Kredit ilustrasi: http://www.fsp2ki.org
DIMANA situs penindasan perempuan dalam kapitalisme? Pertanyaan ini seperti pertanyaan “abadi” yang melahirkan perdebatan, bahkan di kalangan feminis itu sendiri. Namun pertanyaan ini penting sebagai alat bimbing untuk menjernihkan pikiran kita dalam melakukan penyelidikan terhadap situs penindasan perempuan. Tentu saja tak semua problem yang dialami perempuan dapat disebut penindasan perempuan. Sebagai contoh, rendahnya representasi perempuan dalam lembaga politik formal, seperti lembaga legislatif dan eksekutif, bukanlah penindasan perempuan, melainkan problem perempuan borjuasi (yang memiliki akses pada pendidikan tinggi) dalam sistem politik yang diskriminatif –yang menggunakan pembedaan gender, ras dan lainnya. Sedangkan problem perempuan dapat disebut penindasan perempuan jika berkaitan dengan kapasitas dirinya sebagai tenaga kerja (labour power) yang dieksploitasi oleh pemilik kapital. Maka perbincangan tentang penindasan perempuan tidak bisa lepas dari teori Marx tentang materialisme-sejarah dan kapital.
Tesis Dasar Penindasan Perempuan Berdasarkan Materialisme-Sejarah
Pertanyaan yang diajukan di sini bukan apa itu penindasan perempuan, melainkan bagaimana penindasan itu terjadi? Pertanyaan ini telah dijelaskan oleh Friedrich Engels melalui pendekatan antropologi-sejarah dalam karyanya yang berjudul The Origin of the Family, Private Property and the State[1]. Tesis Engels tentang penindasan perempuan terjadi sejalan dengan munculnya konsep tentang hak milik pribadi dan keluarga dalam sejarah perkembangan corak produksi masyarakat. Ketika sebagian orang dalam masyarakat memiliki kemampuan produksi yang dapat mengakumulasi kapital maka muncul konsekuensi baru, yaitu kebutuhan untuk pewarisan kapital kepada anak “milik bapak”. Hal ini kemudian mengikatkan perempuan pada tali perkawinan monogami/poligini sebagai isteri dan ibu dalam rumah tangga yang dipimpin oleh suami (“bapak”). Perempuan atau isteri lantas menjadi hak milik pribadi suami guna melangsungkan proses reproduksi sosial, maka dari itu perempuan tersebut kehilangan kondisi kemanusiaannya yang merdeka. Jadi jelaslah bahwa penindasan perempuan bukanlah sesuatu yang alamiah, melainkan terjadi di dalam kondisi sosial ketika diri perempuan berubah menjadi hak milik pribadi (private property) ayah atau suaminya.
Apa yang penting dari penjelasan Engels tersebut? Pertama, bahwa penindasan perempuan merupakan peristiwa sejarah. Yakni peristiwa terbentuknya hak milik pribadi dan keluarga yang menjadi basis sosial akumulasi kapital. Kedua, peristiwa itu bukan terjadi karena adanya pembagian kerja secara seksual (gender) dalam rumah tangga. Tetapi pembagian kerja secara seksual berdimensi penindasan perempuan ketika akumulasi kapital dan kebutuhan pewarisan mengubah perempuan menjadi hak milik pribadi suami (sehingga pembagian kerja menjadi tidak setara). Ketiga, peristiwa yang menjadikan perempuann sebagai hak milik pribadi itu berlangsung mengikuti perkembangan corak produksi masyarakat. Artinya, perempuan sebagai hak milik pribadi pada masa corak produksi Asiatik (contohnya) adalah menjadi tenaga produksi (dan reproduksi) pertanian keluarga dalam pertalian perkawinan poliginis. Dalam masa corak produksi feodalistik, perempuan menjadi hak milik pribadi keluarga feodal, baik sebagai budak maupun sebagai obyek pemuas seksual. Adapun dalam masa corak produksi kapitalis, perempuan menjadi hak milik pribadi majikan kapitalis ataupun korporasi kapitalis sebagai tenaga kerja upahan. Dengan demikian, penindasan perempuan merupakan proses sejarah materialis (produksi), dimana situs penindasannya terlokasi dalam kapasitasnya sebagai tenaga kerja, meski makna ketenagakerjaannya berubah-ubah sejalan dengan perubahan corak produksi masyarakatnya.
