PULAU Vancouver barat laut Kepulauan Pasifik, merupakan tempat tinggal orang-orang Kwakiutl yang hidup damai sebagai pemburu dan nelayan. Mereka adalah masyarakat perpuakan (tribes society) yang sampai pertengahan abad ke-19 hidup lewat ekonomi subsisten yang ditandai hubungan yang amat minim dengan komuniti-komuniti di luar kelompok. Para antropolog (Boas 1897; Mauss 1954) telah lama dibuat kaget oleh pranata potlach yang biasa dipraktikkan oleh tetua-kepala orang Kwakiutl yang mereka sebut T’seka.
Dalam sebuah seremoni di musim dingin, para tetua-kepala ini biasa mengundang anggota-anggota serta tetua-kepala kelompok lain untuk menghadiri pesta raya di mana makanan, minuman, dan hadiah-hadiah mewah dihidangkan dan diberikan kepada para tetamu. Mereka mengelilingi api unggun sambil menyanyi, menari, atau bertukar kisah soal pengalaman berburu sepanjang tahun. Pada puncak acara, sang tetua-kepala akan mulai tampil ke depan, kadang bersama beberapa sanak saudaranya. Ia mulai berceramah soal keutamaan-keutamaan hidup, memberi nama baru bagi anggota kelompok yang melewati masa kanak-kanak, menghadiahkan topeng pada para pemburu terbaik, lalu pelan-pelan, sambil tertawa-tawa di depan tetua-kepala lain, mulai melemparkan kemah, perahu, dan permadani-permadani kulit ke kobaran api. Ia juga melemparkan barang mewah bagi orang Kwakiutl di musim dingin, seperti ikan asin. Beberapa tetua-kepala bahkan terkadang melemparkan beberapa anggota kelompok yang secara hierarkis berada di bawahnya. Sang tetua-kepala ini bukannya gila, ia hanya sedang memamerkan kekayaan dalam sebuah prosesi biasa dari mekanisme resiprositas atau pemberian hadiah dari sang tetua-kepala kepada anggota kelompok yang tidak wajib membalasnya. Tetua-kepala anggota kelompok lain lah yang wajib melaksanakan seremoni serupa jika hendak mengunggulinya. Mereka hanya perlu menyelenggarakan prosesi serupa jika hendak meraih anggota kelompok lain. Para tetua-kepala lain hanya mesti menghancurkan kemah, permadani, perahu, dan ikan asin lebih banyak jika hendak menjadi penguasa politik.
Di dalam komuniti-komuniti yang belum mengenyam produksi kapitalis, hasil-hasil produksi tidak dipertukarkan lewat mekanisme pasar, seperti yang kita kenal seperti sekarang. Karl Polanyi dalam esai “The Economy as Institued Process” pernah mengingatkan soal bahaya “kesesatan ekonomistik” (economistic fallacy) yang terjadi dalam sejarah pemikiran ketika terjadi identifikasi palsu antara ‘ekonomi’ dengan ‘pasar’. Sejarah mengajarkan bahwa mekanisme pasar bukan satu-satunya mekanisme pengaturan ekonomi yang pernah hadir di muka bumi. Mekanisme pasar, meski kini dominan, merupakan pendatang baru. Di dalam komuniti pra-kapitalis, pertukaran pasar hampir tidak dikenal sebab semua anggota komuniti dapat mencukupi kebutuhan hidup sendiri, entah lewat kegiatan produksi kelompok atau lewat mekanisme redistribusi dan resiprositas seperti T’seka. Semua hasil produksi, dalam istilah ekonomi-politik Marx, hanya mengandung nila-guna, sang “muatan material dari kekayaan”. Hasil-hasil produksi artinya belum mengandung nilai-tukar. Selama tidak ada surplus di dalam produksi, selama manusia belum mengembangkan teknologi produksi dan hanya bergantung pada alam, maka anggota-anggota komuniti tidak akan dapat dengan sengaja memproduksi barang-barang untuk menukarkannya.
Produksi komoditas lahir jauh sebelum kapitalisme. Apa yang khas di dalam sistem ekonomi kita ialah produksi komoditas menjadi satu-satunya bentuk produksi umum; produksi komoditas menjadi bentuk produksi yang dominan dibanding bentuk-bentuk produksi lain. Mengapa produksi komoditas tidak menjadi dominan sampai lahirnya cara produksi kapitalis? Sebab revolusi (dengan kekerasan) yang memisahkan produsen dengan sarana-sarana produksinya belum terjadi. Dalam kasus orang Kwakiutl, misalnya, sarana-sarana produksi tidak dimiliki dan dikuasai oleh siapapun, termasuk tetua-kepala. Para anggota komuniti hidup dalam ekonomi subsisten dan belum harus menjual tenaga-kerja kepada siapapun untuk sekadar bertahan hidup.
