TAHUN 2016 sepertinya penuh dengan kejutan peristiwa yang terjadi secara global di berbagai tempat, khususnya di medan politik. Keterkejutan kalangan luas terhadap pilihan-pilihan politik yang terjadi tahun 2016 ini tampaknya turut memengaruhi dipilihnya kata Post-truth sebagai kata tahun ini oleh kamus bahasa Inggris Oxford. Peristiwa-peristiwa politik mengejutkan dan sebelumnya sukar dipercaya dapat terjadi oleh banyak analis dikaitkan dengan meluasnya rujukan masyakarat pada keyakinan emosional dan berita-berita yang tidak dilandasi fakta, sebagaimana yang dimaksud oleh kata post-truth — oleh beberapa media diterjemahkan menjadi “pasca-kebenaran” (tapi tampaknya lebih tepat dipahami sebagai “kebenaran tanpa fakta”).
Kejutan-kejutan sosial politik yang terjadi di tahun pasca-kebenaran dinilai oleh banyak kalangan akan memiliki pengaruh besar terhadap cara masyarakat merespon kehidupan sosial, politik, dan ekonomi secara luas ke depannya. Di antara berbagai kejutan tersebu,t kita perlu menunjuk pada dua peristiwa Brexit dan Kemenangan Donal Trump dalam pemilu AS. Pada awal tahun ini, rakyat Inggris melalui referendum memilih ke luar dari Uni Eropa. Yang segera disusul oleh drama pergantian kepemimpinan elit-elit politik rezim berkuasa di negeri monarki konstitusional tersebut. Negara yang menjadi maskot sejarah perdagangan bebas lewat keputusan referendum — yang populer di kenal sebagai Brexit — mengambil jalur untuk memisahkan diri dari blok politik perdagangan bebas regional eropa.
Sementara di penghujung tahun ini, Amerika Serikat, negara adidaya lain yang juga menjadi maskot ekonomi pasar, perdagangan bebas, dan globalisasi liberal memilih Donald Trump sebagai presiden baru mereka, yang sebelumnya dipercaya sebagai tokoh sensasional media semata. Trump selama kampanye menjanjikan “Amerika akan jaya kembali” dengan menempuh jalan proteksionisme dan konservatisme sektarian (berbasis rasial dan agama), yang secara garis besar tampak berkebalikan dengan paradigma globalisasi ekonomi dan demokrasi versi neoliberal yang selama ini dijadikan motor penggerak ekonomi dan politik negara imperialis itu, baik di dalam negeri maupun “diekspor” secara agresif ke seluruh penjuru dunia.
Kalau boleh menambahkan satu peristiwa yang tak terduga di tahun 2016 adalah aksi massa sekitar ratusan ribu orang di Jakarta untuk menuntut calon gubernur DKI petahana Basuki Tjahatja Purnama alias Ahok, karena tuduhan penistaan agama. Tuduhan yang dipicu perdebatan apa yang dianggap benar atau salah dari ucapan si petahana (plus modifikasinya oleh seorang pengguna media sosial yang tak bersimpati padanya) di media sosial. Peristiwa ini tidak terduga bukan cuma karena besarnya jumlah massa yang termobilisasi ke jalan untuk isu yang dimulai dari kericuhan media sosial akan tetapi juga bagaimana persebaran pasca-kebenaran menggunakan media sosial sukses mengerek popularitas kelompok dan tokoh politik sektarian reaksioner di mata banyak kalangan menengah perkotaan. Popularitas yang menghidupkan pertengkaran hebat lintas kalangan dan antar kerabat yang mungkin hanya bisa ditandingi oleh aura ketegangan pada pilpres 2 tahun lalu.
Ada kesamaan di ketiga peristiwa tersebut bahwa salah satu faktor penyebabnya terkait keterkecohan masyarakat dalam mengambil pilihan yang dilandasi oleh informasi-informasi yang menyesatkan, penggiringan sentimen publik berdasarkan keyakinan emosional ketimbang faktual. Berbagai laporan media melaporkan banyak kalangan masyarakat pemilih yang belakangan mengaku menyesal karena terkecoh memahami pilihan dalam referendum atau pun pemilu AS akibat giringan informasi yang kini mereka resapi lagi justru bertentangan dengan kepentingan mereka sendiri.
Tapi persoalannya tentu tidak sesederhana bagaimana jutaan orang tiba-tiba terkecoh oleh berita palsu di media sosial. Pertanyaannya mengapa dan bagaimana orang banyak lebih tergiring pada pilihan kebenaran yang berbasis keyakinan emosional ketimbang fakta.
