MENDEKATI satu tahun implementasi ASEAN Economic Comunity (AEC) yang diprediksi akan menciptakan 1,9 juta lapangan kerja baru pada tahap awal pelaksanaannya di Indonesia, negara ini justru terancam krisis pengangguran kaum muda (youth unemployment crisis).
Meskipun pemerintah telah menerbitkan berbagai paket ekonomi, namun minat investasi asing masih sangat rendah. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat Penanaman Modal Asing (PMA) menurun untuk pertama kalinya sejak tahun 2011 lalu. Investasi asing pada kuartal satu 2016 sebesar Rp 96,1 triliun atau turun dari kuartal keempat tahun lalu yang mencapai Rp 99,2 triliun.
Situasi ini, semakin diperparah dengan kebijakan pemerintah memangkas anggaran belanja menyusul defisit yang semakin melebar, mendekati batasnya, sebesar 2,35 persen. Kebijakan pemotongan anggaran tersebut berdampak pada pertumbuhan, mengingat pertumbuhan Indonesia yang masih sangat bergantung pada investasi pemerintah (34 persen) dan konsumsi rumah tangga (54 persen). Bank Indonesia bahkan telah mengoreksi proyeksi pertumbuhan Indonesia pada tahun 2016 dari 5,2 persen menjadi 4,9 persen.
Koreksi atas proyeksi pertumbuhan ini mengindikasikan turunnya kemampuan Indonesia menyediakan lapangan kerja baru, dan meningkatkan pengangguran. Secara teoritis, elastisitas satu persen pertumbuhan ekonomi dapat menyerap sekitar 350 ribu tenaga kerja pada 2016. Dan jika merujuk “Okun’s law”(teori Ekonom Arthur Okun), setiap 4 persen pertumbuhan dapat mengurangi 1 persen jumlah pengangguran. Meskipun Indonesia masih mencatatkan pertumbuhan yang positif, namun, indikator-indikator kinerja pasar tenaga kerja memperlihatkan gambaran yang lain.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pada Februari 2016, jumlah pekerja tidak penuh (jumlah jam kerja kurang dari 35 jam per minggu) sebanyak 36,33 juta orang. Sementara jumlah penganggur penuh sebesar 7,02 juta orang. Kendati demikian, menyusul pemangkasan anggaran belanja APBN, dan koreksi atas pertumbuhan ekonomi serta merosotnya investasi, kemungkinan sampai awal tahun 2017, pengangguran Indonesia akan mengalami tren peningkatan. Sejumlah analis memperkirakan kuartal ketiga tingkat pengangguran naik menjadi 6,2 persen, kuartal empat 2016 sampai kuartal pertama 2017 angkanya akan bertahan pada level 6 persen. Sementara jumlah orang yang menganggur diproyeksi pada kuartal ketiga 2016 naik menjadi 7,5 juta orang, kemudian kembali meningkat 7,6 juta orang di kuartal keempat 2016, dan naik kembali jadi 7,7 juta pada kuartal pertama tahun depan.
Pengangguran tersebut didominasi oleh kaum muda (usia 15-24 tahun) yakni sekitar 19,3 persen dari jumlah angkatan kerja Indonesia yang mencapai 127,6 juta orang atau sekitar lebih dari 4 juta orang, dan cenderung terus meningkat tajam dari tahun ke tahun. Dari jumlah pengagguran kaum muda tersebut, hanya 9 persen saja yang memiliki gelar lulusan universitas. Sisanya berpendidikan SMA sederajat ke bawah. Kelompok ini memiliki posisi yang sangat lemah di pasar tenaga kerja, sehingga secara piskologis rentan putus asa.
Kerentanan tersebut dikonfirmasi oleh survey ILO (International Labour Organization), yang pada Februari 2015 menyatakan sekitar 17,9 persen kaum muda yang menganggur mengaku mereka sudah putus asa mencari pekerjaan. Sebagian besar penganggur terbuka yang putus asa tersebut memiliki latar belakang pendidikan SLTP atau lebih rendah. Situasi ini menegaskan bahwa kaum muda tidak dipersiapkan dengan baik untuk masuk ke dalam pasar tenaga kerja.
Ini juga menjelaskan bahwa sesungguhnya kesempatan kerja bagi kaum muda masih belum berkembang sejak awal 1990-an. Dalam arti, pasar tenaga kerja Indonesia tidak pernah sepenuhnya pulih dari dampak krisis keuangan Asia 1997/98. Meskipun Indonesia mencatatkan pertumbuhan positif, namun gagal mengaitkan pertumbuhan tersebut dengan penciptaan lapangan kerja.
Kegagalan membangun keterkaitan antara pertumbuhan dengan penciptaan lapangan kerja, karena pemerintah selama ini gagal mengantisipasi terjadinya perubahan perekonomian Indonesia, dari sebelumnya didominasi sektor pertanian dan manufaktur padat karya, menuju perekonomian dengan kegiatan yang lebih besar di sektor jasa, yang membutuhkan keterampilan yang relatif tinggi, menyusul terjadi revolusi teknologi dan informasi. Dari dua puluh juta pekerjaan yang tercipta, tujuh diantaranya berada pada sektor jasa. Ini mencerminkan adanya ketimpangan antara kebutuhan dan ketersediaan keterampilan. Dengan kata lain, sektor jasa dan industri Indonesia masih didominasi oleh tenaga kerja kurang terampil.
