PADA artikel sebelumnya ‘Agama Sebagai Komoditas: Musibah Atau Berkah?’, kita telah mendiskusikan bahwa semua agama di dunia memiliki klaim keselamatan yang biasa disebut dengan ‘kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat’ (sa’adah fi al-dararain). Juga menyinggung tegangan antara transendensi dan imanensi dalam agama, dimana pokok persoalannya terletak pada kenyataan, meski agama itu bertolak dari yang transenden, faktanya ia juga dimungkinkan oleh yang imanen.
Dalam percakapan yang lebih sederhana, perdebatan transendensi dan imanensi bisa dijelaskan dengan pernyataan begini: ‘Jika kamu tidak makan dan kepalamu tidak bisa mikir maka yang transenden akan hilang dari realitas. Dengan ini yang transenden itu mungkin karena perutmu terisi makanan sehingga kepalamu bisa memikirkan yang Ilahiah. Meski Allah kita yakini sebagai wajib al-wujud (sesuatu yang wajib ada-nya) yang memungkinkan kita sebagai mumkin al-wujud (sesuatu yang mungkin ada-nya), atau sebagai causa prima dan causa sui, tetap saja, ia hadir karena ada pikiranmu. Jika ini masih rumit, sekarang bayangkan saja, seandainya seluruh manusia ini sirna dari muka bumi, masih mungkinkah yang transenden? Artinya, di dunia ini, yang ilahiah ada sebagai persepsi kesadaran manusia. Karena itu, dalam kenyataan hidup ini, yang transenden selalu dimungkinkan oleh yang imanen’.
Dalam semesta teoritik, salah satu argumen materialis terhadap agama ini berkembang di dalam tradisi Marxisme yang berasumsi bahwa sejak kemunculannya di dunia, manusia tidak dimotivasi oleh ide-ide besar (apalagi soal surga dan neraka). Tetapi oleh kebutuhan materi yang sangat dasar (basic need), keperluan-keperluan dasar untuk kelangsungan hidup. Karena setiap manusia membutuhkan makanan, pakaian, dan tempat berteduh. Setelah kebutuhan ini terpenuhi, yang lain, seperti dorongan seksual, menyusul. Dari reproduksi kemudian terbentuklah keluarga dan komunitas, yang dorongan utamanya masih menciptakan kebutuhan dan tuntutan materi yang lain. Semua kebutuhan materi ini kelak, sebagaimana dikatakan Marx, dapat dipenuhi oleh manusia karena manusia mengembangkan ‘cara produksi’.
Meski selintas terlihat reduksionis, apa yang bisa dipetik dari argumen materialis atas problem onto-teologis di muka? Sebagaimana sebelumnya sudah saya singgung. Ini mengingatkan kita bahwa seluhur apapun agama, ia selalu terjebak oleh yang material karena itu agama adalah drama kehidupan manusia itu sendiri. Maka menempatkan agama di luar problem manusia dan dunianya adalah ahistoris dan mengada-ngada.
Dalam perdebatan seperti ini, bagi kita kaum beriman, baiknya, memposisikan diri sebagai seseorang yang disebut oleh Amin Abdullah sebagai (muarrikh) yaitu seorang pembaca yang kritis ketimbang sebagai seorang believer.
Faktanya agama tak pernah bisa keluar dari sejarah yang material. Dan justru karena agama tak pernah bisa berada di luar yang material, maka agama harus bicara mengenai yang material. Dengan ini, agama tak boleh mengelak dari problem manusia di dunia karena agama selalu dimungkinkan oleh manusia. Maka kalau agama mengelak dari problem manusia dan kehidupan ini untuk sekedar mengejar keselamatan di dunia seberang sana, selain makin menunjukkan absurditas agama, juga tengah mencabut peran historis agama di dunia. (Dalam kesempatan lain akan kita bahas lebih spesifik).
