RAMAI pembicaraan soal Freeport hari-hari belakangan ini semakin terasa menjijikkan. Selain karena sejak awal absen melihat dan melibatkan Orang Asli Papua, debat kusir soal monumen Orde Baru ini adalah narasi nasionalisme dangkal yang naik ke permukaan. Yaitu mereka yang berpikir dan mendukung skenario imajinatif bahwa melawan Freeport sebagai perjuangan melawan imperialisme ekonomi dan harga diri bangsa. Pendapat ini bukan cuma saja naif dan ahistoris, tapi juga merupakan konklusi paling tidak ilmiah yang merupakan simpulan watak kolonialisme.
Dalam kolonialisme, bangsa terjajah tidak memiliki hak untuk bicara dan menentukan sikap karena bangsa penjajah merampas semua itu untuk dirinya sendiri. Sebagai bangsa jajahan, orang-orang Papua memang tidak diperkenankan bicara. Sebagai bangsa jajahan, mereka berada di level yang lebih rendah. Sehingga stigma bahwa pembangunan infrastruktur yang sudah direncanakan oleh pemerintah kolonial gagal total karena orang Papua tidak memiliki etos kerja, bodoh, primitif, korup dan pemabuk.
Stigma bahwa orang Papua primitif dan bodoh membuat banyak orang Indonesia merasa normal jika mengabaikan pendapat orang Papua. Dan karenanya, menjadi modern dan mempertahankan identitas sosial orang Papua menjadi mustahil. Seorang Papua yang dapat disebut modern adalah mereka yang dididik dalam sistem pendidikan kolonial yang menganggap remeh budaya dan institusi-institusi yang dulu membantu orang Papua untuk menjadi dirinya. Mereka yang primitif adalah mereka yang menolak peradaban.
Lalu makin sering kita mendapat kabar tentang polisi dan tentara di Papua yang ‘terpaksa menembak mati para pemabuk’. Pendekatan barbar untuk masyarakat primitif.
Inilah rasisme Indonesia terhadap Papua. Laku rasisme ini hadir sebagai karakter bawaan dari tindakan, lembaga-lembaga dan modus produksi dan pertukaran kolonialis. Aturan sosial dan politik akan saling menguatkannya.
Laku rasisme ini juga turut disuburkan oleh media-media Indopahit. Semisal pemberitaan mengenai dua tentara Indonesia yang diyakini jadi korban kanibalisme. Pada akhirnya, bertindak rasis dan memandang manusia Papua sebagai setengah manusia dan setengah binatang, menjadi alam pikir orang Indonesia. Termasuk dengan konsisten, menegasikan suara-suara Orang Asli Papua yang menjadi korban.
Sejak Papua diinvasi oleh Indonesia kita tidak akan menemukan suara orang Amungme dan Kamoro yang menjadi komunitas Orang Asli Papua paling terdampak atas kerusakan yang ditimbulkan oleh Freeport. Kita tidak akan mendengar mengapa Nemangkawi hancur digali oleh kerakusan akan emas, hingga roh-roh leluhur yang berdiam di puncaknya kemudian terusir, pergi tak kembali dan Amungsa menjadi tanah terkutuk!
Semua keriuhan hanya akan seputar Jakarta, Jakarta dan Jakarta. Soal berapa besar keuntungan yang akan didapat serta drama siapa paling berkuasa dan pihak mana yang mesti tunduk kepada yang mana.
Soal mengapa Jokowi tidak akan pernah ambil pusing dengan suara orang asli Papua, jangan pura-pura kaget. Ia adalah orang yang sama yang dengan arogannya mengumumkan pencaplokan sejuta hektar tanah Marind-Anim di Merauke untuk diubah menjadi sawah. Satu dari sekian ide paling tidak waras yang dicetuskan bahkan ketika ia belum genap setengah tahun berkuasa.
Freeport dan seluruh histeria nasionalisme yang berkelindan di seputarnya, merupakan puncak es dari sejarah penuh darah di Papua. Freeport hanya keping kecil dari peta investasi di bumi Cendrawasih yang lengkap dengan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia: perampasan tanah ulayat, pembunuhan remaja-remaja asli Papua, penangkapan-penangkapan massal dan hancurnya hutan-hutan di Papua.
