Sumber ilustrasi: wnyc.org
ADA rentetan peristiwa yang terjadi di tiga hari terakhir di minggu ini.
Pertama, tragedi penyerangan brutal oleh pihak aparat gabungan Polda Jabar, Kodam Siliwangi dan Satpol PP ke desa Sukamulya pada hari Kamis, 17 November. Sebanyak 1.478 Kepala Keluarga memilih bertahan dan tidak ingin melepaskan tanah mereka untuk dijadikan landasan pacu bagi rencana pembangunan bandara internasional. Warga Sukamulya, Kertajati, Majalengka, menolak pendekatan Pemda Jabar yang enggan melakukan sosialisasi, melakukan pemaksaan dan pengingkaran terhadap hak mengenai ganti rugi yang sepadan. Ini adalah satu-satunya desa yang tersisa di antara 11 desa yang wilayahnya termasuk dalam target gusur Pemda. Penduduk dari 10 desa lain sudah menyingkir dan nasibnya terkatung-katung.
Tidak ingin mati sia-sia macam anjing liar di jalanan, warga Sukamulya memilih bertahan.
Mereka dipentungi, diserang menggunakan gas air mata walau tidak melawan 1.200 personil perang utusan Pemda Jabar. Akibat pertarungan yang tak imbang ini, 16 warga terluka. Enam orang digelandang ke Markas Polda Jabar untuk dinterogasi penuh intimidasi. Saat ditahan, dua orang dalam kondisi cedera berat karena dipukuli aparat. Hasilnya, tiga petani dinyatakan sebagai tersangka dan dituduh sebagai biang kerok yang memprovokasi bentrokan.
Keesokan harinya, Jumat, 18 November, giliran para petani di desa Mekar Jaya, kecamatan Wampu, kabupaten Langkat, Sumatera Utara yang dihajar babak belur oleh duo maut Polisi dan TNI. Permintaan petani agar penyelesaian konflik tanah melibatkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Langkat, direspon dengan mengirimkan 1.500 personil gabungan Polisi dan LINUD Raiders diiringi bersama alat-alat berat. Tanah dan pemukiman petani diratakan. Mereka yang dianggap menghalangi upaya pengusuran dipukuli dan dikejar hingga masuk kampung. Satu orang petani ditangkap dan beberapa lainnya mengalami cedera serius sehingga harus dirawat di rumah sakit. Sepasang lansia dan seorang anak kecil ikut menjadi korban pemukulan oleh aparat.
Mekar Jaya kemudian diisolasi. Tidak ada perlintasan keluar masuk hingga penggusuran selesai. Yang disasar adalah kawasan seluas 554 hektar milik petani. Lahan ini dahulu diserobot paksa oleh PTPN II Kebun Gohor Lama di tahun 1998. Kini, konflik kembali menegang karena masuknya PT. Langkat Nusantara Kepong asal dari Malaysia yang mengambil alih pengoperasian PTPN II.
Belum reda, pagi hari Sabtu (19 November) kabar muncul dari bagian timur. Ibadah syukur memperingati 8 tahun berdirinya Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang dirangkai dengan pelantikan Badan Pengurus KNPB Sorong Raya dibubarkan paksa oleh tim gabungan Polisi dan TNI. Hasilnya 109 orang yang menghadiri prosesi ibadah yang berlangsung di lapangan SPG Maranatha Kota Sorong, ditangkap. Seluruhnya wajib menjalani interogasi di kantor Polresta Sorong.
Dalam rombongan yang ditangkap, terdapat dua balita: Aldo Yohame (5 tahun) dan Rosalina Badii (8 bulan).
Kasus penangkapan massal ini adalah mata rantai represi yang berkelanjutan di Papua. Pembubaran ibadah disertai penangkapan adalah bagian dari rangkai operasi gabungan TNI dan Polisi untuk membendung merebaknya semangat kemerdekaan di Papua. Bulan Mei kemarin misalnya, hampir dua ribu orang ditangkap dalam sehari. Kapolres Sorong Kota, Edfrie Maith bahkan dengan bangga mengatakan bahwa pihaknya sukses bekerja sama dengan jurnalis di kota Sorong untuk tidak memberitakan soal penangkapan massal ini. Kepolisian paham benar, jika publikasi akan penangkapan ini akan berujung buruk untuk citra Indonesia di dunia internasional. Beberapa negara Pasifik sudah terbuka menyampaikan kritik tentang pelanggaran HAM di Papua.