Sekarang kita lihat, bagaimana agama dipraktikkan di dunia? Sebagaimana kita tahu bahwa jarak antara Agama Ideal (sebagaimana diangankan) dengan Agama Faktual (yang senyatanya) seringkali tidak terjembatani. Di sinilah sebenarnya agama dengan segudang dogma kudusnya ditantang untuk mampu menerjemahkan klaim-klaim teologisnya yang suprahistoris ke dalam dunia historis yang dinamis dan dialektis. Agama tak lagi mencukupi dibuktikan kebenarannya hanya berpijak pada dogma dan liturgi atau pada kekayaan doa-doa yang diyakininya memiliki kekuatan magis dan mujarab sebagai penyembuh segala nestapa manusia. Agama ditantang untuk tidak hanya fasih bicara mengenai dunia di seberang sana, tapi juga memberi jawaban pada persoalan yang dihadapi manusia di dunia sini dan saat ini. Lebih-lebih sekarang, ada banyak nilai-nilai baru yang berkembang dan menunjukkan bahwa menjadi manusia yang baik, menghargai satu sama lain, seseorang tak lagi memerlukan pengandaian-pengandaian teologis.
Sayangnya—bukannya menjawab tantangan tersebut—agama seringkali terpelanting dari realitas, terdengar kuno dan tak lagi mencukupi sebagai penuntun hidup manusia karena diposisikan sebagai sesuatu yang semata suprahistoris. Bahkan lebih dari itu, berbeda dengan spirit awalnya, sebagaimana dipraktikkan para Nabi seperti Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad, dimana agama menjadi alat perlawanan dan jalan perjuangan semua rakyat tertinda, sekarang agama seringkali, di tangan segelintir elitnya, terbukti mengingkari kodratnya: memunggungi massa-rakyat.
***
Jika kita diagnosa gejala keberagamaan—yang saya maksud agama Islam—di Indonesia, setidaknya ada tiga kecenderungan utama tafsir dan praksis atas Islam yang menempatkan rakyat pada kondisi yang terus termarjinalkan dan tereksploitasi. Pertama, tafsir konservatif. Kedua, tafsir liberal. Dan ketiga, tafsir Islam politik.
Pertama, Tafsir Konservatif.
Agama ditafsir secara pasif, fatalis dan melulu berorientasi akhirat. Melalui ini massa-rakyat—kaum proletar dan lumpen proletar—digiring pada ilusi akan penyelamatan abadi di dunia seberang sana. Di sanalah kaum papa yang malang hidupnya diberi janji-janji penebusan keselamatan dan kebahagiaan abadi yang tak bisa mereka raih selama di dunia. Di sanalah segala duka nestapa hidup akan sirna diganti dengan hidup penuh dengan suka cita. Pada tafsir semacam seringkali lebih banyak menawarkan ritus ketimbang memberi jalan pembebasan pada massa-rakyat. Tak heran dalam keberagamaan model ini, agama tampil sebagai sekedar ritus-massal: menggelar pengajian-pengajian akbar; doa berjamaah; zikir akbar; atau taubat massal. Kegiatan-kegiatan seperti ini sama sekali tak menyentuh problem utama massa-rakyat. Para elit agama memposisikan dirinya sebagai subjek dan agen Tuhan, sementara umatnya sebagai objek dan penampung pasif pesan para agen.
Jadi, dalam tafsir konservatif, agama tidak mampu menjelma sebagai formula antidote kemiskinan, dengan memberi harapan minimal pada kelangsungan hidup massa-rakyat yang kelaparan, dan tidak mendapat keadilan. Artinya, ritus-massal—meski tampak dekat dengan massa-rakyat—sebenarnya justru tengah memunggungi massa-rakyat. Karena secara tidak langsung, ritus-massal melanggengkan penghisapan dengan mengajak para jamaahnya menerima penghisapan sebagai suatu kondisi yang ditakdirkan oleh Allah. Intinya, bagi tafsir semacam ini tujuan agama yang paling utama adalah menggapai ridla Allah di akhirat, bukan membebaskan massa-rakyat dari kondisi penghisapan yang membelenggu mereka.
