bahwa pembangunan Marxisme –atau gagasan-gagasan Kiri secara umum, memang bukan hal yang bisa dianggap remeh, dan gampang. Sebaliknya, melihat kondisi saat ini, gagasan kritis semakin penting untuk terus dipropagandakan secara intensif kepada massa rakyat, seberapapun beratnya itu.
Sejak terakhir mengudara, ada beberapa momen penting yang kita lewati bersama. Dari mulai aksi kelompok Islam yang kental dengan nuansa reaksioner (dengan berjilid-jilid demonya itu), serta pemilihan kepala daerah DKI Jakarta yang juga sangat kental dengan sentimen SARA, atau politik identitas secara umum. Yang menarik dari perkembangan itu adalah keberhasilan kelompok Kanan menguasai diskursus publik, bahkan gagasan ini cenderung dapat diterima kalangan yang sebelumnya apolitis –setidaknya ini kami amati di media sosial dan lingkaran pertemanan.
Bahkan, beberapa kelompok buruh, yang seharusnya menjadi kelas sosial terdepan, juga terseret isu-isu murahan seperti ini.
Kita, melalui contoh-contoh di muka, tidak bisa tidak harus mengakui bahwa kelompok Kanan berhasil dalam melakukan propaganda. Mereka secara intensif terus membombardir kesadaran massa dengan perspektif mereka sendiri. Sampai-sampai meski apa yang mereka utarakan dapat dengan mudah digolongkan sebagai sesuatu yang sama sekali tidak ilmiah, diterima begitu saja tanpa daya tangkap kritis. Kita tentu ingat bagaimana Hitler sampai pada posisinya kala itu dengan sentimen-sentimen dan propaganda seperti ini. Tentu kita tidak ingin muncul “Hitler” lain di Indonesia.
Oleh karena itu, satu tugas berat yang kita harus kita pikul bersama, adalah bagaimana gagasan-gagasan Kiri –yang berpihak kepada kebenaran, sampai kepada massa rakyat. Kita harus melawan propaganda Kanan dengan perspektif kita. Kita harus secara konsisten mengatakan bahwa sentimen SARA adalah tidak penting karena itu menutupi realitas yang sebenarnya terjadi, kita harus mengatakan dengan lantang bahwa apapun agamanya, apapun ras atau sukunya, selama ia tidak berpihak pada golongan terpinggirkan, adalah pemimpin yang menindas. Dan wajib hukumnya untuk dilawan.
Dalam semangat itulah kami kembali hadir ke hadapan sidang pembaca. Di edisi kali ini, kami menghadirkan satu ulasan menarik dari Satriono Priyo Utomo, peneliti sekaligus penulis buku Aidit, Marxisme-Leninisme dan Revolusi Indonesia. Dalam ulasannya terhadap arsip Partai Komunis Indonesia (PKI) yang ada di Arsip Nasional, kita mengetahui bagaimana sepak terjang PKI, terutama Comite Djakarta Raya (CDR), mewarnai perpolitikan lokal kala itu. Di sini kita tahu bagaimana keberpihakan PKI terhadap massa rakyat, meski mereka telah memasuki gelanggan parlemen pasca Pemilu 1955, yang menempatkan mereka di posisi keempat.
Ulasan kedua datang dari pengampu rubrik Logika IndoPROGRESS, Dicky Ermandara. Dalam tulisan ini, ia membahas buku terbaru Martin Suryajaya, Teks-teks Kunci Filsafat Marx. Dalam ulasannya, Dicky melihat bagaimana proses pengalih bahasaan tulisan Marx dari Inggris ke Indonesia cukup mulus dilakukan Martin. Seberapa penting buku tersebut juga tak luput dari ulasannya. Terakhir, ada tulisan dari Nurhady Sirimorok, peneliti asal Makassar, yang mengulas buku Depoliticing Development: The World Bank and Social Capital karya John Harriss. Pernah dengar “modal sosial”? Tulisan ini ingin membawa kita untuk mencurigai terminologi yang pernah populer di Indonesia itu, termasuk bagaimana implikasi praktisnya di lapangan.
Demikian. Selamat membaca, dan tetap berlawan.