Dalam masyarakat kapitalis yang masih berlangsung sampai saat ini, tesis Engels ini menjadi dasar pijakan (standpoint) bagi feminis Marxis klasik, seperti Clara Zetkin, Rosa Luxemburg, Alexandra Kollontai, dan V.I. Lenin. Mereka meneguhkan bahwa kapitalisme telah menggunakan struktur patriarkhal untuk mempertahankan tenaga kerja murah atau gratis dengan membagi kelas pekerja berdasarkan jenis kelamin (laki dan perempuan). Pembagian ini digunakan untuk membedakan upah, jenis kerja dan kesempatan kerja, dimana nilai tenaga kerja perempuan diturunkan (direduksi) oleh majikan kapitalis berdasarkan kondisi alaminya (menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui). Logika di dalam tesis feminis Marxis klasik ini ialah bahwa kapitalisme merupakan penyebab utama (causa prima) terhadap penindasan perrempuan, dan bukan pada struktur patriarkhalnya. Maka dari itu tesis penindasan perempuan di bawah kapitalisme itu niscaya dibebaskan melalui perjuangan politik: penghancurkan struktur kapitalis dalam revolusi sosialis.
Jelaslah situs penindasan perempuan dalam sistem kapitalis teletak pada diri perempuan kelas pekerja. Namun, tesis penindasan perempuan kelas pekerja itu dalam perkembangannya dinilai oleh feminis Marxis “Gelombang Kedua”[2] (dekade 1960an) belum dapat menjelaskan fakta tentang tenaga kerja domestik (domestic labour) dalam rumah tangga. Istilah tenaga kerja domestik ini meliputi seluruh pekerjaan untuk mereproduksi tenaga kerja bagi produksi kapitalis. Contohnya memasak untuk suami dan anak, pengasuhan dan sosialisasi anak, dan sebagainya. Meski, setelah dekade 1980an, teori tenaga kerja domestik telah banyak ditanggalkan penganutnya (para feminis lebih asyik untuk studi tentang ideologi dan bahasa), namun menurut saya teori ini tetap relevan untuk dikaji sepanjang kapitalisme masih beroperasi.
Perdebatan Perspektif Reproduksi Sosial versus Perspektif Teori Sistem-Ganda
Di bawah kapitalisme, terjadi pemisahan yang jelas antara rumah tangga keluarga dan produksi komoditas. Hal ini berimplikasi pada meluasnya dimensi persoalan perempuan dalam posisinya yang beragam sebagai tenaga kerja domestik, sebagai ibu dan sebagai anggota keluarga yang subordinat di bawah hak milik pribadi suami/ayah. Generasi baru feminis Marxis yang tumbuh setidaknya antara dekade 1960-1970an, bersamaan dengan gerakan New Left di sebagian Eropa dan AS, lebih tertarik untuk mengkaji tenaga kerja domestik sebagai subjek penyelidikan ilmiah. Definisi tenaga kerja domestik ialah tenaga manusia, yang kebanyakan subjeknya perempuan/ibu/isteri, untuk mereproduksi (menciptakan) tenaga kerja supaya tenaga kerja tersebut mempunyai kapasitas nilai tukar (komoditas) dalam pasaran tenaga kerja. Tenaga kerja domestik di dalam rumah tangga untuk mereproduksi tenaga kerja produksi ini merupakan tenaga kerja tidak berupah (unpaid labour). Namun kemudian muncul perdebatan di kalangan feminis Marxis awal 1970an yang mempertanyakan apakah kerja domestik untuk mereproduksi tenaga kerja produktif ini sebangun dengan kerja rumah tangga (house work)? Atau apakah kerja domestik untuk menghasilkan tenaga kerja itu sebangun dengan kerja produktif?
