Ilustrasi dari occupy.com
SEBUAH pertanyaan lama yang tetap aktual: Anda masih percaya sharing economy yang dikenal masyarakat saat ini sungguh-sungguh ‘ekonomi berbagi’ yang menguntungkan semua orang?
Coba kita bayangkan, Gojek atau sarana transportasi berbasis aplikasi lainnya, tapi tanpa Nadiem Makarim atau sejenisnya.
Bayangkan produk aplikasi itu dimiliki oleh semua tukang ojek dan dikelola secara demokratis, dengan transparansi dan pertanggungjawaban secara akuntabel. Dalam skema itu setiap tukang ojek akan mendapat uang sesuai dengan tarikannya. Kemudian juga disepakati pengambilan nilai dari si tukang ojek secara bersama (sebagaimana dilakukan oleh Nadiem Makarim dengan 30 persen ke setiap tukang gojek); bedanya, pengambilan nilai itu dikembalikan ke lembaga yang menaungi tukang ojek supaya tetap bisa beroperasi, sisanya juga kemudian dikembalikan ke tukang ojek sebagai sisa hasil usaha.
Mari berimajinasi bila seandainya ibu-ibu di kampung (baik di desa atau di kota) mendata kebutuhan rumah tangganya masing-masing. Mereka mendata berapa kebutuhan beras tiap bulannya, berapa kilogram telur dalam seminggu, dan berapa liter minyak goreng untuk satu kali masa panen. Setelah terdata semuanya, kemudian dikumpulkan dalam sebuah data rata-rata akumulasi kebutuhan kolektif. Kebutuhan-kebutuhan kolektif itu kemudian dibelikan secara bersama kepada produsennya. Beras tinggal dibeli dari petani, telur diambil langsung dari peternak atau distributor pertama, dan minyak dari toko grosirnya.
Konsepnya belanja bersama. Keuntungannya dari belanja bersama, tentu, akan lebih murah dibanding dengan belanja perorangan. Selisih harga dikelola secara akuntabel dan transparan melalui suatu organisasi yang juga akan memberikan pelayanan kesehatan ibu dan anak, pendidikan reproduksi sosial, dan pengorganisiran pendidikan politik bersama kaum ibu. Setelah terkumpul satu tahun, pada setiap menjelang lebaran atau musimnya anak-anak masuk sekolah, akumulasi penghasilan organisasi yang didapat dari selisih harga tersebut dibagikan ke ibu-ibu tadi, atas dasar keaktifan membeli di toko ‘belanja bersama’ itu.
Bagaimana bila kita mengumpulkan lima orang pencari kerja atau pekerja upahan, yang sama-sama butuh makan, dan sama-sama ingin hidup sejahtera. Kemudian lima orang itu merumuskan apa yang menjadi kebutuhannya sehari-hari, termasuk menjawab pertanyaan apa itu hidup layak dan apa saja kriterianya. Setelah kesepakatan dicapai, mereka melakukan perhitungan untuk membuat sebuah unit usaha yang menguntungkan, misalnya ternak ikan nila dengan teknologi termaju yang bisa dipelajari di YouTube. Setelah perencanaan matang dan ada calon pembeli, yang perlu dilakukan selanjutnya adalah mencari lahan sewa. Modal diusahakan secara patungan, sementara kekurangannya bisa dicari lewat pinjaman, bisa dari solidaritas kawan atau dari mana saja. Selanjutnya bisnis pun dimulai.
Dalam praktik usaha itu, nilai komoditas dihasilkan dari curahan kerja. Di dalamnya terkandung pula nilai tukar. Dalam tubuh ikan itu nantinya juga terdapat nilai-lebih dari kapitalisasi bahan mentah (benih ikan) menjadi sebuah komoditas berupa ikan siap jual. Setelah layak untuk dipertukarkan, maka ikan hasil semaian dari paduan kerja manusia dan alam itu dirilis ke pasar. Setiap hasil penjualan dikurangi dengan biaya produksinya dan penghasilan pekerja yang sudah mereka sepakati bersama, misal tiga kali UMR. Tentu, dari sana diharapkan ada sisa keuntungan. Nah, sisanya itu bisa dipecah untuk menjadi modal pribadi tiap pekerja yang akan diinvestasikan ke dalam proyek unit usaha lainnya, menabung untuk hari depan pekerja sendiri, dan/atau solidaritas ke organisasi sekawan.
Untuk sistem kerjanya, seluruh pekerja perlu belajar keras. Mereka suatu waktu harus belajar manajemen, kemudian teknik penyemaian benih ikan, atau juga cara panen. Meski tiap anggota punya pekerjaan yang spesifik, tetapi dalam periode tertentu akan ada pertukaran posisi. Tujuannya agar tiap orang terhindar dari proses pendangkalan kemampuan kerja, kejenuhan karena hanya melakukan hal yang sama tiap hari, yang akhirnya membatasi kapasitas kerja masing-masing orang. Semuanya itu ddilakukan berdasarkan kesepakatan bersama, tanpa ada seorang pun yang bisa seenaknya menentukan semuanya karena merasa sebagai pemilik usaha tersebut.
Dengan begitu setiap orang menjadi tuan atas kerjanya. Setiap orang memiliki kendali atas alat produksi, dan komoditas yang dihasilkan dan dikonsumsinya. Dan, setiap orang juga punya kendali atas tali kekang untuk hidupnya sendiri.
Maka itulah ‘sharing economy’ yang sejati. Atau demokrasi ekonomi, atau kooperasi.
Atau upaya sosialisasi alat produksi. ***