MASALAH representasi selalu muncul dalam arena politik elektoral. Mulai dari masalah ketimpangan representasi sampai pilihan yang tidak representatif. Masalah tersebut muncul karena selama ini ruang elektoral dikuasai oleh oligarki dan tidak ada partai politik alternatif yang menjadi representasi dari kepentingan kelompok rentan dan marjinal. Karenanya, solusi untuk mengatasi problem representasi politik adalah dengan menghadirkan partai politik alternatif. Namun, partai politik alternatif harus hadir lewat agregasi kepentingan masyarakat, bukan bersandar pada tokoh seperti partai-partai oligarki. Berikut wawancara Rizal Assalam dari Rubrik “Front” IndoPROGRESS dengan Dirga Ardiansa, dosen Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia.
Apa yang dimaksud alternatif dari partai politik alternatif?
Sederhananya, parpol alternatif adalah upaya mengatasi problem representasi politik. Problem itu yang paling utama harus diselesaikan. Bisa dibilang, pemilu menghasilkan problem representasi yang tidak pernah bisa diselesaikan, dimana hasil pemilu selalu memunculkan ketimpangan representasi, selalu meminggirkan identitas dan kepentingan kelompok rentan dan marjinal. Bisa dipastikan, sebagai miniatur populasi, 560 orang dalam parlemen itu tidak merepresentasikan kelas, identitas dan kepentingan kelompok marjinal. Partai mana yang merepresentasikan kelompok buruh? Partai mana yang merepresentasikan nelayan dan petani? Partai mana yang sangat pro terhadap kepentingan perempuan? Tidak ada. Harusnya ada asosiasi jelas. Problem itulah yang menjadi titik masuk bagi hadirnya partai politik alternatif.
Ini problem sistemik, bahwa pemilu menawarkan pilihan terbatas yang menyebabkan ketimpangan representasi politik dari hasil pemilu. Misalnya, partai politik atau individual kandidat yang berkontestasi adalah pilihan terbatas yang tidak representatif, sehingga seseorang dipaksa untuk memilih yang terbaik dari yang terburuk, itu akan berimplikasi menghasilkan representasi yang tidak utuh. Jadi bisa dilihat dua hal tadi: pilihan yang terbatas, menyebabkan hasil pemilu yang tidak representatif (bulat). Itu adalah pintu sederhana kenapa parpol alternatif harus muncul, yaitu untuk menghadirkan identitas, kelas, dan kepentingan kelompok marjinal dan mempengaruhi hasil kepemiluan, tidak harus secara kuantitas banyak, tapi harus ada untuk menghadirkan wacana tandingan yang didominasi oligarki politik.
Jadi, target parpol alternatif adalah hadir dan terlibat dalam proses kebijakan, regulasi, legislasi, serta anggaran, meskipun hanya 1 atau 2 orang yang duduk di parlemen. Tanpa kehadiran, tanpa identitasnya hadir, kepentingannya tidak akan hadir. Menghadirkan 1-2 orang dalam bingkai partai alternatif yang memang merepresentasikan identitas, kelas, dan kepentingan kelompok marjinal. Jadi, sasarannya adalah terlibat dalam proses pembahasan regulasi, legislasi dan anggaran. Kalau ada 1 kursi saja didapat, itu akan mewarnai proses perdebatan yang terjadi. Diharapkan juga tekanan akan banyak datang dari gerakan ekstra-parlementer, dimana parpol alternatif bersandar pada kekuatan ekstra-parlementer untuk membuat wakil tersebut tetap konsisten pada upaya menyuarakan kepentingan kelompok marjinal, bukan berlaku sebagai elit yang justru rentan berkolaborasi dengan kekuatan oligarki.