Ketaatan tanpa syarat pada elit agama mempunyai peran kunci seorang umat akan mendapatkan keselamatan atau tidak. Kaum elit beragama menempati posisi istimewa sebagai pemilik sah tafsir agama, sebagai pemegang otoritas suara Tuhan di bumi. Di tangan merekalah baik buruknya umat manusia diletakkan. Dalam tafsir konservatif, spirit pembebasan dalam agama sirna ditelan aura dan kharisma pemimpin agama yang kadang-kadang ditampilkan bernuansa Ilahiah. Tepat di sinilah agama menjadi ilusi bagi massa-rakyat yang dihisap untuk dengan ikhlas menerima kekalahan. Bahkan, karena memosisikan para pengkhotbahnya sebagai suprahistoris, yang kebal kritik, cara berpikir yang tak logis pun berlaku: “agamawan selalu benar dan pemangku sah suara Tuhan. Maka tiap kritik terhadap agamawan dianggap sebagai kritik atas agama dan Tuhan itu sendiri”.
Model tafsir semacam ini dulu oleh Sukarno disebut sebagai ‘Hadramautisme’ yaitu sikap pemujaan yang berlebihan terhadap elit agama.[1] Melalui tafsir konservatif, agama menepi dari laju perjuangan massa-rakyat melawan eksploitasi. Agama menjadi milik kaum elit beragama dan direbut dari tangan massa-rakyat sebagai pemilik sah atas agama. Mereka bukannya berdiri di barisan massa-rakyat dan memperjuangkan agenda politiknya, justru mengajak massa-rakyat yang sebagian besar proletar dan lumpen proletar, untuk turut mempromosikan ke-magis-an sang elit sembari mengklaim dirinya masing-masing sebagai satu-satunya jalan keselamatan. Praktik yang sebenarnya tak jauh beda dengan bisnis MLM (multi level marketing) dalam berebut down line: berlomba-lomba mengumpulkan sebanyak-banyaknya konsumen dengan saling klaim produknya lebih unggul ketimbang produk lainnya.
Kedua, Tafsir Liberal.
Agama menjadi sebatas eksperimentasi teoritik persenyawaan Islam dan kapitalisme. Tugas utama beragama bagi mereka adalah menyuarakan manusia sebagai hewan individualis dan kompetitif. Meski tafsir ini telah memakai perangkat pengetahuan modern seperti fenomenologi (phenomenology) dan hermeneutika (hermeneutic)[2], karena mengandaikan gagasan mempunyai kaki pada dirinya, maka agenda transformatif yang diangankannya tak berdaya guna mengatasi kondisi material massa-rakyat. Tak jauh berbeda dengan teori trickle down effect dalam ekonomi, mereka percaya bahwa di tangan sedikit manusia tercerahkan massa-rakyat akan dientaskan dari kubangan keterpurukannya.
Tafsir liberal sebagaimana diusung oleh Jaringan Islam Liberal, secara politis berfungsi sebagai alas teologis bagi ideologi Developmentalisme di Indonesia yang menjadi kepanjangan tangan beroperasinya kapitalisme global di Indonesia.
Bagi mereka, hanya dengan Liberalisme/Kapitalisme umat Islam Indonesia akan keluar dari kondisi tertinggal yang membelenggunya. There is no way, hanya Liberalisme ekonomi yang akan mengentaskan Islam keluar dari kejumudan. Bahkan secara terbuka Ulil Absar Abdalla mengatakan bahwa Nabi Muhammad merupakan seseorang yang pertamakali dalam Islam mendukung pasar bebas. Bagi tafsir liberal, untuk keluar dari keterbelakangan (backwardness) dan kemandegan (stagnation) umat Islam mesti memeluk liberalisme/kapitalisme.
