MASUKNYA militer ke dalam bisnis sudah dimulai sejak lama. Bahkan bisa dilacak sejak dimulainya revolusi kemerdekaan tahun 1945, dimana para komandan militer melakukan penyelundupan candu dan komoditas lainnya untuk membiayai anggaran militer. Praktik penyelundupan kopra, karet, kopi dan lainnya terus terjadi sepanjang dekade 1950an. Kemudian bersamaan dengan memanasnya konflik dengan Belanda karena isu Irian Barat, maka diadakan keadaan darurat perang dan nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan Belanda pada tahun 1957. Militer lalu mengambil-alih perusahaan-perusahaan tersebut ke tangannya. Ini merupakan pintu masuk bagi keterlibatan militer dalam bisnis skala besar. Sejak itu, para perwira Angkatan Darat mengelola berbagai perusahaan di bidang perkebunan, pertambangan, perbankan eks Belanda dan lain-lain. Peranan militer makin diperluas ketika perusahaan-perusahaan Inggris juga ditempatkan di bawah pengawasan militer pada tahun 1964 dan juga perusahaan-perusahaan Amerika pada tahun 1965.
Setelah genosida 1965/66 yang dijalankan oleh militer untuk menghabisi pemerintahan Sukarno dan pendukung kuatnya yaitu PKI, maka keserakahan militer tidak bisa lagi dikontrol. Para komandan militer mulai menjalankan kegiatan bisnis mereka dengan mendirikan perusahaan-perusahaan milik militer. Muncullah “jenderal-jenderal finansial” yang berasal dari seksi Finek (Finansial dan Ekonomi) di Angkatan Darat. Mereka kini mempunyai akses hampir tak terbatas terhadap sumber-sumber daya dan fasilitas milik negara serta kekuasaan atas alokasi lisensi impor/ekspor, konsesi hutan dan kontrak-kontrak negara. Jend. Soedjono Hoemardhani, asisten pribadi (aspri) presiden, dari Finek Kodam Diponegoro, menjadi Direktur grup bisnis militer terbesar, yaitu PT Tri Usaha Bhakti (TUB). Lalu Jend. Sofjar, ketua KADIN (Indonesia Chamber of Commerce) yang mengepalai grup bisnis Kostrad, Yayasan Dharma Putra (YDP); Jend. Soerjo, Direktur YDP dan grup Hotel Indonesia, juga aspri presiden. Beberapa jenderal lain yang menguasai bisnis dan sekaligus aspri presiden adalah Jend. Alamsyah, Jend. Tirtosudiro dan Jend. Suhardiman.
Grup-grup bisnis militer terdiri dari ratusan perusahaan yang dimiliki militer, sejak dari jenderal-jenderal di pusat hingga tingkat KODAM dan KODIM. Selanjutnya, bisnis militer juga diwadahi di dalam empat koperasi militer: INKOPAD, INKOPAL, INKOPAU dan INKOPAK (kemudian menjadi Inkoppol) yang masing-masing adalah milik AD, AL, AU dan kepolisian. Grup bisnis militer yang terkemuka adalah dari KOSTRAD yaitu YDP; grup bisnis Divisi Siliwangi yaitu PROPELAT; grup TUB yang didirikan HANKAM, dan grup bisnis Divisi Diponegoro, tempat asal Jend. Suharto bekerjasama dengan konglomerat terkaya Indonesia, Liem Sioe Liong dan Bob Hasan.
Menurut ICW (Indonesia Corruption Watch), bisnis militer sejak itu terdiri dari tiga jenis. Pertama, bisnis institusional atau formal; kedua, bisnis non-institusional atau non-formal, dan ketiga, bisnis criminal economy, yang tidak diakui keberadaannya tetapi eksis. Bisnis formal adalah kategori bisnis yang melibatkan TNI secara kelembagaan. Contohnya bisnis militer dengan bentuk yayasan dan koperasi. Susunan pengurus yayasan mengikuti struktur komando. Bisnis dalam bentuk yayasan tidak hanya dijalankan di tingkat kesatuan atau di tingkat Markas Besar. Pada hirarki militer di bawahnya, seperti KODAM, juga memiliki yayasan sendiri. Sementara Koperasi di lingkungan militer juga mengikuti struktur komando. Di tingkat markas besar (MABES), koperasi menggunakan nama Induk. Sedangkan di tingkat KODAM, koperasi menggunakan nama Pusat sementara di tingkat KOREM atau KODIM, menggunakan nama Primer.
Bisnis informal adalah bisnis militer yang tidak melibatkan militer sebagai institusi melainkan individu-individu pensiunan militer atau anggota yang sudah tidak aktif lagi. Namun demikian, bisnis informal ini sudah dirintis sejak pejabat militer dikaryakan di perusahaan swasta atau BUMN dan kemudian mengembangkan usaha mereka sendiri. Dalam kategori bisnis informal ini dapat dilihat pada sejumlah kelompok-kelompok usaha seperti Kelompok Usaha Nugra Santana (Ibnu Sutowo), Kelompok Usaha Krama Yudha (Sjarnoebi Said), dan lain-lain.
Bentuk ketiga, criminal economy biasanya berupa perlindungan yang diberikan oleh anggota militer terhadap praktik bisnis gelap yang melanggar hukum, misal perdagangan narkoba, penyedia jasa tenaga demonstran, beking perjudian dan illegal logging. Termasuk juga bentuk permintaan sumbangan keamanan atau tambahan uang servis apabila ada gejolak keamanan. Sampai sekarang bisnis militer ini sulit sekali untuk dikontrol atau diawasi oleh negara.