Kuncinya parpol alternatif hadir lewat agregasi kepentingan dari bawah, sebagai bentuk reclaiming kepentingan rakyat. Bisa dibilang, problem riil untuk menghadirkan parpol alternatif adalah tidak lagi bergantung dengan figur. Parpol alternatif harus mulai dari proses mencari tahu kebutuhan dan kepentingan kelompok marjinal secara partisipatif melalui survei warga dari bawah. Sehingga rumusan agenda kepentingan yang diagregasi dari bawah jadi satu dokumentasi yang dipegang secara teguh, secara bersama, sebagai strategi politik. Tidak bisa bersandar pada figur seperti cara oligarki bermain. Cara membangun kekuatannya juga berbeda. Kalau oligarki membangun kekuatannya dari sosok atau figur, maka parpol alternatif, dorongan kesetiaannya bukan pada figur, tetapi pada kepentingan yang dirumuskan bersama, sehingga itu menjadi kontrol bersama.
Bagaimana agenda itu bisa dirumuskan, ada prasyaratnya, yaitu proses agregasi atau penyerapan aspirasi. Ini membuat parpol alternatif harus selesai dengan problem elitisme pimpinannya. Jadi tidak boleh klaim sepihak. Yang ingin diubah kan cara klaim representasi, yang selama ini merupakan klaim sepihak oleh elit. Sehingga jelas, kalau nanti dihadapkan pada poin-poin agenda HAM, dikaitkan dengan problem lingkungan, ketimpangan dan ketidakadilan pilihan-pilihannya tidak dinegosiasikan lagi, karena kita tidak bergantung pada kesepakatan elit. Kalau sekarang beda, Anda misalnya pejuang HAM, tapi jika pada titik tertentu pimpinan politik Anda setuju pada hukuman mati, Anda tidak bisa memecah garis batas dengan yang bersangkutan. Anda tetap diharuskan merasionalisasi keputusan elit pimpinan tersebut.
Menurut saya, parpol alternatif harus mulai dari proses agregasi kepentingan dari bawah yang menjadi kunci strategi gerakannya. Siapapun yang duduk itu intensinya pertama-tama bukan menguasai sepenuhnya, tapi mewarnai diskursus dan corak pengambilan keputusan. Membangun sedikit demi sedikit jauh lebih penting. Ketika misalnya ada perdebatan di parlemen, parpol alternatif bisa mempengaruhi opini publik dengan jelas untuk menunjukkan posisinya, misalnya tentang reklamasi dan penggusuran. Jadi, parpol alternatif akan selalu jelas posisinya. Kalau parpol sekarang kan tidak ada posisi yang jelas, selalu abu-abu. Menurut saya, arahnya adalah menghasilkan ruang pertarungan baru di parlemen yang selama ini dikuasai oleh oligarki.
Apakah posisinya tidak akan riskan kalau hanya 1-2 orang di parlemen?
Kita harus lihat bahwa dengan minimnya pengalaman politik elektoral yang dipunyai, Anda baru mau bangun, Anda tidak mungkin menargetkan penguasaan atau punya kekuatan yang signifikan secara kuantitas. Buat saya yang terpenting adalah bagaimana parpol alternatif bisa tumbuh terlebih dahulu mampu bertahan, agar tidak cepat mati. Karena problem pasca 1998-1999, ada 48 parpol tumbuh, yang dimatikan oleh sistem pemilu dan sistem kepartaian kita kan ruang bertahan hidupnya, karena pilihannya cuma dua, entah bergabung dengan mekanisme kerja oligarki atau mati. Yang tidak dipikirkan adalah bagaimana bisa bertahan. Maka parpol alternatif harus punya kemampuan bertahan, bukan hanya untuk menang atau mendapatkan kuantitas suara sebanyak mungkin, tetapi justru bagaimana caranya memastikan kekuatan itu terakumulasi secara bertahap dan membesar.
Makanya yang juga sangat penting adalah bagaimana mempengaruhi atau mengubah ruang pendirian partai politik dan ruang kontestasi kepesertaan pemilu (UU Partai dan UU Pemilu). Itu harus diintervensi. Itu prasyarat. Kalau tidak, mempengaruhi ruang untuk berdirinya parpol, pasti tidak akan punya daya tahan untuk hidup. Syarat kepesertaan pemilu juga harus berubah, karena yang mampu untuk berkontestasi adalah oligarki yang mempunyai modal cukup besar. Syarat UU Pemilu dan Parpol itu sangat material dalam arti ada sekretariat kepengurusan. Itu kan sangat memberatkan untuk level kekuatan jaringan akar rumput yang mengelola dengan swadaya.