Tak jauh berbeda dengan Ulil Abshar, Lutfhi Assyaukanie sendiri mengatakan lebih senang menyebut liberalisme bagi kapitalisme, karena baginya liberalisme dianggap ‘lebih netral dan lebih merefleksikan landasan paling mendasar dari pemikiran ekonomi modern’.[3] Jadi dengan ini, bagi Luthfi, Liberalisme dan Kapitalisme adalah sama dan sebangun.
Bagi Luthfi, mengikuti Cak Nur (setidaknya Cak Nur dalam pembacaan JIL), Negara sebaiknya tidak ikut campur baik dalam urusan agama maupun ekonomi. Bahkan, tanpa pendasaran teoritik yang rigorous, ia menganggap bahwa seorang intelektual harus mempunyai sikap tegas terhadap sekularisasi politik (pemisahan negara dan agama) sekaligus terhadap apa yang disebutnya sebagai ‘sekularisasi ekonomi’, yang dipahami olehnya sebagai pemisahan negara dari aktivitas ekonomi. Tentu saja bagi siapapun yang akrab dengan teori politik maupun ekonomi, baru pertama kali mendengar istilah ‘sekularisasi ekonomi’ sebagai alas teoritik diberlakukannya pemisahan antara negara dan pasar sebagaimana diandaikan Luthfi.
Pendeknya dalam tafsir liberal, agama ditempatkan sebagai legitimasi diberlakukannya kebijakan pintu terbuka atau dilepasnya ekonomi dari peran negara dan melihat massa-rakyat tak lebih sebagai kerumunan manusia yang kalah karena gagal berkompetisi. Mengapa mereka memunggungi massa-rakyat? Karena kolektivisme bagi mereka merupakan hantu dan ancaman bagi individualisme.
Foto diambil dari photo.liputan6.com
Ketiga, Islam Politik.
Agama direduksi sekedar perjuangan politik menegakkan supremasi Islam di atas agama-agama lainnya di dunia. Tugas utama umat Islam bagi mereka adalah menegakkan Khilafah Islam di muka bumi. Dimana melalui itu semua segala kesuksesan, kesejahteraan umat Islam dan umat manusia bisa diwujudkan. Bagi mereka hanya ‘dari’ dan ‘melalui’ Islam, keadilan dan kemanusiaan sejati bisa ditegakkan. Selain nilai-nilai yang lahir dari tradisi Islam dianggap sebagai taghut, produk Barat-Kafir yang harus diperangi.
Islam politik seperti Hizbut Tahrir Islam (HTI), misalnya, kerja-kerja politiknya hanya untuk mewujudkan supremasi Islam atas Barat yang dianggap sebagai representasi kekuatan ekonomi, politik dan kebudayaan Judeo-Kristiani. Imajinasi politik mereka tidak pernah beranjak dari pengalaman sejarah persinggungan Islam dan Barat dalam perang salib. Maka perjuangan mereka melawan Barat diartikannya sebagai kelanjutan dari perang Salib. Narasi politiknya adalah Islam vs Judeo-Kristiani, bukan massa-rakyat tertindas melawan penindas.
Bukankah mereka juga mengkritik Kapitalisme? Kalaupun Islam politik seringkali sekilas seperti mengkritik Kapitalisme, namun pada dasarnya mereka mengafimasi kapitalisme dengan imbuhan relijius. Bagi mereka, kapitalisme bisa menjadi baik asalkan di-Islamkan terlebih dahulu. Maka, kelompok inilah yang paling bersemangat dalam mengembangkan sistem Perbankan berbasis Syariah yang sebenarnya tak jauh berbeda dengan Perbankan Konvensional. Mungkin yang membedakannya hanya pada kulit luarnya saja, seperti transaksi diawali dengan membaca bismillah, satpam penjaga Bank yang membuka pintu dengan mengucap ‘Assalamualaikum’ dll.
