Gambar diambil dari The New York Times
SORE 8 September 2016 kemarin adalah aksi Kamisan ke-458, dengan tema dua belas tahun Munir dibunuh. Seperti kamis-kamis sebelumnya, serombongan orang mengenakan pakaian hitam berdiri melingkar di seberang istana. Langit senja disaput mendung. Ratusan mobil, bis dan sepeda motor menderu-deru. Debu dan asap knalpot membumbung ke udara.
Ada Suciwati istri almarhum Munir, Bu Sumarsih ibunda Wawan korban peristiwa Semanggi November 1998, penyintas ‘65, para aktivis dan mahasiswa yang bergantian orasi. Tentang rezim yang tidak pernah serius menangani kasus-kasus pelanggaran HAM, tentang deret panjang kekerasan negara yang nyaris tanpa harap bisa dituntaskan, terlebih dengan pengangkatan Wiranto sebagai Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam).
Menyebut Wiranto, tiba-tiba ingatan saya meluncur pada sosok Nina.
Saya bertemu Nina dalam sebuah acara diskusi dan pemutaran film Nina and the Stolen Children of Timor Leste, berkisah tentang anak-anak Timor Leste yang dibawa ke Indonesia oleh tentara Indonesia. Hari itu, 30 Agustus adalah hari terjadinya referendum Timor Leste, sekaligus hari internasional penghilangan orang secara paksa. Kedua momentum tersebut, amat lekat dengan nama Wiranto.
Nina, berkulit putih, cantik dengan hidung bangir itu terlahir dengan nama Isabelinha De Jesus Pinto. Manuel Pinto, ayahnya adalah liurai (sebutan untuk keturunan bangsawan) yang menjadi kepala desa di Viqueque.
Usia Nina enam tahun ketika sebuah siang di tahun 1979, serombongan tentara membawanya ke dermaga Laga. Tubuh mungilnya diangkat naik ke kapal. Di atas kapal, ia menyaksikan beberapa teman seusia dirinya, laki-laki dan perempuan. Semua ketakutan dan menangis. Termasuk Nina.
Seorang sersan muda asal Manado hendak membawanya pulang ke Jawa, lantaran tak memiliki anak perempuan. Ia berjanji akan menyekolahkan Nina dengan baik. Papa Nina, Manuel Pinto dipaksa menandatangani surat persetujuan pengangkatan anak. Ia menolak keras, namun tak berdaya ketika todongan senjata mengancamnya. Nina, putri keduanya yang lincah dan senang menyanyi itu pun terlepas dari pelukannya.
CAVR, Komisi Kebenaran Timor-Leste, memperkirakan ada sekitar 4000 anak diambil dari keluarga mereka dan dibawa ke Indonesia selama masa pendudukan Indonesia antara 1975 dan 1999. Ada yang diangkat sebagai anak, ada yang dititipkan di pesantren atau yayasan. Sebagian besar anak-anak ini direkrut sebagai Tenaga Bantuan Operasional (TBO) dengan tugas memikul logistik tentara. Mereka kemudian dibawa ke Indonesia dengan janji akan disekolahkan. Ada juga yang dibawa paksa begitu saja.
Tidak sedikit yang hidup terlunta-lunta, tidak sekolah dan mendapat perlakuan buruk. Mereka kehilangan kontak dengan keluarga. Dalam film yang diputar, Legibere yang namanya diganti menjadi Muhamad, terpisah dari orangtuanya tahun 1984. Aisah Soares nyaris tak sanggup menuntaskan kalimatnya ketika berkisah tentang bagaimana keluarga angkatnya memperlakukannya seperti pembantu. Jose, namanya kemudian diganti menjadi Abdurrahman, TBO yang kemudian ikut dibawa ke Jakarta. Ia dibawa ke kapal dengan dimasukkan ke dalam peti. Sepanjang perjalanan satu minggu di atas kapal, ia terduduk di dalam peti.
Nasib Nina pun tak beda. Setelah menempuh perjalanan satu minggu dengan kapal ke Surabaya dan dilanjutkan dengan naik truk ke Jakarta, ternyata tak ada cinta yang menyambutnya di keluarga barunya. Ia justru mendapat perlakuan kasar setiap hari. Ia disekolahkan seperti janji semula, tapi juga harus mengerjakan pekerjaan rumah saban harinya, termasuk mencuci baju seluruh anggota keluarga. Pulang sekolah, ia harus berjualan es lilin. Ia tak boleh pulang sebelum jualan tandas.
Tak ada mama yang memanggilnya dengan lembut: Lau Nina atau putri Nina. Namanya diganti menjadi Serlina Sembel. Ia yang biasa diajak orangtuanya berdoa di gereja Katolik, kemudian berganti ke gereja Kristen seperti orangtua angkatnya. Ketika ia dewasa, sang ayah angkat justru hendak memperkosanya. Jika kesal, mereka memakinya: “Dasar anak Fretilin! Dasar orang Timor!”
Nina menolak kalah. Ia belajar, bekerja keras sambil kuliah. Hingga akhirnya menemukan jodoh yang baik dan kini memiliki dua anak.