Fakta-fakta keras di atas tidak akan bisa digantikan oleh jalan Trans Papua, menanam kapsul waktu atau bahkan dengan reguler berkunjung ke Papua. Jadi, berhentilah delusional dengan menganggap bahwa di bawah Jokowi, Papua akan bernasib lebih baik.
Juga, orang Indonesia harus berhenti berkhayal bahwa persoalan di Papua akan bisa selesai dengan penegakan hak asasi manusia. Ini tidak mungkin, karena di bawah kolonialisme tidak akan ada penghormatan terhadap hak asasi manusia. Kita menjadi saksi bagaimana para pelaku kejahatan terhadap hak asasi manusia di Papua selalu dapat promosi jabatan atau diberi berbagai posisi politik: mulai dari duta besar, menteri hingga kepala badan tinggi negara.
Itu kenapa para diplomat kita bertempik ria dengan narasi-narasi militeristik soal kedaulatan negara. Semuanya sebagai cara untuk menghindari semua tanggung jawab internasional sebuah negara berdaulat. Mantra-mantra seperti ‘integritas teritorial’ atau ‘non intervensi’ ramai terdengar setiap kali publik internasional bertanya soal Papua.
Lalu, orang-orang koloni hanya disuruh percaya dan tunduk, atau diancam dengan senjata dan stigma sebagai separatis.
Demikianlah kolonialisme. Ia menolak hak asasi manusia yang sudah ia bungkam dengan kekerasan, memaksanya tetap diam dalam situasi derita dan kebodohan, yang disebut Karl Marx sebagai suatu kondisi sub-manusia. Orang-orang sub manusia ini oleh karena itu harus dibangun seperti manusia-manusia di pusat kolonial: berbicara bahasa yang sama, berseragam yang sama, berkelakuan yang sama, dan melupakan masa lalu pelanggaran HAM dengan mekanisme non-judisial, demi ‘persatuan Indonesia’.
Persoalan di Papua adalah soal sejarah yang cacat dan penuh manipulasi. Yang diawali bukan oleh Soeharto, tapi oleh seruan invasi Trikora ala Soekarno—playboy asal Blitar yang terobsesi dengan mitologi Majapahit. Diteruskan dengan gemilang oleh jagal dari Kemusuk dengan menandatangani kontrak kerjasama dengan Freeport—bahkan ketika Papua belum resmi masuk ke dalam peta Indonesia, yang memaksa 1.026 orang di bawah todongan senjata untuk memilih Indonesia atau dibunuh.
Sebagai bangsa yang pernah mengalami masa kolonialisme hampir 200 tahun lamanya, Indonesia seharusnya paham seperih apa ketertindasan di daerah koloni. Bukan justru dengan mengulangi kesalahan Belanda ketika dulu menduduki tanah Hindia.
Indonesia harus angkat kaki dari Papua, sebelum orang Papua musnah karena transmigrasi dan etnosida.
Papua, adalah kunci bagi persimpangan jalan yang sedang dihadapi Indonesia pasca-tumbangnya junta militer yang berkuasa lebih dari 3 dekade. Papua adalah penanda yang akan dikenang sejarah dan bagaimana generasi di masa depan mengingat Indonesia.
Papua dan aspirasinya untuk mencapai kemerdekaan, sejatinya adalah jalan bagi Indonesia untuk menyembuhkan diri. Proses awal terapi sejarah yang dibutuhkan untuk mengobati sekian puluh tahun pengingkaran atas pembantaian 1965, Talangsari hingga hilangnya Wiji Thukul dan kawan-kawan. Beragam noda hitam yang hanya bisa dihapus dengan pengakuan dan bukan proses damai non-judisial seperti keinginan Wiranto. Bangsa ini hanya bisa berjalan maju dengan memutus rantai-rantai pengikat dirinya dengan masa lalu penuh kekejaman.
Membiarkan Papua merdeka, berarti memutus satu rantai, melapangkan jalan dan membuka pintu rekonsiliasi. Membiarkan Papua merengkuh kemerdekaannya berarti mendefinisikan kembali arti menjadi Indonesia.***