Oleh banyak kalangan, khususnya Islam moderat, Islam politik diasosiasikan sebagai kaum ekstrimis (mutatarrif) yang mengobarkan kekerasan. Bedanya, jika kaum ekstrimis (teroris) berjuang melalui jalan perang dan bom bunuh diri, Islam Politik seperti HTI, berjuang melalui dakwah dan partai politik. Apa yang luput dari pandangan Islam moderat adalah melihat Islam Politik sebagai gejala mutakhir yang tidak bisa dilepaskan dari ekspansi kapital global di seluruh penjuru dunia. Artinya, Islam Politik, dengan berbagai varian di dalamnya, sebenarnya adalah anak kandung dari kapitalisme global. Kelahirannya dipicu oleh kapitalisme global yang menjarah seluruh penjuru bumi, khususnya di kawasan dunia Islam.
Pada mulanya, Islam Politik merupakan respon politik atas ekspansi kapital global dan imperialisme ekonomi-politik negara-negara Utara di dunia ketiga khususnya Timur Tengah. Bagi mereka, jalan satu-satunya menegakkan supremasi kaum muslim yang menjadi korban ekspansi kapital global adalah dengan memeluk Islam secara Kaffah, yaitu menegakkan panji-panji kejayaan Islam dalam politik dengan mendirikan kerajaan Allah di bumi. Agenda politik mereka sama sekali tak ada kaitannya dengan massa-rakyat. Bahkan kesadaran geografis solidaritas mereka hanya terbatas di kawasan Timur Tengah. Maka tak heran mereka selalu mengimpor kondisi sosio-politik di Timur Tengah ke seluruh penjuru dunia Islam dengan menganggap situasi di Timur Tengan sebagai wajah dan kondisi umat Islam seluruh dunia. Alih-alih menjadi bagian dari agenda politik massa-rakyat, Islam Politik justru memusuhi massa-rakyat.
***
Baik tafsir konservatif, liberal, maupun Islam politik, ketiganya memunggungi massa-rakyat. Bahkan pada kadar tertentu anti massa-rakyat dan mencurigai setiap agenda politik rakyat: buruh dan petani. Ketiga model tafsir agama ini alih-alih membebaskan justru terjerembab sebagai alat melanggengkan kekuasaan oligarki politik dan ekonomi. Memberi legitimasi bagi akumulasi kapital pada segelintir kaum borjuis dengan cara rupa yang berbeda-beda.
Di tangan kaum konservatif, agama menjadi sekedar ritus. Di tangan kaum liberal, agama menjadi sekedar juru bicara liberalisme ekonomi. Dan di tangan kaum Islam Politik, agama direduksi sebatas bagaimana Islam menjadi kekuatan politik yang memimpin seluruh umat manusia di dunia. Menariknya yang menyatukan ketiganya adalah: elitisme dan anti massa-rakyat.
Karena konservativisme, liberalisme dan Islam Politik tidak pernah compatible dengan perjuangan massa-rakyat, maka tugas penting kita hari ini adalah menarik agama ke dalam pusat gelombang besar perjuangan massa-rakyat. Agama tidak boleh menjadi candu yang membius massa-rakyat ataupun menjadi alat penghisapan. Sebagaimana pernah dipraktikkan Nabi, tugas kita mengembalikan spirit pembebasan dalam agama (khususnya Islam) sebagai jalan revolusioner menghancurkan berhala-berhala dunia dalam arti generic yang selama ini membelenggu massa-rakyat.
Mengenai hal ini, Asghar Ali Angineer pernah mengatakan, jika saja Islam yang dibawa Nabi Muhammad pada masyarakat Arab sebagai sekedar agama, tanpa mengajarkan penghancuran atas adat dan paham lama yang beku dan membelenggu, maka Islam akan dengan mudah diterima masyarakat Arab. Islam ditolak karena Islam adalah revolusioner, karena Islam menolak sistem ekonomi, politik, sosial oligarki dengan segala implikasi moralnya yang telah membusuk pada zamannya.