Apa benang merah ketiga peristiwa di atas yang terpisah secara geografis? Mengapa Langkat (Sumatera Utara), Majalengka (Jawa Barat) dan Sorong (Papua) menjadi mungkin untuk dibaca dalam satu tarikan?
Mari coba kita periksa.
Pertama, terjadi pada akhir Desember 2015. Amandemen keempat atas Peraturan Presiden (Perpres) No.71/2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembagunan Untuk Kepentingan Umum resmi ditandatangani Jokowi. Hasilnya, terbit Perpres No.148/2015. Revisi utama dalam amandemen ini adalah percepatan dan efektivitas konsolidasi tanah. Sejumlah tahapan dalam pengadaan tanah yang dipandang berbelit-belit, dipangkas.
Di Perpres ini juga disebutkan bahwa komplain akan ditangani dalam waktu tiga hari kerja. Jika dalam jangka waktu tersebut sengketa belum selesai, maka penetapan lokasi dianggap telah final dan disepakati semua pihak.
Hebat bukan?
Artinya, jika sebidang tanah telah disasar sebagai lokasi proyek, maka tidak ada yang bisa menggagalkannya. Itu mengapa, Pemda Jabar berkeras melakukan pengukuran dan meminta warga di Sukamulya menyingkir. Karena semenjak desa itu masuk dalam peta rencana proyek, sudah dapat dipastikan bahwa tanah mereka telah hilang.
Kedua, adalah fakta bahwa bersamaan dengan itu contoh pertama di atas, Jokowi juga menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) No.104/2015 tentang Tata Cara Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Menurut PP ini, perubahan fungsi kawasan hutan secara parsial dilakukan melalui perubahan fungsi antar fungsi pokok kawasan hutan atau dalam fungsi pokok kawasan hutan.
Singkatnya, pemerintah menyediakan kemudahan investasi di kawasan hutan. Ijin pelepasan kawasan hutan disederhanakan seperti ijin pinjam pakai dengan mengubah Permenhut P.33/Menhut-II/2015 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi jo P.28/Menhut-II/2014.
Kemudahan ijin pelepasan kawasan hutan itu bagian dari Paket Ekonomi II yang ditawarkan rezim Jokowi untuk meningkatkan iklim investasi. Empat belas ijin kehutanan dibabat menjadi tinggal enam ijin. Keseluruhan perijinan ini otoritasnya berada di Pemerintah Pusat. Semuanya kini bisa selesai dalam 12-14 hari saja.
Sungguh, berbagai kemudahan inilah yang membuat investasi di sektor agribisnis jadi lebih bergairah. Persoalan di Langkat berada di koridor ini. Pengambilalihan lahan sebagai upaya perluasan industri perkebunan raksasa melampaui nalar soal hak atas tanah dan soal kemandirian petani. Agribisnis berada di atas semua itu.
Poin ketiga, terkait peluncuran paket Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sorong oleh Jokowi pada Juni kemarin. KEK Sorong diharapkan menjadi solusi cepat untuk memperlancar distribusi barang konsumsi ke daerah Kepala Burung dan mempermudah pengiriman hasil rampokan sumber daya alam ke luar Papua. Tol laut misalnya, diharapkan akan mempercepat alur keluar jarahan kayu dari belantara Sorong, Manokwari, Teluk Wondama dan sekitarnya.
Untuk mendukung KEK Sorong, maka perangkat yang harus disiapkan adalah infrastruktur perhubungan (jalan raya, bandar udara dan pelabuhan kapal), ketersediaan listrik, serta memastikan kondusifnya situasi politik agar roda bisnis tidak terganggu.