Selain dua ruang kepesertaan itu, arenanya juga harus dikondisikan. Parpol alternatif harus mulai bertarung di tingkat lokal. Kita harus mengintervensi aturannya bahwa untuk bertarung itu tidak bisa tiba-tiba di tingkat nasional. Tapi, misalnya, bertarung di level provinsi dulu, nanti pada periode berikutnya baru bertarung di tingkat nasional. Untuk membuka ruang pertarungan partai-partai baru, aturannya harus dimulai di tingkat lokal. Contohnya begini, parpol alternatif tidak akan bisa tumbuh dan bertahan kalau tiba-tiba dipaksa bertarung di tingkat nasional. Pasti akan kesulitan memenuhi syarat, karena sangat mengandalkan modal finansial bukan modal dan basis sosial.
Makanya harus diberikan arena di tingkat lokal. Jadi syarat partai baru ikut pemilu nasional itu harus dimulai di tingkat lokal, misalnya, selama dua periode pemilu. Syaratnya harus bisa berkembang memiliki kursi di 50% provinsi dalam dua periode pemilu, kemudian naik ke tingkat nasional pada periode ketiga. Paling tidak kuat dulu, punya kaki yang kuat. Misalnya, di pemilu pertama, parpol alternatif lolos sebagai peserta pemilu, maka bertarung dulu di 5 provinsi. Dari 5 provinsi itu, ternyata bisa meraih beberapa kursi. Di pemilu selanjutnya, naik menguasai di 17 provinsi. Artinya sudah sampai taraf 50% provinsi. Maka di pemilu ketiga bisa ikut di nasional.
Kuncinya adalah proses pemilu itu harus berubah untuk mendorong reformasi kepartaian yang bisa menghadirkan kekuatan politik berbasis pada kepentingan rakyat. Sekarang ada sejumlah anomali, seperti adanya partai lokal di Aceh, menurut saya disamakan saja prosesnya. Jadi, tidak ada diskriminasi. Sekarang kan Papua juga minta partai lokal. Daripada kita bikin dikotomi partai nasional atau partai lokal, kita mulai saja, semua partai baru itu bertarung di tingkat lokal, tapi intensinya tidak berhenti di tingkat provinsi, harus masuk ke nasional. Jadi konsepnya partai nasional, tetapi memulai kontestasi di tingkat lokal dengan syarat seperti saya katakan tadi. Serta proses evaluasi dan mulai dari awal jika tidak memenuhi kursi di 50% provinsi dalam dua periode pemilu, ini hanya sekadar contoh saja.
Meskipun bertarung di tingkat lokal, bukankah partai politik alternatif ini tetap harus terdaftar di Kemenkumham dalam UU yang berlaku saat ini?
Sebetulnya intensinya adalah supaya tidak digagalkan Mahkamah Konstitusi, karena bukan bikin parpol lokal, tapi parpol nasional yang bertarung di tingkat lokal. Menurut saya, harus ada tahapan. Pertama-tama, akan ada partai yang memulai kontestasi di level lokal, tapi sebetulnya partai nasional, hanya saja partai ini tidak hadir menjadi representasi di tingkat nasional karena belum memenuhi cakupan dan membutuhkan proses untuk tumbuh. Jadi, sebenarnya bukan partai lokal, karena intensinya terus berkembang. Partai-partai yang dalam dua periode tidak bisa memenuhi 50% provinsi diharuskan ganti nama dan mulai lagi dari awal, untuk mencegah oligarki lokal. Itu perlu pencermatan dan pendalaman juga dalam diskusi yang berbeda. Buat saya, parpol alternatif jika mau hadir sebagai perlawanan terhadap oligarki, aturan pendirian, kepesertaan, serta arena kontestasinya juga harus diintervensi untuk berubah supaya memungkinkan tumbuh dan berkembangnya parpol alternatif. Karena konyol ketika kita membangun parpol alternatif, tapi berada pada ruang tarungnya oligarki. Tidak akan beda. Pilihannya kalau tidak bergabung dengan oligarki, ya hadir sebentar untuk kemudian mati.