Seluruh perhatian feminis untuk menganalisa tenaga kerja domestik, menurut Lise Vogel[3], dapat dibedakan menurut perspektif reproduksi sosial, yaitu yang menghubungkan kerja domestik tak berupah dengan reproduksi tenaga kerja untuk produksi kapitalis. Penganut perspektif ini berupaya untuk mengeksplorasi sirkulasi produksi-reproduksi dalam teori Marx agar lebih manifes menunjukkan situs penindasan perempuan di bawah kapitalisme. Kemudian yang kedua disebut perspektif teori sistem-ganda (theory dual-system) yang dibangun oleh penganut feminis sosialis. Pemikiran ini mengawinkan teori kapital yang dipergunakan untuk menjelaskan perempuan sebagai tenaga kerja tak berupah di bawah kapitalisme, dan teori seks untuk menjelaskan struktur keluarga patriarki yang menindas perempuan dalam rumah tangga tanpa terintegrasi dengan kapitalisme.
Penganut feminis sosialis menolak tesis tenaga kerja domestik tak berupah direduksi ke dalam teori kapital –sebagaimana tesis feminis Marxis. Mereka menuduh pemisahan domain privat dan publik berimplikasi pada pemisahan kerja domestik subordinat di bawah kerja publik (produksi) kapitalisme. Dengan kata lain, corak reproduksi di bawah sistem produksi kapitalis menempatkan laki-laki (buruh) dalam posisi mengeksploitasi tenaga kerja perempuan (isterinya) di dalam rumah tangga. Corak reproduksi ini secara historis tidak berhubungan dengan kapitalisme, melainkan disosialisasikan kepada anak sejak bayi untuk membentuk seks mereka ke dalam karakter keibuan dan kebapakan. Persisnya, patriarki dan kapital dapat saling berkoneksi untuk membangun supremasi laki-laki dan akumulasi kapital, tetapi yang satu tidak bisa disubordinasikan kepada yang lain.
Heidi Hartmann dalam sebuah artikel dengan judul “The Unhappy Marriage of Marxism and Feminism”[4], menjelaskan alasan mengapa feminis sosialis berupaya keluar dari subordinasi teori kapital. Ia menganalogikan feminisme dan Marxisme selama ini seperti relasi suami-isteri dalam rumah tangga, di mana posisi isteri selalu disubordinatkan pada suami. Ketika metode Marxis dan analisa feminis diperlukan untuk menganalisa kerja domestik tak berupah, dalam kenyataannya problem seks sebagai perempuan/isteri/ibu disubordinasikan ke dalam problem kelas. Hal ini lantas menghilangkan penindasan perempuan dalam sistem seks, dimana perempuan kelas pekerja ditundukkan di dalam rumah tangga melalui pembagian kerja secara seksual. Nancy Holmstrom[5] pun menandaskan bahwa subordinasi perempuan kelas pekerja koheren, sistematik dan terintegrasi dalam sistem kelas dan seks, dan karena itu sistem seks tak dapat direduksi ke dalam konsep kelas. Keduanya berdiri sejajar dalam perkembangan materialisme-sejarah. Itu sebabnya teorinya disebut teori sistem-ganda.
Perdebatan di dalam situs kerja rumah tangga tak berupah –antara feminis Marxis dan sosialis—berjalan demikian saja, namun diakui oleh Holstrom bahwa antara feminis Marxis dan sosialis sejatinya terdapat batasan yang kabur. Bahkan gagasan feminis radikal mengenai sistem seks (patriarki) yang diadopsi oleh penganut feminis sosialis pun dalam membahas tentang kerja rumah tangga tak berbayar merujuk pada Marxisme. Adapun penganut perspektif reproduksi sosial, yaitu Margaret Benston, Mariarosa Dalla Costa, Lise Vogel, Rosemary Hennesy, berpendapat bahwa kerja perempuan dalam rumah tangga, baik dalam arti melahirkan anak (child bearing) maupun reproduksi tenaga kerja adalah elemen yang dibutuhkan kapitalisme namun seringkali diabaikan oleh para ahli Marxis. Tesis Benston[6] menyatakan bahwa tanpa adanya tenaga kerja domestik dari kelas pekerja, maka buruh (suami) yang terserap dalam proses produksi kapitalis tak akan bisa mereproduksi dirinya. Artinya buruh pabrik atau buruh perkebunan, tambang, dan lainnya dapat memulihkan tenaganya di rumah dengan menyantap makan berkat kerja isterinya yang tak berupah. Simpul Benston: tanpa kerja para isteri/ibu di rumah tangga, buruh tak bisa mereproduksi tenaganya. Tanpa ada buruh, maka kapital tak bisa direproduksi. Dengan demikian, akumulasi kapital ditentukan oleh tenaga kerja tak berupah perempuan kelas pekerja di dalam rumah tangganya.