Sedemikian, karakter Islam yang menjebol dan membangun, Islam ditolak dan menjadi musuh bersama kaum oligarki politik dan ekonomi Makkah. Islam menjadi senjata kaum tertindas, menjadi butir-butir harapan baru kaum budak yang ditindas baik secara kultural maupun struktural. Karakternya yang menjebol dan membangun, menjadikan Islam mampu menjelma sebagai jalan pembebasan kaum budak, membela yang lemah dan teraniaya. Disinilah sebenarnya, fungsi historis dari agama. Tidak memunggungi massa-rakyat melainkan tenggelam dalam gelombang massa-rakyat. Agama di sini menjadi sepenuhnya milik dan suara perlawanan massa-rakyat.
Sulit kita membayangkan Nabi dulu hidupnya hanya sibuk mengadakan zikir akbar untuk menghadapi kaum kafir Quraisy atau mengajak bikin baca sholawat Nariyah sebanyak-banyaknya agar keluar dari jeratan rentenir atau agar terbebas dari perbudakan. Apalagi mengajak umatnya menangis berjamaah dan meratapi hidupnya agar Allah berbelas kasihan dan memberi kemudahan hidup. Terhadap para Ulama/ustad yang hanya cari untung sendiri, jadi babu-babu nya politisi hipokrit dan pengusaha bejat sebagaimana sekarang, jauh-jauh hari Nabi pernah mengingatkan:
“Taatilah kaum Ulama selama mereka belum mengikuti hawa nafsunya. Lalu para sahabat bertanya: apa tanda Ulama yang mengikuti hawa nafsunya? Mereka senang mengikuti sultan. Dalam hadis lain dikatakan: mereka meninggalkan kelompok fuqara (orang-orang fakir) dan masakin (orang-orang miskin), dan mengetuk pintu-pintu para sultan.”[4]
Kalau kita berangkat dari hadis di atas, maka sekarang banyak Ulama yang lebih bangga dekat dengan Kodim, Korem, politisi, pengusaha, ketimbang dengan massa-rakyat: buruh dan petani. Mereka lebih bangga kalau diundang memimpin doa di lingkaran partai-partai politik dan pengusaha ketimbang mendampingi perjuangan massa-rakyat yang sedang disingkirkan dan direpresi. Sebagaimana pesan Nabi, kita tak boleh mentaatinya. Bahkan kita perlu curiga dengan semua agenda keberagamaannya.
Sementara terhadap kaum liberal yang menjadi juru bicara Neoliberalisme dan kebijakan pintu terbuka, Allah pernah mengingatkan dalam Al-Qu’ran:
“Setiap kami turunkan pemberi peringatan kepada satu kaum, maka yang paling dahulu menentangnya ialah orang-orang kaya (mutraf), yang berkata, ‘kami yang paling banyak punya kekayaan dan anak buah. Dan kami kafir terhadap apa yang diwahyukan kepadamu.”[5]
***
Seandainya tak ada lagi manusia seperti Sandyawan Sumardi, rasanya sulit kita beragama dengan sehat dan manusiawi. Agama telah menjadi sekedar ritus dan ajang gagah-gagahan elit beragama yang menjadi babu-babu nya oligarki politik dan ekonomi. Tak ubahnya badut, para elit agama justru senang menjadi hamba Hari Tanoesudibyo dan Aburizal Bakrie. Mulut mereka lantang sekali kalau berbicara kepentingan politik oligarki, tapi bisu dengan berbagai malapetaka sosial-ekologis yang menerpa Indonesia.
Diakui atau tidak, hampir saja agama roboh menjadi serpihan-serpihan dusta para elit beragama, jika tak ada lagi manusia sederhana dan berani mendedikasikan hidupnya untuk manusia yang teraniaya dan tersingkirkan seperti Sandyawan. Bahkan dalam figur seperti Sandyawan inilah sebenarnya makna Jihad dalam Islam[6] menjadi manifes, riil dan konkrit. Ia telah berjihad dengan hatinya untuk mengasihi yang papa, berjihad dengan hartanya untuk membantu yang papa, dan berjihad merelakan nyawanya terancam untuk mereka yang dinista.