Makanya, pertarungan jangka panjangnya adalah juga mempengaruhi ruang kepesertaan dan arena kontestasinya. Itu tahapan yang panjang. Tapi menurut saya, gerakan harus mulai concern pada strategi kepemiluan. Karena ruang perebutan sumberdaya yang mau diambilalih ada di parlemen, bukan semata-mata bertahan di lapangan. Jadi, di level nasional, bahwa kebijakan yang dirumuskan harus disadari akan berimplikasi pada perampasan sumber daya di lapangan sehari-hari. Gerakan selama ini kan hanya bertahan dari mesin kebijakannya oligarki. Parpol alternatif ini didorong untuk masuk ke dalam ruang pembahasannya, sehingga kebijakan yang meminggirkan kelompok marjinal ini bisa dipengaruhi dari dapurnya, bukan memaksa mereka untuk terus bertahan dan reaktif saja di lapangan.
Tahap pertama politik alternatif itu mentransformasikan gerakan sosial menjadi gerakan politik untuk bertarung dalam politik elektoral dan berintensi membuat diskursus di dalam parlemen. Karena parlemen itu dapur sumber daya, semua ada di situ. Memang untuk teman-teman yang mulai membangun parpol alternatif, belum lagi bicara di luar strategi makronya untuk membedakan parpol alternatif dengan yang bukan. Tahap berikutnya secara teknis nanti bicara tentang strategi internal organisasi, misalnya cara berkonsolidasi, cara dalam mengagregasi kepentingan, transisi kekuasaannya seperti apa.
Model voluntarisme sudah muncul sekarang, misalnya, Jokowi punya relawan. Tapi relawan itu kan orang yang nir-ideologi bahkan nir-kepentingan bersama. Kesetiaan mereka pada tokoh. Relawan yang berkumpul itu kan orang-orang yang tidak punya kepentingan yang sama. Mereka berkumpul karena ada figur pemersatu. Kunci parpol alternatif tidak bersandar pada sosok. Kalaupun ada sosok pemimpin, diikat oleh kepentingan yang jelas, yang bahkan pemimpinnya pun terikat. Sehingga yang perlu dilakukan ketika membuat visi-misi partai, platform, kampanye atau program garis kebijakan, itu semuanya bottom-up. Caranya adalah dengan melakukan agregasi seperti melalui survei warga. Itu adalah prasyarat paling awal untuk bicara tentang bagaimana pemimpin di setiap daerah diikat oleh kepentingan yang diusung dari bawah. Jadi survei warga adalah prasyarat dan instrumen penting partisipasi warga untuk melakukan agregasi dan reclaiming kepentingan.
Bukankah ketika relawan mendukung seorang figur, itu dilatarbelakangi oleh adanya kesepakatan dengan gagasan yang dibawa? Apakah bisa dimaknai sebagai ada kesamaan kepentingan juga?
Ya , tapi kan gagasannya ditawarkan, bukan muncul dari agregasi kepentingan dari bawah. Jadi, yang paling gampang adalah kenapa akhirnya teman-teman buruh tidak bisa deal dengan Jokowi? Karena sesederhana pemimpinnya tahu mana yang mau dilakukan dan tidak. Ini bentuk transaksinya klientelistik, jadi pemimpin menawarkan sesuatu, masyarakat dukung dia. Beda dengan parpol alternatif yang tidak peduli pemimpinnya siapa, tapi agregasi kepentingannya jadi dulu sebagai pengikat.