Sedikit berbeda dengan Benston, Mariarosa Dalla Costa[7] mempunyai tesis bahwa tenaga kerja domestik perempuan kelas pekerja adalah memproduksi nilai-guna (nilai-pakai) dan bukan nilai tukar. Nilai tukar ada pada diri tenaga kerja yang menjual dirinya di pasar kerja untuk menjadi tenaga kerja upahan. Maka kerja tak berupah dari perempuan kelas pekerja itu tidak secara langsung menciptakan nilai-lebih (surplus-values) yang menciptakan akumulasi kapital. Dalam skema analisanya ini Dalla Costa melihat sebuah kemungkinan bahwa kerja rumah tangga tak berupah merupakan corak produksi yang bisa berdiri sendiri tanpa mengikuti logika kapitalis (pra-kapitalis atau nonkaptialis).
Vogel berusaha untuk menyusun teori yang inovatif dalam menanggapi perdebatan antara feminis Marxis dan sosialis. Hal itu terutama untuk menanggapi dualitas teori yang dibangun oleh pengampu feminis sosialis, yang menurut Vogel mengandung contradictio in terminis (kontradiksi di dalam dirinya) dalam konteks perjuangan pembebasan perempuan. Dualitas teori itu mempunyai konsekuensi politik, di satu pihak feminis sosialis berjuang pada koridor pembebasan perempuan, dan di lain pihak mereka berjuang dalam koridor perjuangan sosialis. Perjuangan pembebasan perempuan dan perjuangan sosialis acapkali memiliki arah perjuangan yang tidak sejalan.
Vogel menyusun teorinya bertolak dari teori Marx tentang produksi tenaga kerja dan reproduksi tenaga kerja bukan dalam relasi oposisi biner (dualitas), melainkan satu kesatuan (unitaris) yang berdialektika. Artinya reproduksi tenaga kerja dan produksi tenaga kerja berdialektika menciptakan sirkulasi nilai komoditas tenaga kerja, di mana aspek reproduksi tidak berarti subordinasi di bawah aspek produksi. Tenaga kerja domestik yang diemban oleh perempuan kelas pekerja untuk mereproduksi tenaga kerja itu tidak subordinat di bawah tenaga kerja produksi kapitalis (yang selalu diandaikan laki-laki).
Reproduksi Tenaga Kerja Sebagai Situs Penindasan Perempuan
Aktivitas reproduksi tenaga kerja yang dilakukan secara gratis oleh perempuan kelas pekerja itu meliputi (1) aktivitas keseharian di dalam rumah tangga untuk memulihkan tenaga kerja, misalnya memasak, menyeduh teh/kopi, dan lainnya, (2) proses memperbarui dan mengganti tenaga kerja yang sudah udzur dengan yang segar (muda), seperti hamil dan melahirkan anak, (3) merawat anggota keluarga yang disebut non-labouring atau dinilai bukan tenaga kerja produktif, seperti lansia, difabel, dalam kondisi sakit, dan anak-anak di bawah usia produktif. Aktivitas reproduksi tenaga kerja ini tampaknya merupakan sesuatu yang natural dan tidak terkandung penindasan perempuan di dalamnya. Namun menurut Vogel, penindasan itu tersembunyi di balik “waktu kerja yang diperlukan” (necessary labour) untuk mereproduksi tenaga kerja bugar.
