Kredit ilustrasi: Alit Ambara (Nobodycorp)
SALAH satu peristiwa yang paling menonjol di tahun 2016 lalu, adalah mengemukanya fenomena berita-berita Hoax (berita yang diada-adakan alias palsu) di berbagai media dan terutama media sosial. Saking menonjolnya berita hoax ini, banyak yang berspekulasi bahwa kini kita hidup dalam masyarakat dimana kejujuran bertindak dan kejernihan berpikir telah hilang. Sebaliknya, saling tidak percaya dan curiga menjadi sesuatu yang wajar.
Kita memang tidak bisa menyepelekan fenomena berita hoax ini. Banyak peristiwa-peristiwa tragis maha dahsyat yang terjadi di dalam sejarah manusia dipicu atau diperparah oleh produksi dan penyebaran berita hoax. Ambil contoh pembantaian manusia terbesar dalam sejarah dunia modern, yakni pembantaian kaum Yahudi di Eropa oleh rezim fasis Nazi-Hitler di Jerman pada dekade 1930an dan awal 1940an. Kala itu, Hitler dan Nazi-nya menyebarkan berita bahwa penyebab kekalahan dan dekadensi bangsa Jerman adalah akibat perbuatan orang-orang Yahudi yang rakus dan tidak bermoral. Hasil dari propaganda itu, jutaan orang Yahudi dibantai. Akibat pembantaian yang disusul dengan Perang Dunia II itu, hingga kini bangsa Jerman terus dihantui oleh rasa bersalah yang entah kapan sepenuhnya sembuh.
Bangsa kita juga tak kurang pedihnya menderita akibat berita hoax ini. Pada 30 September 1965, sekelompok tentara AD melakukan pembunuhan dan penculikan terhadap para jenderal AD dan satu perwira AD. Menyusul peristiwa ini, AD di bawah komando jenderal Soeharto segera mengumukan ke publik bahwa pelaku peristiwa itu adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Tidak itu saja, AD dengan gencar menyebarkan berita hoax bahwa para jenderal yang diculik itu sebelum dibunuh di Lubang Buaya tubuhnya disiksa dengan sadis terlebih dahulu oleh para perempuan yang kemudian menari-nari kegirangan. Para perempuan ini adalah anggota Gerwani, organisasi perempuan yang dituduh berafiliasi ke PKI.
Akibat propaganda masif, terstruktur dan sistematis itu, terjadi pembantaian besar-besaran terhadap para anggota PKI dan mereka yang dituduh sebagai anggota dan simpatisan PKI. Inilah pembantaian manusia terbesar dalam sejarah Indonesia modern. Tetapi ini hanyalah salah satu dampaknya. Menyusul pembantaian itu, dalam jangka waktu lebih dari tiga dekade rakyat Indonesia dikungkung oleh ketakutan, dikerangkeng hak asasi manusianya, serta di doktrin untuk saling membenci dan mencurigai kawan dan kerabatnya. Dalam jangka pendek, korbannya memang adalah mereka yang terkait PKI langsung dan tidak langsung, tetapi dalam jangka panjang korbannya adalah kita, rakyat Indonesia.
Dan kini, kita masih terus terbebani dengan sejarah gelap dan berdarah itu. Kita takut mengenali diri kita sendiri, kita malu mengakui keburukan yang pernah dilakukan oleh pendahulu kita, kita khawatir untuk belajar ilmu pengetahuan secara jujur dan terbuka. Singkatnya, kita ingin mengubur semua kejahatan masa lalu itu, sing wis yo wis. Di atas reruntuhan masa lalu itu, kita ingin membangun rumah fantasi bahwa kita adalah masyarakat yang peramah, mudah bergaul, dan penuh welas asih. Kita senang jika ada bule yang memuji-muji kita akan hal ini. Dan jika ada yang mencoba mengutak-atik rumah fantasi ini, maka kita dengan sangat cepat menuduhnya sebagai antek asing, anti NKRI, atau sedang melancarkan proxy war.
Dari sini kita lihat bahwa ciri utama dari berita hoax adalah ia menohok sentimen paling sensitif dalam diri kita: rasa takut akan yang lain, yang di luar kita, ketika kita sedang diterpa oleh krisis yang tak kunjung usai. Dalam kasus Nazi-Hitler, sentimen yang dipompakan adalah rasa takut akan keberadaan orang Yahudi. Dalam kasus 65, rasa takut akan komunisme. Kini kita melihat meluasnya berita hoax ini melalui kampanye anti asing/aseng, dst. Berita hoax karenanya tidak membutuhkan nalar yang runtut yang dipandu oleh kerja-kerja jurnalistik yang benar.
Dengan pengaruh dan dampaknya yang begitu mengerikan, tidak ada keraguan buat kita untuk melawan produksi dan penyebaran berita-berita hoax ini. Caranya bukan dengan mendukung kebijakan pemerintah untuk memblokir media yang diduga menyebarkan berita hoax, melainkan dengan memberikan ulasan dan laporan yang seakurat dan sedekat mungkin dengan fakta-fakta yang ada. Disiplin verifikasi karenanya menjadi mutlak agar kita tidak keliru dalam mengambil kesimpulan. Belajar dari sejarah, berita hoax pada akhirnya akan merugikan kita semua, rakyat kebanyakan, dalam membuat keputusan penting dalam hidupnya.***