Sebetulnya poin-poinnya relawan ada, tapi abstrak. Ini ada kelompok aktivis HAM dijanjikan adanya pengadilan ad hoc untuk penyelesaian. Tapi itu transaksi yang metodenya si kandidat menawarkan, sifatnya masih top-down. Nawacita, misalnya, hasil agregasi dari bawah atau bukan? Tidak, itu elitis yang mencoba untuk mempersuasi masyarakat di bawah. Metode kerja parpol alternatif memang beda karena bersandar pada agregasi kepentingan yang dibawa dari bawah sebagai pegangan. Sehingga gerakan tidak bergantung pada sosok. Itu sepertinya sederhana, tapi tidak mudah dilakukan. Coba dicek saja di partai yang ada sekarang, semua pasti basisnya kepemimpinan elitis, bergantung pada ketua umum. Dia bilang A, maka akan menjadi prioritas yang mutlak bagi anggota. Menurut saya, kerja agregasi kepentingan harus dibiasakan.
Jadi kalau ada pemimpin yang terpilih dalam pilkada, harus mendorong best practice semacam Porto Allegre, Brazil. Dalam setiap kebijakan harus ada deliberasi, proses pembahasan legislasi dan anggaran yang dimulai dari bawah. Di eranya Jokowi di Jakarta kan awalnya cukup baik ketika ada public hearing dalam diskursus mana yang prioritas pembangunan ruas jalan tol atau pembangunan transportasi publik. Harusnya itu jadi konsensus, tapi kenapa di eranya Ahok itu dikhianati? Atau, misalnya, dalam proses Kampung Pulo, mereka bukan tidak membangun suatu transaksi bersama untuk merevitalisasi kampung pulo menjadi kampung susun, kok sekarang formulanya tetap relokasi? Padahal kesepakatannya tidak seperti itu. Hal tersebut karena kontrak politik bersifat parsial dan hanya pada spasial tertentu. Maka sebenarnya yang jadi kunci kalau agregasi dilakukan secara menyeluruh dan tidak parsial bahwa tuntutan di seluruh wilayah sama, menolak relokasi tapi pengaturan dan revitalisasi tanpa mengubah ruang hidup. Pemimpinnya sudah diikat dengan proses agregasi kepentingan, maka harus membuka ruang deliberasi masuk agar mentransformasi hal tersebut jadi kebijakan yang tertuang dalam RPJMN/D. Kunci politik alternatif adalah deliberasi dan partisipasi warga.
Sebenarnya sederhana tapi sulit, karena kerap kali kalau sudah masuk ke partai, semua langsung melompat berpikir jauh, langsung ke presiden, kepala daerah, maka yang dipentingkan adalah sosok dan popularitas. Padahal, menurut saya, parpol harus dibiasakan jadi instrumen utama politik alternatif, bukan sosok individunya. Karena orang memandang legislatif itu abstrak, padahal di situ yang paling konkret dalam proses deliberasi. Yang dianggap paling konkret sekarang justru pilkada, sementara ketika menang pilkada, tapi tidak punya infrastruktur partai politik, orang baik sekalipun jika di lingkaran oligarki akan tetap busuk juga. Tergiur pilkada sih boleh-boleh saja, tapi kalau tidak membangun partai politik alternatifnya, ini akan keropos.
Artinya, Anda akan lebih memilih diaspora, berharap pada orang baik yang kuat yang bisa mengubah segalanya. Padahal yang perlu diubah adalah wajah representasinya, wajah berpolitiknya. Pertama-tama, parpol alternatif, menurut saya, harus sedikit demi sedikit hadir dulu, tetap dalam posisi memberikan diskursus di parlemen, itu akan menjadi proses pendidikan politik warga yang baik. Jadi arahannya bukan langsung tiba-tiba mencalonkan kepala daerah atau presiden, buat saya itu konyol juga karena hanya memikirkan siapa sosok yang pas, selalu itu saja. Kalau partai sudah kuat, barulah merebut ruang pilkada. Sekarang banyak yang kecewa dengan pilkada karena tidak ada partai politik alternatif di parlemen, sehingga calon kepala daerah akan selalu berupa pilihan terbatas yang disodorkan oligarki.