Tiga peristiwa mengejutkan 2016 yang dijadikan contoh ini menunjukkan bahwa akar persoalannya bukan lah semata praktik masyarakat menggunakan teknologi sosial media. Bukankah kita hidup di masa dimana praktek pencarian fakta sangat dimudahkan oleh konsumsi sangat massal menggunakan gawai (gadget) dan kuasa teknologi berlandas algoritma yang katanya tak berpihak? Kenyataannya teknologi yang digunakan membantu mengorganisir jejaring media sosial dan mesin pencari justru mengarahkan kita pada situasi yang dipenuhi kebenaran tanpa landasan fakta. Reaksi yang berkembang adalah pemilik plaftform media sosial paling populer saat ini didesak untuk membuat pengaturan untuk menyeleksi berita yang dianggap palsu (fake news). Kita melihat pihak korporasi dan kapitalis media kini sibuk menyangkal turut bertanggung jawab atas fenomena politik “pasca-kebenaran”. Akan tetapi penjelasan mereka tak memuaskan nalar karena besarnya profit ekonomi yang mereka nikmati dari persebaran sensasi informasi atau pun penggunakan jaringan dan perangkat teknologi yang mereka perdagangkan untuk penyebaran “kebenaran tanpa berlandaskan fakta” itu. Artinya kita harus sadar ada basis material yang diuntungkan oleh perkembangan fenomena pasca-kebenaran.
Selain itu bila kita perhatikan secara seksama, kurangnya rujukan masyarakat pada fakta adalah praktik sosial yang punya kaitan struktural dengan ketidakpercayaan pada media sebelum era media sosial saat ini, yang juga telah dikuasai oleh kapitalis dan oligarki yang tak kurangnya mempermainkan fakta. Kurangnya acuan pada fakta dalam mengambil pilihan politik juga adalah penanda praktik sosial masyarakat yang nyaris sepenuhnya juga asing dari teori tentang visi masyarakat yang progresif dan ilmiah – karena terus dilarang dan dipinggirkan. Praktik sosial di tingkat massa yang asing dari teori mengarahkan mereka pada rujukan memahami realitas pada jenis-jenis kebenaran yang tidak membutuhkan fakta dan pembuktian ilmiah. Lihat lah bagaimana khalayak luas dengan berbagai motivasinya terus meyakini bahwa peristiwa-peristiwa sosial politik yang mereka hadapi terjadi secara mistis atau aneka ragam penjelasan “cocoklogi” yang terus berevolusi bahkan di era teknologi informasi. Misal, yang marak kita lihat adalah otak-atik-gathuk presentasi angka-angka seperti 411, 212 yang disebarkan lewat meme, atau aneka analogi yang tak mementingkan konteks dan logika.
***
Kebangkitan gerakan politik sektarian dan reaksioner di era politik “pasca-kebenaran” adalah tanda bahaya sekaligus petunjuk tentang kenyataan yang harus disikapi. Dalam kerangka misi perjuangan politik progresif, jelas kita perlu menyadari dan mempelajari secara serius landasan material dari politik era “pasca-kebenaran” ini. Tanpa adanya perjuangan politik progresif terorganisir terbukti sudah bahwa perkembangan teknologi informasi tidak mengarah pada perumusan dan pengupayaan visi mengenai masyarakat yang lebih adil dan sejahtera melampaui krisis yang terus merongrong sistem kapitalis saat ini melainkan bergerak ke berbagai aspirasi yang reaksioner.
Pengamatan yang penting juga adalah berkelindannya mobilisasi massa di lapangan nyata dan media sosial. Karenanya harus ditegaskan bahwa sinisme dan pemisahan pengorganisiran di dunia nyata dan virtual semakin tidak relevan dan kita membutuhkan teori dan juga program revolusioner untuk mengatasinya.
Banyak pihak berharap ini adalah momen bagi gerakan sosial progresif bangkit memimpin perlawanan terhadap kekuatan yang diuntungkan oleh politik era pasca-kebenaran ini: kalangan konservatif sektarian, pengusung politik SARA, dan kaum reaksioner lainnya. Harapan yang hanya bisa diwujudkan secara politik dan bukan dengan penguatan moral dalam berhadapan dengan media sosial. Anjuran-anjuran moral agar kita tidak percaya begitu saja apa yang ditemui di media sosial tidak akan dapat menjadi solusi yang berdampak serius. Terutama ketika krisis sosial yang tengah kita hadapi adalah terkoneksinya antara meluasnya kepercayaan/ketidakpercayaan di dunia nyata dengan penyebaran kepercayaan/ketidakpercayaan di dunia virtual. Kita butuh pengorganisiran yang kuat untuk menjawabnya.***