Kejatuhan rejim Suharto pada 1998 bukanlah berarti kejatuhan Orde Baru yang militeristik. Oligarki Orde Baru (Orba) tetap berlanjut hingga kini. Oligarki kapitalisme rente tetap direproduksi dan mengalami regenerasi. Pusat-pusat kekuasaan politik dibagi bersama di antara kekuatan-kekuatan oligarki tersebut. Nampaknya, baik anggota sipil maupun militer berbagi kepentingan yang sama dalam mengamankan aset-aset ekonomi dan bisnis yang sudah ada sejak Orde Baru. Karenanya mafia-mafia ini tetap mencoba bertahan dan bahkan ingin terus dominan dalam kekuasaan hingga sekarang.
Era Reformasi sejak 1998 tidak terkecuali juga mengharuskan militer di-reformasi. Reformasi TNI sesuai dengan UU no. 34 tahun 2004 tentang TNI, dimana ditetapkan bahwa tentara yang profesional adalah tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi. Di dalam Pasal 39 ayat (3) juga ditegaskan bahwa prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan bisnis. Sementara Pasal 76 ayat (1) dikatakan bahwa dalam waktu 5 (lima) tahun sejak berlakunya undang-undang ini, Pemerintah harus mengambilalih seluruh aktivitas bisnis yang dimiliki dan dikelola oleh TNI baik secara langsung maupun tidak langsung. Sementara dalam ayat (2) dikatakan bahwa tata cara dan ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan ayat (1) diatur dengan keputusan presiden. Dalam kenyataannya hingga kini, praktik bisnis militer sulit sekali disentuh, termasuk tiadanya akuntabilitas dan transparansi atas anggaran militer.
Di tahun 2004, pemerintah memulai proses divestasi bisnis militer, baik melalui likuidasi perusahaan-perusahaan militer ataupun menyerahkannya kepada Negara. Data resmi dari tahun 2007 memperlihatkan bahwa militer mempunyai 23 yayasan dan sekitar 1000 koperasi, yang memiliki 55 perusahaan maupun menyewakan ribuan properti dan bangunan pemerintah. Yayasan-yayasan dan koperasi-koperasi ini mempunyai aset kotor sebesar Rp 3,2 trilyun dan menghasilkan keuntungan Rp 268 milyar di tahun itu. Setelah tenggat-waktu tahun 2009, pihak militer menyatakan sudah tidak lagi mempunyai bisnisnya sendiri secara langsung. Tetapi militer kini membuat kekayaan dengan cara lain, seperti lewat penyewaan lahan kepada perusahaan-perusahaan swasta, memajaki perusahaan-perusahaan dengan jasa keamanan, serta memiliki saham di perusahaan-perusahaan secara tidak langsung lewat yayasan dan koperasi. Ini seperti YAMABRI (Yayasan Markas Besar ABRI), YKEP (Yayasan Kartika Eka Paksi), YKSDP (Yayasan Kesejahteraan Sosial Dharma Putra) Kostrad, YAKOBAME (Yayasan Kesejahteraan Korps Baret Merah), YASBHUM (Yayasan Bhumyamca) dari AL dan YASAU (Yayasan Adi Upaya) dari AU.
Lewat yayasan dan koperasi inilah, militer kemudian bekerjasama dengan para pengusaha dan konglomerat. Salah satu contoh adalah kerjasama mereka dengan Tommy Winata (TW) alias Oe Suat Hong, pengusaha yang sukses menjalankan grup bisnis Artha Graha yang bertalian erat dengan YKEP. Artha Graha menjadi besar karena koneksinya dengan para pejabat militer dan polisi. Mereka menjalankan berbagai bisnis di bidang properti, konstruksi, perdagangan, hotel, perbankan, transportasi dan telekomunikasi. Perusahaan bisnis properti terkemukanya adalah grup Agung Sedayu yang menguasai banyak properti strategis di Jabodetabek.
Kini di era pemerintahan Jokowi, pemerintah harus menuntaskan reformasi militer di bidang bisnis tersebut. Kesulitannya, ketika bisnis militer (baca: milik para jendral) merasa terganggu, maka mereka membuat suasana gaduh lewat isu lain yang mudah dibakar, yaitu isu PKI. Sebenarnya ada hubungannya antara isu PKI dengan aset para jendral. Yaitu banyak aset milik PKI, ormasnya dan perorangan korban 65 di seluruh Indonesia yang dikuasai oleh mereka, baik secara perorangan dari para jenderal tersebut maupun institusi TNI. Bila terjadi penyelesaian dan rekonsiliasi 65, maka nantinya mereka harus mengembalikan atau mempertanggungjawabkan aset-aset tersebut. Inilah yang tidak mereka kehendaki. Karena itu jangan-jangan seretnya penyelesaian masalah 65 hanya karena soal sepele, yaitu mereka tidak mau kehilangan aset-aset tersebut.
Inilah inti reformasi militer yang harus dituntaskan oleh pemerintahan sekarang. Sebaiknya TNI harus berbesar hati, bijaksana dan melihat kepentingan bangsa seluruhnya, karena ini menyangkut hak-hak keperdataan dan hak kepemilikan yang harus dihormati oleh siapapun di Negara hukum ini. Bila tidak, maka Negara ini tidak bisa menjamin hak paling asasi dari tiap-tiap orang: hak milik. Bukan kepastian hukum, tetapi chaos hukum, yang akan terus lestari dalam Republik ini. ***