Seketika masyarakat telah memproduksi komoditas, barang-barang tersebut mesti memiliki kegunaan (nilai-guna) dan mempunyai kapasitas untuk dipertukarkan (nilai-tukar). Bagi sang produsen, komoditas yang ia hasilkan selalu tidak memiliki nilai-guna langsung bagi dirinya sendiri. Barang-barang itu hanya memiliki nilai-guna langsung bagi pihak di luar dirinya, sementara bagi sang produsen apa yang penting adalah nilai-tukar komoditas—nilai guna komoditas yang ia miliki hanya berarti sejauh nilai-guna ini berperan sebagai wahana (Träger) dari nilai-tukarnya. Mengapa? Sebab tanpa kegunaan, sebuah komoditas tidak dapat dipertukarkan. Menawarkan ikan salmon untuk dipertukarkan dengan barang-barang produksi orang Kwakiutl misalnya, amat sulit terlaksana sebab komuniti orang Kwakiutl hidup pada bentang geografis yang membikin mereka dikaruniai ikan salmon yang berlimpah. Karena dalam masyarakat pra-kapitalis kebutuhan komuniti relatif terpenuhi, maka pertukaran komoditas selalu terjadi di “tapal batas komuniti”, yakni pada titik-titik lokasi di mana anggota komuniti bertemu dengan anggota komuniti lain. Pertukaran yang semakin kerap terjadi akan membikin titik-titik lokasi tersebut berkembang menjadi pasar setempatan (local market). Dalam pasar setempatan inilah pertukaran antar komoditas pra-kapitalis terjadi.
Komuniti-komuniti yang mulai memproduksi komoditas mengalami dilema dalam relasi pertukaran; jika semua barang yang mereka produksi hanya berguna bagi komuniti lain, dan berlaku pula sebaliknya bagi semua komuniti yang hendak menukarkan hasil produksinya, maka bagaimana cara menyetarakan nilai-guna semua komoditas yang telah hadir di pasar? Bagaimana misalnya, menyetarakan seekor domba dengan segembol anak panah, seekor kuda, dan segepok kemenyan? Bagaimana menyetarakan kualitas ‘kenyang’ dengan ‘tajam’, dan ‘wangi’?
Menurut Marx, “perkembangan historis fenomena pertukaran membiakkan oposisi nilai-guna dan nilai yang laten di dalam hakikat komoditas”. Komuniti-komuniti pra-kapitalis yang sudah mulai kerap melakukan pertukaran menghadapi kenyataan bahwa barang yang mereka produksi dihitung hanya sebagai suatu penyetara bagi komoditas yang dibawa komuniti lain. Karena itu, komoditas mereka berperan sebagai penyetara-universal bagi semua komoditas. Komuniti-komuniti pra-kapitalis mau tidak mau mesti mentransformasi suatu komoditas tertentu yang mudah dibawa ke mana-mana, dapat dikuantifikasi secara mudah, dan relatif tidak berguna bagi komunitinya sendiri. Komoditas inilah yang akan berperan sebagai ‘uang’, yang akan menjadi penghubung nilai-guna antar komoditas. Ini mengapa Marx dalam analisisnya menyatakan “emas dan perak pada hakikatnya bukan uang, tapi uang pada hakikatnya emas dan perak”, sebab emas dan perak memenuhi fungsi-fungsi di atas. Keduanya mudah diangkut, gampang dibelah-belah, diberi cap, dan keduanya juga relatif tidak bermanfaat bagi komuniti-komuniti; emas bagi orang Kwakiutl contohnya, tidak dapat digunakan sebagai senjata tajam yang berguna untuk memotong daging atau untuk berperang. Laporan-laporan etnografis juga mencatat bahwa emas dan perak bukan bentuk uang primitif satu-satunya, karena masyarakat pra-kapitalis juga mengenal garam, gigi ikan paus, atau kulit kerang sebagai komoditas yang berperan sebagai uang.