Tak terhitung rasanya rindu kepada kedua orangtua dan kakak adiknya. Malam-malam saat ia merasa lelah, sakit dan sendiri, ia akan menatap langit, menyaksikan kilau bintang. Dulu papanya pernah bilang: “Satu saat kalau kamu terpisah dari saya atau saudara-saudaramu kamu hanya bisa melihat langit, bisa melihat matahari, melihat bintang pada malam hari. Di situ kamu bisa merasakan bahwa keluarga atau saudara-saudaramu juga rindu terhadap kamu…” Papanya berucap itu berkali-kali, di tengah hutan sambil mengajaknya berburu rusa. Ia sudah meraba risiko bahwa anaknya akan diambil paksa.
30 Agustus 1999, Nina tercekat menyaksikan siaran televisi yang sedang menyiarkan peristiwa Referendum di Timor Leste, saat itu masih bernama Timor Timur. Sebanyak 78% penduduk memilih opsi merdeka dari Indonesia. Nina langsung terbayang keluarga dan saudara-saudaranya. Harapannya untuk bisa mencari dan bertemu tak pernah pudar.
Hingga sepuluh tahun kemudian, tengah malam ia terbangun dengan nafas terengah. Ia bermimpi rumah yang didiaminya diterjang tsunami. Ia, suami dan kedua anaknya hanyut ditelan ombak. Anehnya, tsunami itu terjadi di Laut Timor. Ia juga merasakan semilir angin seperti suasana di padang savana Timor. Potongan-potongan ingatan lantas melesat di depan matanya: laut biru dengan airnya yang tenang, tarian likurai, sepotong lagu “ro dili sedauk mai’ yang dulu kerap dinyanyikan papanya, serta, sebuah siang yang pahit ketika ia dibawa ke Dermaga Laga.
Kejadian itu membuatnya risau. Rindu pada tanah Timor semakin meluap. Dan jawabannya muncul tiga hari kemudian. Tiba-tiba sepupunya datang ke rumahnya, setelah melalui proses panjang pencarian. Tiba-tiba saja ia disambungkan telepon dengan mamanya di Dilli. Tiba-tiba di ujung ia mendengar ada yang menyapanya Lou Nina! Panggilan yang selama 30 tahun tak pernah didengarnya. Tiba-tiba mamanya terbang dari Dilli ke Jakarta untuk menemuinya. Papanya, yang ingatan Nina padanya selalu tertambat pada kenangan saat berburu rusa di tengah hutan bersamanya, telah wafat setahun sebelumnya.
Desember 2009, pertama kali ia bersama suami dan anaknya menginjakkan kaki ke Dilli. Ia dibuatkan upacara adat di Viqueque, untuk mendoakan kembali ia yang dianggap sudah tiada. Ia juga kembali memakai nama pemberian orang tua kandungnya: Isabelinha de Jesus Pinto.
Masih ribuan anak (kini telah dewasa) yang hingga kini tak merasakan perjumpaan dengan keluarga, pun setelah kondisi politik berubah, Timor Leste telah merdeka. Organisasi masyarakat sipil: Asia Justice and Rights, Elsam, Kontras dan IKOHI, telah menfasilitasi dua kali reuni bagi mereka yang telah ditemukan. Sekitar 30 anak telah dipertemukan dengan keluarga mereka di Timor Leste pada 2013 dan 2015. Nina, Aisah, Dominggus dan semua yang hadir dalam reuni keluarga menitikkan air mata. Pertemuan setelah lebih 30 tahun itu benar-benar seperti mimpi. Mereka berpelukan lama sekali. Seakan enggan dipisahkan sekali lagi.
Sejarah panjang kekerasan di negeri ini telah meninggalkan sayatan luka yang pedih dan dalam. Kekerasan negara telah menerjang hinggal hal-hal paling personal dan paling subtil dalam hidup manusia. Seorang bocah yang tengah bermain-main di halaman rumah dengan riang gembira tiba-tiba harus terenggut paksa dari keluarga. Mereka kehilangan identitas, kehilangan akar, berganti keyakinan. Mereka terpisah jauh dari keluarga dan tanah kelahirannya, dengan terus menyimpan ingatan sebagai orang Timor.
Sebagian besar dari mereka hidup dalam berbagai keperihan, dieksploitasi, terasing dari segala hal, sementara mereka masih memiliki orangtua yang terus mencari keberadaan mereka. Apa rasanya, seorang anak kecil bertarung dalam hidup yang keras jauh dari pelukan ibunya, menahan rindu bertahun-tahun, sementara di ujung Timor sana, para orangtua, yang telah beranjak menua, nyaris hilang akal mencari anak-anak mereka yang hilang?
Pada tahun 2005-2008, Indonesia dan Timor Leste membentuk sebuah Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP), yang merekomendasikan pembentukan sebuah komisi pencarian orang hilang, termasuk anak-anak yang dipisahkan karena konflik. Namun, hingga kini belum ada langkah maju untuk membentuk komisi ini.
Sore beranjak gelap. Doa penutup aksi Kamisan usai dibacakan. Masih akan ada Kamis-Kamis berikutnya. Jalan penyelesaian HAM sepertinya akan semakin panjang dan temaram. Mustahil berharap jenderal yang berada di deret depan nama-nama yang harus bertanggung jawab atas sejumlah praktik pelanggaran HAM berat di Indonesia seperti Wiranto bisa tuntaskan persoalan.
Nina, dan anak-anak Timor Leste yang dicuri, hanya sebagian dari deretan panjang korban kekerasan. Sayangnya, mereka tak pernah menyita gaduh. Kalah pamor dengan berita menghebohkan dari seorang Mario Teguh.***