Mungkin saya keliru. Tapi bagi saya, pada diri Sandyawan, cita-cita profetik Islam mengenai: kemerdekaan (al-hurriyah), persamaan (al-musawa), keadilan (al-adalah), toleransi (tasamuh) dan damai (al-Shulh) menjadi material. Cinta kasih dan rahmatan lil alamin menjadi nyata bukan sekedar guyonan, dagelan apalagi dagangan elit beragama.
Pertanyaannya, apakah dengan demikian tak ada model tafsir yang ideal bagi keber-Islam-an kita? Sebenarnya kalau kita amati tradisi keber-Islam-an di Indonesia, cara ber-Islam ala Nahdliyin[7] yang paling siap mewujudkan Islam sebagai kekuatan revolusioner-progresif. Tradisi Nahdliyin, sejak semula mencirikan dirinya selalu komunal, toleran dengan keragaman beragama, mengutamakan kemaslahatan kolektif, bukan individu. Lebih-lebih kaum Nahdliyin sebenarnya adalah proletar/lumpen proletar + Allah. Namun sayangnya, keberagamaan Nahdliyin masih berorientasi langit, bukan bumi. Bersolidaritas pada yang mati bukan pada yang masih hidup. Masih elitis dan belum egaliter. Jika saja egalitarianisme bisa disuntikkan ke dalam kesadaran sejarah kaum Nahdliyin, maka Islam sebagai pembebasan itu bisa diwujudkan di dunia. Tidak sekedar cerita atau abstraksi filosofis yang tak ada buktinya. Jadi, elitisme dan tiadanya egalitarianisme inilah yang mengamputasi formasi ideal elan progresif-revolusioner keber-Islam-an ala Nahdliyin ini.
Dengan demikian yang diperlukan adalah pertama, mereparasi basis teoritik dan praksis keber-Islam-an ala Nahdliyin dengan menyuntikkan kesadaran historis sebagai massa-rakyat yang selama ini secara langsung atau tidak dihisap oleh oligarki ekonomi maupun politik. Kedua, mengembalikan agama menjadi milik massa-rakyat dengan menjauhkan agama dari para spekulan atau petualang politik. Jika tidak, maka akan menjadi ladang subur konservatifme beragama sebagaimana kita saksikan sekarang ini.
***
Kemudian bagaimana kita, menghidupi agama secara sehat? Agama tidak perlu tampil membawa sendiri panji-panji benderanya sebagaimana di zaman Skolastik, yang menjadikan agama sebagai ukuran segala-galanya atau dalam gejala politik mutakhir ada dalam Islam kaffah-nya (total) Islam Politik yang hendak dijadikan sebagai panglima moral di dunia. Agama harus kita letakkan layaknya air yang meresapi pada semua pori-pori kehidupan. Ia hadir dalam ketidakhadirannya. Agama ada dalam kerumunan massa-rakyat, dalam jerit protes kaum papa, gelandangan, dan semua manusia yang disisihkan oleh oligarki politik dan ekonomi. Agama hadir dengan telanjang pada pribadi-pribadi yang terbuka, toleran dan berpihak.
Pendeknya, jika agama membiarkan kelaparan dan penghinaan terhadap manusia (TKI, buruh, buruh tani, dan perempuan), maka sebenarnya agama tengah menggali lubang kuburnya sendiri. Siapa yang menggali lubang kubur agama? Tentu saja para elit agama yang mendustakan agama, karena agama tidak akan bicara apa-apa jika tidak ditafsir dan dilaksanakan oleh manusia. Sementara keajaiban agama bukan terletak pada bagaimana kita dengan canggih bisa memperdebatkan muasal keberadaannya, melainkan karena agama menjadi harapan dan masa depan kaum tertindas di dunia.
Sebagaimana terang dalam sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwa “tidak termasuk orang yang beriman, siapa saja yang kenyang sedangkan tetangganya dalam keadaan lapar”. Maka, mengabdi kepada Allah, sebagaimana Sandyawan, adalah mengabdi pada kehidupan.