Dengan lahirnya uang-komoditas sebagai bentuk asali uang, masalah dalam pertukaran masyarakat pra-kapitalis belum berakhir. Lahirnya uang-komoditas, hanya memudahkan semesta komoditas di pasar setempatan untuk dipertukarkan satu sama lain. Uang-komoditas, hanya merefleksikan nilai-tukar dari komoditas-komoditas, sebagai “bentuk tampakan dari nilai komoditas”. Namun uang-komoditas tidak memberitahu kita soal besaran nilai dari komoditas-komoditas itu. Bagaimana cara mengetahui besaran nilai komoditas? Para ahli ekonomi-politik Klasik, kita tahu, menjawabnya dengan mengasalkan nilai dari curahan kerja manusia yang memproduksi komoditas. Pertanyaannya, dalam pertukaran komuniti-komuniti pra-kapitalis, bagaimana mengukur curahan kerja manusia? Munculnya pertukaran komoditas memang cenderung mengarah pada terbentuknya uang-komoditas, akan tetapi dalam masyarakat pra-kapitalis, komoditas-komoditas ini dihasilkan oleh bentuk-bentuk kerja yang berbeda-beda. Apabila orang Kwakiutl adalah para pemburu dan nelayan subsisten, bagaimana menyetarakan ikan-ikan salmon yang hendak mereka pertukarkan dengan kopi orang Kuna yang diproduksi lewat pertanian irigasi?
Masalah yang hadir dalam pertukaran komoditas pra-kapitalis tak lain adalah masalah keadilan, atau lebih tepatnya, masalah keseukuran antara komoditas-komoditas. Bagaimana pertukaran antar komoditas yang adil menjadi mungkin? Hal inilah yang menyibukkan para pemikir yang berupaya menjawab masalah-masalah dalam hubungan ekonomi. Di dalam diskusi mengenai bentuk-nilai (value-form) kita bahkan dapat menyaksikan Marx memperlihatkan bagaimana “sang penyelidik agung” Aristoteles, tidak mampu menjawab permasalahan ini. Aristoteles memang telah mengatakan bahwa bentuk-uang komoditas adalah perkembangan dari hubungan pertukaran antar komoditas. “5 ranjang = 1 rumah” tidak berbeda dengan “5 ranjang = sejumlah uang” katanya. Aristoteles bahkan secara intuitif menyatakan,
“tidak akan ada pertukaran tanpa kesetaraan, dan tak ada kesetaraan tanpa keseukuran“.
Tanpa keseukuran, tidak ada pertukaran. Demikian Aristoteles. Sayang sang penyelidik agung berhenti sampai di sini. Ia menyerah dengan mengatakan, “bagaimanapun, kenyataannya tidak mungkin bahwa hal-hal yang sedemikian berbeda dapat seukur”. Pertukaran dalam masyarakat pra-kapitalis, ia tinggalkan dalam teki-teki soal ketidakmungkinan keseukuran antar komoditas. Bagaimana mungkin hal-hal yang sedemikian berbeda secara kualitatif dapat disetarakan dan diseukurkan. Apabila kita menjawab curahan kerja sebagai basis nilai pertukaran komoditas, pertanyaannya kembali kepada bagaimana menyetarakan jenis-jenis kerja yang berbeda-beda? Bagaimana menyetarakan kerja pemburu-nelayan orang Kwakiutl yang amat bergantung pada musim dengan kerja pertanian irigasi orang Kuna yang relatif dapat mengatasi hambatan alam?
Masalah ini terus menghantui para pemikir ekonomi dan moral dengan sederet nama yang berupaya memecahkan masalah keadilan dalam pertukaran dari Thomas Aquinas, Thomas Wilson, John Calvin, Charles Dumoulin, Turgot, Bentham, hingga sarjana-sarjana Islam seperti Ibn Sina, Ibn Miskawaih, atau Ibn Taimiyyah[1]. Tak heran mengapa ekonomi-politik pada awal kemunculannya berurusan pula dengan masalah etika dan moral, setidaknya hingga awal abad ke-19.
Beberapa dari kita pasti pernah ke pasar tradisional dan melakukan pertukaran di sana. Beberapa barangkali juga ada yang pernah berdagang di sana. Apa yang membedakan hubungan pertukaran kita di pasar tradisional dengan hubungan pertukaran yang kita lakukan, misalnya, di Hero Supermarket? Selain bersifat relatif lebih personal, dalam pasar tradisional pada umumnya kita juga masih mengenal apa yang di dalam literatur antropologi disebut sebagai sistem harga luncur (sliding price system). Sistem ini ditandai oleh hadirnya sebuah hubungan tawar-menawar antara penjual dan pembeli. Dalam tawar-menawar kita mesti cerdas-tangkas, jago bersilat lidah, dan tabah hati dalam sebuah adu urat syaraf, entah kita berperan sebagai penjual ataupun sebagai pembeli. Clifford Geertz yang legendaris dalam analisisnya atas sistem ini mengatakan bahwa tawar-menawar itu hanya merefleksikan kenyataan tak adanya pembukuan yang kompleks dan perhitungan anggaran atau biaya jangka panjang. Hal ini akibatnya, masih menurut Geertz, menimbulkan kesulitan baik pada pihak pembeli dan penjual “untuk menghitung setepat-tepatnya berapa…harga yang ‘pantas’ itu” (Geertz 1989: 33-34). Kesulitan menentukan harga yang persis bagi komoditas yang dijual di pasar tradisional karena itu bukan hanya dialami oleh sang pembeli, akan tetapi juga bagi sang penjual. Bagaimana mungkin sang penjual (yang kita andaikan produsen) juga kesulitan menentukan harga dari komoditas yang ia bawa sendiri? Untuk Geertz, kita yang belajar ekonomi-politik Marx mesti bertanya; benarkah sistem harga luncur semata merefleksikan ketiadaan pembukuan dan penghitungan jangka panjang?