Necessary labour adalah teori Marx untuk menghitung nilai tukar sebuah komoditi barang berdasarkan tingkat tekonologinya. Makin rendah teknologinya makan makin lama waktu yang diperlukan untuk memproduksi barang dan nilai tukarnya pun menjadi lebih mahal. Dalam proses produksi, nilai waktu kerja untuk memproduksi suatu barang dapat dihitung, misalnya seorang buruh membutuhkan 1 jam untuk menjahit 5 buah sepatu anak-anak. Jika dia bekerja selama 8 jam, maka seorang buruh menyelesaikan 40 buah sepatu anak-anak. Upah buruh itu dihitug berdasarkan nilai waktu kerja tersebut. Ada pun menurut Vogel necessary labour juga ada pada situs reproduksi sosial, yaitu ketika perempuan kelas pekerja memberikan waktunya untuk mereproduksi tenaga kerja. Contohnya berapa lama waktu kerja yang diperlukan perempuan untuk memasak, hamil, melahirkan, mengasuh anak, memulihkan tenaga kerja suami/bapaknya setelah seharian kerja di pabrik dan merawat tenaga kerja yang sudah tak terpakai di perusahaan kapitalis? Rata-rata perempuan isteri buruh menghabiskan waktu untuk reproduksi tenaga kerja selama 18 jam/hari. Sementara hasilnya, yaitu tenaga kerja segar hanya mempunyai nilai tukar yang murah di pasaran kerja, yang tidak sebanding dengan necessary labour perempuan kelas pekerja. Lagipula, korporasi kapitalis tidak memberi upah terhadap perempuan kelas pekerja yang telah memulihkan tenaga kerja untuk kapitalis tersebut. Di sinilah menurut Vogel terjadi eksploitasi tenaga kerja perempuan kelas pekerja sebagai situs penindasan yang tersembunyi.
Kiranya teori Vogel tentang eksploitasi tenaga kerja perempuan dalam proses reproduksi sosial itu dapat dijabarkan secara empiris pada studi-studi tentang kerja domestik yang masih jarang menjadi perhatian feminis di Indonesia. Bahkan kita dapat mengkoneksikannya dengan kerja Pekerja Rumah Tangga (PRT). Bagi perempuan kelas berpunya, mereka dapat membebaskan dirinya dari eksploitasi kerja domestik dengan cara menyerahkan pekerjaannya untuk mereproduksi tenaga kerja anggota keluarganya kepada pekerja rumah tangga (PRT). PRT itu sendiri berasal dari kelas pekerja yang tak berupah, dan kemudian menjual tenaganya untuk memperoleh upah demi membiayai proses reproduksi sosial yang diakui masyarakat sebagai taggungjawab perempuan. Perempuan yang bekerja sebagai PRT ini demi mencari nafkah untuk biaya reproduksi sosialnya lantas memindahkan beban pekerjaan untuk pengasuhan anak kepda ibu atau neneknya.
Dengan demikian perempuan kelas pekerja yang tersembunyi dalam domain reproduksi sosial untuk mempersiapkan tenaga kerja adalah hak milik pribadi kapitalis, di mana perempuan kelas pekerja mendapat beban untuk menciptakan nilai pakai. Mereproduksi tenaga kerja adalah menciptakannya sebagai nilai pakai yang dapat ditukar menjadi komoditas.***
—————–
[1] Friedrich Engels, The Origin of The Family, Private Property and the State, (Hottingen-Zurich, 1884), dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Kalyanamitra dari Selected Work, Volume Three padda 2004
[2] Gerakan feminis gelombang pertama adalah gerakan perempuan di Eropa pada abad 18-19 yang menuntut hak perempuan dipilih dalam politik, hak buruh perempuan, dan lain sebagainya. Sedangkan gerakan perempuan yang bangkit kembali pada dekade 1960 disebut gelombang kedua, di mana tuntutannya lebih beragam dan aktivisnya berupaya secara teoritis mencari akar persoalan penindasan perempuan
[3] Lise Vogel, Marxism and the Oppression of Women: Toward a Unitary Theory, (USA: Rutgers University Press, 1983)
[4] Heidi Hartmann, “The Unhappy Marriage of Marxism and Feminism”, Review, Vol II, No. 1, Summer, 1978
[5] Nancy Holmstrom, (ed), The Socialist Feminist Project: A Contemporary Reader in Theory and Politics, (New York: Monthly Review Press, 2002)
[6] Vogel, Marxism and the Oppression of Women, hal 17-18
[7] Vogel, Marxism and the Oppression of Women, hal 19-20