Jadi, kalau misalnya mulai dari strategi ruang tadi, sudah ada beberapa kursi di provinsi tertentu dan kita sudah bisa masuk ke pilkadanya, mempunyai basis yang kuat, nanti direplikasi ke provinsi berikutnya. Harus sejauh itu rencananya. Kalau tidak, ya verifikasi, bertarung menembus parliamentary threshold, tidak lolos, sudah bubar, semua usahanya runtuh. Makanya, caranya jangan langsung bertarung di tingkat nasional, harus mulai dari lokal dulu untuk bisa bertahan, napas itu tetap ada.
Meski belum jadi partai peserta pemilu secara definitif, tetap bisa muncul sebagai mesin dan instrumen bagi calon-calon kepala daerah independen dalam konteks pilkada. Parpol alternatif tetapi bisa membawa simbol untuk mengasosiasikannya dengan calon independen kepala daerah.
Bagaimana Bung melihat perkembangan kelompok yang mengupayakan pembangunan partai politik alternatif? Apakah kelompok ini sebaiknya melebur menjadi satu kekuatan, atau terdiri dari beberapa pengelompokkan yang saling beraliansi dan berjejaring?
Menurut saya, existing itu tidak harus selalu lolos ke pemilu, karena ini waktunya sudah mepet. Parpol alternatif hadir sebagai partai saja dulu. Mulai dari sekarang, yang paling penting, jangan hanya satu partai yang punya platform parpol alternatif, bisa beberapa. Nanti bisa bikin aliansi. Sekarang belum perlu tegas menetapkan garis batas ideologi, tapi memperjelas kerangka kerja melawan oligarki. Ideologi itu jangan dipertajam ruang perbedaannya. Untuk sementara, itu justru akan memukul mundur strategi gerakannya.
Adanya beberapa partai supaya tidak mudah dipukul, karena berfokus pada beberapa organ kekuatan. Saya agak pesimis semua bisa lolos pemilu, tapi saya optimis salah satu dari mereka jadi partai yang existing dulu, nanti lainnya bergabung dalam aliansi. Paling tidak kalau bekerja dalam platform sama, cara-cara kerja aliansi ini akan jauh lebih baik. Oke, belum bisa jadi partai peserta pemilu, tapi dengan jalur independen dalam pilkada bisa saja menampilkan parpol alternatif sebagai background-pendukungnya. Menurut saya strateginya adalah bertahap dan jangka panjang daripada lari sprint.
Yang disebut parpol harus tarung di tingkat lokal, apakah desa bisa jadi pintu masuk?
Desa itu sistemnya non-partai, tapi bisa jadi pintu masuk dalam arti meredefinisi apa itu arti politik dan perjuangan politik. Karena begitu jelas dan konkretnya di desa, ketika sumber daya politik diintervensi, bisa langsung didapat. Sekarang kalau warga kota berpolitik, yang non-defensif itu seperti apa? Kalau ada proses advokasi saja baru berpolitik. Kalau dalam situasi vakum, normal sekalipun harus berpolitik, yaitu dengan tahu apa yang kita mau, apa kebutuhannya. Dengan tahu sumber daya apa yang dibutuhkan, maka sumber daya itu yang direbut, bukan dipaksa bertahan supaya sumber daya kita tidak direbut, tapi Anda merebut sumber dayanya. Paling sederhana kita harus bicara soal hak dasar. Ketika berhasil dirumuskan, itu yang harus diupayakan untuk direbut. Lewat apa? Bukan lewat proses yang selama ini defensif, tapi lewat ruang-ruang anggaran, ruang-ruang legislasi, yang adanya di parlemen.