Misalnya, pembaharuan terhadap bandara Domine Eduard Osok (DEO), Sorong dengan biaya 236 milyar rupiah dari APBN. Panjang lintasan pacu rencananya akan ditambah menjadi 2.500 meter agar lebih banyak jenis pesawat yang bisa mendarat. Luas terminal bandara juga akan direnovasi agar dapat menampung lebih banyak orang. Ekstensifikasi ini dipandang perlu mengingat Sorong adalah opsi paling memungkinkan sebagai pintu masuk sebelum mencapai Raja Ampat, ceruk pariwisata bahari ala Jokowi.
Namun pembangunan infrastruktur tidak akan berlangsung nyaman jika semangat perjuangan pembebasan nasional terus mekar. Itu sebabnya represi dan supresi terhadap aspirasi dan aksi politik di Papua menjadi keharusan. Pembungkaman kebebasan berpendapat menjadi wajib hukumnya.
Apa benang merah ketiganya? Perampasan tanah.
Nyong dan Nona boleh tidak sepaham. Tapi biar saya jelaskan dulu.
Sejak menjabat sebagai presiden, Jokowi secara sadar membangun kebijakannya pada dua aspek utama: infrastruktur dan agribisnis. Pilihan ini merupakan rangkai yang erat dengan tren global. Kalau tidak ikut, apa kata kapitalisme global nanti? Mau kalian jika Jokowi dituduh anti-investasi?
Nah, pembangunan infrastruktur secara masif dan meluas, serta ekstensifikasi mega agribisnis itu berakibat langsung pada peningkatan eskalasi kekerasan. Akhir Agustus lalu, Wakil Ketua Komnas HAM, Dianto Bachriadi mengatakan bahwa pembangunan infrastruktur selama pemerintahan Jokowi-JK penuh praktik kekerasan dan manipulasi. Proyek-proyek skala besar tersebut juga akhirnya ditujukan untuk kepentingan korporasi, bukan masyarakat setempat.
Dan Jokowi dalam Perpres No. 3/2016 soal Proyek Strategis Nasional, mencatat setidaknya 225 proyek raksasa lagi yang bakal dikebut. Artinya? Spiral kekerasan belum akan berhenti. Kenapa? Tentu saja karena pelibatan aparat keamanan. Tahun Komnas HAM mencatat bahwa dari 1.127 aduan yang masuk, Polisi dan TNI adalah dua aktor papan atas yang paling menjadi pelaku kekerasan.
Terdengar mirip dengan penggusuran, pembangunan bendungan, reklamasi dan pembangunan pabrik semen? Tentu saja. Karena semuanya terhubung. Sekali lagi. Benang merahnya adalah infrastruktur dan agribisnis.
Lalu apa yang bisa kita lakukan?
Ada dua. Pertama, pasrah dan berharap bahwa ada keajaiban yang turun dari langit. Diselingi marah-marah di media sosial sembari membagikan tautan. Ini paling mudah. Modal dua jempol yang sehat serta semangat anti-politik dalam dada.
Kedua, mengkonsolidasikan dan mengkoneksikan semua musuh rezim. Mulai dari korban gusuran perkotaan, petani dan komunitas orang asli yang dirampas tanahnya, buruh pabrik dan buruh kebun yang dibayar murah, para pejuang lingkungan, dan kelompok korban. Konsolidasi bisa dimulai dengan mempromosikan semangat untuk berpolitik secara demokratik. Kekuatan alternatif tidak hadir lewat satu juta KTP, atau memilih setan yang paling baik di antara kumpulan iblis (lesser evil movement), atau gerakan non-parlementer yang utopis dan delusional.
Sikap untuk memilih jalan pedang. Bertekun membangun kekuatan politik alternatif berbasis massa yang dengan gembira bertempur di semua lini dan gelanggang politik demokrasi liberal. Tidak bisa tidak, kita harus memulai organisasi swakelola yang mengajarkan manajemen politik, kemandirian ekonomi dan kesadaran ideologi kelas pekerja.
Karena kita tidak bisa menunggu setelah 2019 untuk melakukan semua itu. Sebab, mungkin saat itu semuanya sudah terlambat.***