Imperatif agama hanya menghendaki kebaikan bagi manusia. Perjuangan mewujudkan dunia yang adil dan manusiawi bagi semuanya merupakan dasar dan tujuan paling utama agama. Maka, memunggungi massa-rakyat hakikatnya adalah memunggungi agama, Allah, dan perjuangan para Nabi. Naudzubillah mindzalik ***
Bogor, 4 Oktober 2016
—————-
[1] Bahkan telah menjalar pada kesadaran sejarah umat Islam tentang kepercayaan—yang sebenarnya offside dari Islam—bahwa seseorang yang lahir dari darah unggul keturunan elit agama dipercaya mempunyai kekuatan magis dan kecerdasan diatas rata-rata manusia dari darah lainnya yang dianggap tidak unggul.
[2] Faktanya tradisi hermeneutic jauh lebih berkembang dalam wacana pemikiran Islam Indonesia ketimbang, tradisi phenomenology. Bisa jadi ini dikarenakan oleh masih sangat sedikitnya para pengkaji Islam yang berlatar belakang filsafat dengan penguasaan yang baik terhadap filsafat fenomenologi Husserl maupun Heidegger. Sebagian besar tradisi pemikiran Islam modern di Indonesia diisi oleh mereka yang berlatar belakang studi Islam, sehingga sebagian besar menggunakan tradisi hermeneutik yang sedang menjadi primadona sebagai cara baca baru atas teks agama.
[3] Luthfi Assyaukanie, Islam Benar Versus Islam Salah, Jakarta: Kata Kita, 2007, hal. 232. Melalui artikel ‘Kapitalisme relijius’ Luthfi hendak meneguhkan tesis Bahtiar Effendy dalam melihat Cak Nur yang baginya yang lebih tepat disebut sebagai ‘Kapitalis Relijius’ ketimbang ‘Sosialisme Relijius’. Serta melalui itu Luthfi mencoba membela kapitalisme.
[4] HR. Al-Haitami.
[5] QS. 34:34-35.
[6] Jihad sendiri berarti bersungguh-sungguh dalam mengerjakan atau menjalankan sesuatu. Dalam terminologi Islam, jihad bukan berarti mengangkat senjata untuk memerangi non muslim sebagaimana secara serampangan selama ini dipahami oleh kaum Islam Politik. Melainkan jalan revolusioner menegakkan kebenaran dan keadilan. Islam secara umum, mengkategorikan jihad menjadi tiga pengertian: jihad dengan hati (Al-Qur’an 29:6), jihad dengan harta benda (Al-Qur’an 9:38-43), dan jihad dengan nyawa (Al-Qur’an 49:14). Nabi sendiri sepanjang hidupnya mengalami 27 peperangan. Lih. Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam al-Mu’afiri, As-Sirah al -Nabawiyah li Ibn Hisyam, Jilid II, Beirut: Dar al-Fikr, 1994, hal. 594-595. Meski demikian perang yang dipimpin Nabi bukanlah perang melawan non muslim. Melainkan perang yang harus dipilih sebagai jalan terakhir membela diri dari agresivitas kaum Quraisy. Lih. Yusuf Qardlawi, Fiqh al-Jihad: Dirasah Muqranah li Ahkamihi wa Falsafatihi fi Dhau’ Al-Qur’an wa Al-Sunnah, Kairo: Maktabah Wahbah, 2009.
[7] Secara harfiah berarti orang-orang yang bangkit. Namun terminologi Nahdliyin secara sosio-historis merujuk pada keberagamaan kaum tradisional di lingkaran organisasi NU yang banyak berkembang di pedesaan dimana sebagian besar pengikutnya adalah kaum miskin. Buruh di pabrik di kota-kota atau pinggiran kota yang sekarang mengalami industrialisasi. Dan para pekerja kasar, atau pekerja informal yang tak memiliki jaminan sosial yang tinggal di desa-desa.