Kalau di desa, kenapa dimulai di situ adalah untuk menemukan kembali apa makna politik, supaya makna politik tidak hanya memilih orang. Bagaimana cara kerjanya? Harus kembali ke basis, memaknai ulang: 1) politik sebagai cara merebut sumber daya, bukan hanya mempertahankan sumber daya; 2) partisipasi politik sebagai semua upaya melibatkan diri pada perebutan sumber daya. Maka partisipasi politik jangan dimaknai sebagai ikut pemilu saja, tapi segala aktivitas masyarakat dalam merebut sumber daya; 3) Pemilu dimaknai bukan sebatas suksesi dari A ke B, tapi harus dimaknai sebagai momentum strategis untuk agregasi dan pemetaan kebutuhan; 4) partai politik harus dimaknai tidak mungkin aktivitas politik dilakukan tanpa partai politik.
Bagaimana memaknai partai di tengah skeptisisme banyak orang terhadap partai itu sendiri?
Bagaimana mungkin berpolitik tanpa berpartai, karena ruang-ruang perebutan sumber dayanya ada di parlemen melalui partai, sementara ruang bertahannya ada di ruang jalanan. Itu level pertarungan yang harus diisi di kedua sisi untuk dimenangkan. Karena mengandalkan gerakan di luar parlemen semata, di situ akan bertabrakan dengan aturan yang dibuat oleh para oligark. Maka aturan itu yang harus diintervensi dengan masuk melalui partai politik, masuk dalam ruang pertarungan aturannya supaya kita sendiri bisa mempunyai perlawanan terhadap aturan itu. Karena kalau tidak, kita akan hanya ada di jalanan. Memang harus dual track. Pertama, harus di parlemen sebagai ruang intervensi sumber daya. Sumber daya itu kan adanya di parlemen. Kedua, agregasi kekuatan di basis, di jalanan, dimana parpol alternatif perlu banyak jumlah masyarakat yang sadar akan kepentingannya. Sehingga kalau dibilang merebut sumber daya, artinya baik parpol dan partisipasi warganya itu sudah sadar.
Menurut saya naif cara CSO (civil society organization) mau mentransformasi, menolak dan mengadvokasi hanya dari luar, berhasil, tapi toh tidak bisa merebut kekuasaan. Pandangan paling pragmatis atau paling purba soal politik adalah merebut kekuasaan, maka lewat cara apa mau mengambil kekuasaan? Cara berdiaspora? Itu tidak efektif karena tidak membentuk kekuatan kolektif. Cara membentuk kekuatan kolektif itu adalah lewat parpol alternatif. Memang untuk tahap sekarang jangan bicara dulu soal perebutan kekuasaan, tapi bagaimana caranya hadir dulu dan mempengaruhi dinamika politik yang ada. Coba aja dijawab, bagaimana jika tidak lewat partai? Karena jika tidak, akan terus dipaksa bertahan. Maka yang paling penting adalah hadir di ruang pengambilan keputusan di legislasi dan proses anggaran. Berhasil di sana saja sudah sebuah kemenangan.
Ketika menang lewat parpol alternatif, itu akan berlaku secara menyeluruh dan non-diskriminatif. Artinya, ketika dimenangkan di ruang legislatif, kita akan memenangkan kebijakan yang komprehensif. Misalnya, berhasil menemukan formulasi aturan dimana tidak ada lagi model penggusuran yang bentuk kompensasinya adalah rusun, tapi revitalisasi. Jadi, semua hal yang berkaitan dengan penggusuran berubah bentuk kompensasinya. Ketimbang, misalnya, memenangkan penggusuran di Stasiun UI, tapi di tempat lain digusur, lalu kita mau apa? Proses atau strategi parsial itu, menurut saya, karena minimnya visi strategi alternatif yang komprehensif dan saling terkait satu sama lain.
Apa saja isu penting soal peraturan pemilu?