Tawar-menawar bukan sekadar merefleksikan ketiadaan pembukuan atau rencana jangka panjang para penjual komoditas di pasar tradisional. Hubungan pertukaran ini merupakan jejak-jejak peninggalan dari hubungan pertukaran pra-kapitalis yang tidak memiliki konsep harga yang tetap. Tawar-menawar merefleksikan hubungan pertukaran komoditas pra-kapitalis di mana keseukuran antar komoditas sulit ditetapkan. Akibatnya hubungan pertukaran komoditas pra-kapitalis ditandai oleh hubungan pertukaran antar komoditas yang ditetapkan lewat peluang, hasrat antar pemilik, ritus magis, atau ketika pertukaran telah semakin kerap, oleh kebiasaan atau adat-istiadat. Singkatnya, besaran nilai dalam pertukaran komoditas pra-kapitalis sulit ditetapkan secara persis.
Kesulitan menemukan sarana pengukur komoditas serta fenomena historis ketiadaan harga tetap dalam hubungan pertukaran pra-kapitalis hanyalah akibat dari tiadanya konsep nilai. Masalah penemuan konsep nilai ini pun pada gilirannya bukan masalah lebih tumpulnya otak Aristoteles, Aquinas, Turgot, juga Ibn Sina dibanding Marx. Bukan juga karena Marxisme tak kunjung lahir. Konsep nilai yang komplit tidak berhasil ditemukan bahkan oleh orang-orang bijak di atas sebab kondisi historis yang melingkupi diri dan pikiran jenius mereka belum memungkinkan. Sebagian dari mereka lahir dan hidup pada masa pra-kapitalis, ketika menjadi budak sama lumrahnya dengan menjadi pegawai kantoran di zaman kita sekarang. Marx, dapat kita baca sebagai sebuah simbol bagi pemikiran yang di satu sisi dapat merangkum pemikiran-pemikiran sebelumnya, dan di sisi lain, terutama sebagai sebuah simbol lahir dan mendominasinya bentuk pengorganisasian kerja manusia yang belum pernah dikenal oleh sejarah sampai abad ke-19, yakni bentuk pembagian kerja yang lewat pemisahan sarana produksi terhadap produsen melahirkan sebuah kelas yang harus menjual kapasitas kerjanya dalam rata-rata waktu-kerja yang dibutuhkan secara sosial kepada kelas lain. Kekhasan kerja manusia dalam cara produksi kapitalis karena itu ialah sebab ia menjadi semakin abstrak. Yang ia pertukarkan bukan hasil produksinya sendiri seperti orang Kwakiutl, bukan keseluruhan hidupnya seperti para budak, bukan juga hasil kerjanya seperti kaum pengrajin atau petani-feodal, melainkan ‘hanya’ kapasitas kerjanya yang dihitung lewat rata-rata waktu kerja sosial. Formasi pembagian kerja yang semakin terkuantifikasi inilah yang memungkinkan lahirnya konsep nilai, memungkinkan hadirnya bentuk pertukaran komoditas yang dapat diseukurkan satu sama lain.
Kerja yang dapat diseukurkan melahirkan pertukaran komoditas yang dapat diseukurkan. Yang dilakukan dalam proses pertukaran pasar adalah memvalidasi sifat kuantitatif dan sosial dari produksi kapitalis. Tidak seperti hubungan pertukaran pra-kapitalis, hubungan pertukaran pasar di bawah cara produksi kapitalis justru memungkinkan keadilan, memungkinkan komoditas dipertukarkan sesuai nilainya.***
————
[1] Mengenai hal ini lihat Mulyanto, D. 2010. Kapitalisme: Perspektif Sosio-Historis. Bandung: Ultimus. Hal. 154-156; Suryajaya, M. 2013. Asal-usul Kekayaan. Yogyakarta: Resistbook. hal. 26-40. Roncaglia, A. 2005. The Wealth of Ideas: A History of economic Thought. Cambridge: Cambrdige University Press. Hal. 34-41.