EDITORIAL kita beberapa waktu lalu yang mengajukan tesis tentang prioritas Politik Kelas atas Politik Identitas, telah memunculkan serangkain pertanyaan: “Apakah kelas adalah subjek yang homogen?”; “bukankah dalam kelas juga melekat identitas?”; “jika begitu adanya, bukankah kategori kelas setara dengan kategori identitas?”.
Editorial kali ini tidak akan mengulangi argumen yang telah dikemukakan dalam editorial sebelumnya mengenai prioritas Politik Kelas atas Politik Identitas. Kali ini, kita akan mendiskusikan poin yang cukup membingungkan, dan karena itu sering membuat kita keliru dalam memutuskan kebijakan politik tertentu, yakni Identitas dalam Kelas. Sederhananya, di dalam kelas sosial tertentu, katakanlah kelas proletariat atau kelas buruh, melekat pada diri anggotanya identitas tertentu, seperti agama, ras, bahasa, gender, suku-bangsa, dan warna kulit. Kita katakan ia adalah bagian dari kelas buruh yang, misalnya, beragama Islam, bersuku Jawa, berkulit sawo-matang, dst, dst.
Dengan statusnya yang demikian, maka pada momen-momen tertentu kesadaran kelasnya, kesadarannya sebagai seorang buruh, tumpang tindih dengan kesadaran identitasnya, kesadarannya sebagai seorang muslim, misalnya. Konkretnya, dalam aksi menuntut kenaikan tingkat upah, perbaikan tempat kerja, atau penghapusan hubungan kerja yang fleksibel, ia bersama-sama dengan seluruh anggota kelas pekerja, tanpa memandang asal-usul identitasnya, berbaris bersama dengan satu suara, satu komando. Atau sebagai petani ia akan berdiri bersama-sama dengan yang lainnya untuk mempertahankan tanahnya yang hendak dicaplok oleh korporasi yang dibeking oleh aparatus negara, tidak peduli identitas mereka apa. Tetapi, ketika terjadi aksi menuntut diadilinya seorang penista agama, maka sebagai seorang muslim ia terpanggil untuk turut terlibat dalam aksi itu. Kesadaran kelasnya tersubordinasi oleh kesadaran identitasnya, sehingga ia merasa berbeda dengan anggota kelas lainnya yang berbeda identitas dengan dirinya. Dan boleh jadi ia akan berhadap-hadapan secara konfliktual di lapangan dengan anggota kelasnya yang berbeda identitas itu.
Apa yang bermasalah dari kondisi ini? Kita tentu tidak bisa menghapuskan atau mengabaikan identitas seorang. Apa yang harus kita lakukan di sini adalah membedakan secara tegas antara Identitas dan Politik Identitas. Identitas adalah sesuatu yang melekat pada diri kita jauh sebelum kita menjadi sesuatu, sebelum seseorang menjadi seorang buruh, misalnya, walaupun mungkin ia lahir dari keluarga kelas buruh. Di sini, kita tidak memiliki alasan secuil pun untuk menolak keragaman identitas ini, bahkan ia harus dirayakan, harus diberi ruang untuk berkembang agar mekar semerbak. Dalam banyak kasus kesadaran identitas ini menjadi pemicu dan perekat aksi-aksi melawan penindasan oleh korporasi dan negara. Misalnya, perlawanan kaum perempuan melawan politik patriarki yang didukung oleh negara. Atau perlawanan masyarakat adat melawan ekspansi perusahaan-perusahaan berbasis sumberdaya alam.
Sementara Politik Identitas adalah sebuah konsepsi dan tindakan politik berdasarkan pada superioritas identitas tertentu atas identitas yang lain untuk kepentingan politiknya. Misalnya, guna mencapai kekuasaan politiknya, Hitler dan NAZI mendasarkan gerakan politiknya pada superioritas ras Arya atas ras lainnya. Dan dengan dasar itu mereka merasa berhak melakukan pembunuhan massal terhadap kaum Yahudi. Atau untuk melanggengkan sistem perbudakan terhadap orang kulit hitam di Amerika Serikat, dikembangkanlah teori bahwa secara biologis orang kulit putih lebih superior atas orang kulit hitam. Karena itu, kita menolak Politik Identitas, superioritas satu identitas atas identitas lainnya, menolak negara yang berdasarkan pada keunggulan ras tertentu atau agama tententu.
Dengan pembedaan ini, maka semestinya kita tidak perlu khawatir jika, misalnya, seorang buruh ikut terlibat dalam memperjuangkan identitasnya. Misalnya, sebagai seorang buruh yang secara seksual berorientasi homoseksual, maka bukanlah persoalan jika ia juga terlibat aktif mengadvokasi isu-isu anti diskriminasi seksual, menunutut agar kaumnya diperlakukan setara dengan mereka yang heteroseksual. Bahkan, pada tahap kesadaran tertentu, “buruh” itu sendiri sebenarnya adalah sebentuk identitas ketika ia hanya berkutat pada agenda-agenda perburuhan semata: sekadar ingin naik gaji, sekadar agar ia tidak dipecat semena-mena oleh perusahaan tempatnya bekerja, atau sekadar mengejar karir pribadinya agar cepat naik pangkat dan cepat kaya.
Apa yang paling mendasar dipertanyakan atau didiskusikan adalah, “apakah si buruh atau si petani sadar akan pembedaan antara Politik Kelas dengan Politik Identitas dan antara Identitas dengan Politik Identitas? Sehingga sebagai anggota dari kelas buruh, ia bisa membedakan mana kontradiksi pokok dan mana kontradiksi yang tidak pokok. Jika ia kebingungan dengan identifikasi ini, atau jika sebuah organisasi buruh ikut-ikutan dalam aksi yang memperjuangkan Politik Identitas, maka ada persoalan kesadaran di sini. Dan inilah yang harus kita tangani bersama-sama.***