Secara garis besar, posturnya adalah menghambat partisipasi politik masyarakat, mau menyempitkan makna politik buat masyarakat. Gambaran itu didapat dari mendorong seolah-olah partai harus berdaulat, tapi dikuasai oligarki. Ini menjadi upaya untuk mempertahankan sumber daya oligarki. Oligarki itu ingin pemilu melalui beragam instrumen penyederhanaan partai politik. Itu dilakukan atas nama penguatan sistem presidensialisme. Supaya bagi-bagi jatah kursi menteri itu lebih mudah. Mereka ingin lebih mudah dalam bertransaksi. Dapat dipastikan sulit untuk membangun kekuatan oposisi
Sekarang, ada upaya untuk mengembalikan ke sistem pemilu tertutup. Sistem ini agak mirip strateginya dengan PP Pengupahan. Dalam konteks perburuhan, PP Pengupahan itu memotong kaki gerakan buruh supaya pincang ketika menghadapi pilkada, tidak punya lagi landasan untuk bargaining dengan calon-calon dalam pilkada. PP Pengupahan itu menghantam gerakan buruh dengan memberikan kepastian kenaikan upah lewat rumus pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Di satu sisi memang dikasih kepastian, tapi PP ini mengakibatkan posisi politik gerakan buruh hilang, tidak punya bargain. Sistem tertutup itu sama, karena membunuh kemungkinan gerakan sosial berdiaspora ke dalam partai politik yang ada. Selama ini, jika ada gerakan buruh masuk ke partai oligarki seperti di Bekasi, itu akan tidak mungkin lagi. Kalaupun mungkin, itu hanya simbol.
Bukankah saat ini sebaiknya strategi politik diaspora mulai dihindari?
Ya memang, tapi itu satu-satunya channel yang ada tanpa adanya parpol alternatif. Jika parpol alternatif belum ada dan politik diaspora dihapus, mau pakai apa lagi? Kemudian, itu adalah cara konsolidasinya elit parpol oligarki. Beberapa riset menunjukkan kesulitan oligarki untuk terpilih lagi karena tidak punya basis. Selama ini mereka mengandalkan biaya besar, lewat politik uang, yang efektivitasnya mulai dipertanyakan. Petinggi partai sekarang kerap kali kesulitan untuk memastikan dirinya ada di parlemen karena mereka tidak punya basis. Dari 30% yang terpapar politik uang, hanya 18% yang efektif memilih sesuai yang memberi.
Artinya, dengan menyadari itu, mereka semakin tahu bahwa kekuatan finansial tidak menjamin mereka menang. Maka pilihannya bagi oligarki adalah mengembalikan ke kedaulatan partai dengan menjadikan sistem tertutup. Suara ke partai, penentuan posisi ada di partai. Strategi lainnya, misalnya, ada petinggi partai tinggal di Jakarta dan tidak punya basis. Tapi tahu partainya kuat di daerah Sulawesi. Sebagai petinggi partai tentu akan menempatkan dirinya di daerah itu. Dengan sistem tertutup, itu dimungkinkan. Intensinya jelas, yaitu memudahkan elit untuk berkonsolidasi karena kewenangan untuk menentukan keterpilihan seorang caleg ada di partai, bukan di masyarakat.
Mana saja yang bisa diidentifikasi sebagai kekuatan yang termasuk sebagai parpol alternatif?
Satu hal yang pasti, prosesnya dimulai dari transformasi gerakan sosial menjadi gerakan politik, dengan identitas, kelas, dan kepentingan yang jelas untuk mewakili kelompok masyarakat luas yang tidak terepresentasi saat ini yakni kelompok utama seperti buruh, tani, nelayan, masyarakat adat, kalangan miskin, dan perempuan. Kemudian pola kerja melalui agregasi kepentingan dari bawah guna mensjustifikasi reklaim kepentingan politik yang non elitis serta mengandalkan pola kerja partisipasi politik warga dan membuka ruang deliberasi anggotanya. Saat ini elemen seperti Partai Hijau Indonesia (PHI), Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI), dan Rumah Rakyat Indonesia (RRI) adalah tiga elemen kekuatan yang punya potensi menjadi partai politik alternatif. Tinggal menunggu kapan ketiga elemen ini bisa duduk bersama dan membicarakan secara serius strategi politik elektoral mereka dalam berhadapan dengan partai oligarki yang ada. ***