Rendahnya tingkat keterampilan/keahlian tenaga kerja yang ditawarkan, disebabkan kualitas sistem pendidikan tidak mampu menutup celah keahlian. Dengan kata lain, sistem pendidikan yang dikembangkan Indonesia tidak mampu meningkatkan relevansi antara hasil lulusan lembaga pendidikan dengan keahlian yang dibutuhkan. Ini menimbulkan ketidaksesuaian dalam ketenagakerjaan, yakni situasi dimana perusahaan mengalami kesulitan mendapatkan tenaga kerja sesuai dengan bidang keahlian pekerjaan yang ditawarkan/dibutuhkan.
ILO dalam laporan Tren Tenaga Kerja dan Sosial di Indonesia 2014 –2015, menyatakan jabatan manajer, tenaga professional dan teknisi, pekerjaan yang membutuhkan keterampilan tinggi dengan pendidikan tertier, banyak diisi oleh mereka yang tidak sesuai persyaratan. Begitu pula dengan pekerjaan juru tulis, pekerja layanan dan penjualan, pekerja terampil di sektor pertanian, pedagang dan buruh produksi, yang membutuhkan pendidikan sekunder, sebagian besar diisi oleh pekerja yang tidak memenuhi syarat.
Tahun 2014, Bank Dunia, dalam laporannya menulis, dua per tiga perusahaan mengaku mengalami kesulitan dalam menemukan pegawai yang tepat untuk posisi-posisi managerial dan profesional; dan hampir 70 persen pemilik perusahaan dalam bidang manufaktur mengeluhkan bahwa sangat sulit untuk mengisi posisi-posisi tingkat profesional yang terampil (insinyur). Sejumlah perusahaan lain melaporkan tidak cukupnya ketersediaan lulusan pendidikan sebagai alasan mendapatkan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan, beberapa yang bergerak pada sektor-sektor lain mengeluhkan kualitas keahlian lulusan yang ada. Akibatnya perusahaan-perusahaan yang beroperasi di (khususnya PMA), cenderung mempergunakan tenaga kerja asing untuk mengisi sejumlah posisi yang ditawarkan.
Belakangan, masuknya tenaga kerja asing mengisi berbagai posisi yang ditawarkan perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia dimungkinkan seiring dengan implementasi ASEAN Economic Commmunity (AEC), yang mengizinkan lalu lintas tenaga kerja dalam lingkup negara-negara anggota ASEAN. Masuknya tenaga kerja dari negara-negara anggota ASEAN membuat tenaga kerja Indonesia tersingkar, karena kalah bersaing. Menurut survey Bank Dunia 2014, tingkat keahlian dan pendidikan tenaga kerja Indonesia berada di bawah Negara-negara anggota ASEAN, kecuali Cambodia.
Tersingkirnya tenaga kerja Indonesia di dalam negeri, berimplikasi pada dua hal: pertama, meningkatnya pergerakan tenaga kerja menuju jasa lapisan bawah (sektor informal); kedua, melonjaknya pengiriman buruh migran dengan kualifikasi keahlian rendah ke luar negari, dengan tanpa perlindungan yang maksimal.
Sektor informal—baik di kota maupun di desa—sampai sekarang masih berperan besar dalam perekonomian Indonesia. Walau agak sulit untuk menentukan jumlahnya secara pasti, namun diperkirakan lebih dari 50 persen pekerjaan di Indonesia adalah pekerjaan informal. Sekitar 80 persen dari pekerjaan informal terkonsentrasi di sektor ritel dan kulakan dan personal, jasa sosial dan konstruksi
Indonesia adalah salah satu negara pengirim buruh migran terbesar. Setiap tahun, dua juta orang meninggalkan Indonesia menuju negara-negara di Timur Tengah, beberapa bagian negeri China (Hongkong dan Taiwan), dan Malaysia, Korea Selatan, Jepang dan beberapa negara lain, untuk mendapatkan pekerjaan. Namun, meningkatnya pekerja sektor informal dan melonjaknya pengiriman buruh migran sebagai implikasi tersingkirnya tenaga kerja Indonesia di pasar tenaga kerja dalam negeri, tampaknya tidak menjadi persoalan serius bagi rezim Jokowi-JK.
Masalah peningkatan pekerja sektor informal cukup ditambal dengan dilegalkannya menjadi pekerjaan formal. Misalnya melegalkan ojek menjadi pekerjaan formal dengan masuk menjadi pengendara pada perusahaan yang diizinkan menyediakan jasa aplikasi online. Sementara terhadap pekerja migran, rezim ini justru tidak memberikan dukungan kepada buruh migran ketika memperjuangkan hak-hak mereka. Pidato Eni Lestari, buruh migran asal Indonesia, pada sesi pembukaan konferensi Tingkat Tinggi tentang Migran dan pengungsi (High Level Summit on Migrants and Refugee) ke-71 di PBB, 20/9/2016, ditanggapi dingin oleh Wapres Jusuf Kalla dengan mengatakan bahwa Eni tidak mewakili Indonesia, tapi imigran internasional.
Terkait dengan masalah ketidaksesuaian sistem pendidikan dengan pasar tenaga kerja, sejauh ini belum ada terobosan dari rezim Jokowi-JK. Upaya yang dilakukan masih terbatas pada gonta-ganti kurikulum, tidak melakukan perubahan mendasar terhadap sistem pendidikan nasional.
Sedangkan soal pasar tenaga kerja dalam negeri. Jokowi justru menghapus syarat wajib bisa berbahasa Indonesia bagi Tenaga Kerja Asing yang dimuat dalam Permenakertrans Nomor 12 tahun 2013. Padahal peraturan ini merupaan instrumen penting untuk melindungi tenaga kerja Indonesia dari persaingan yang tidak seimbang dengan pencari kerja negara lain.
Ketidakseriusan mengatasi masalah penciptaan lapangan kerja dan pengangguran kaum muda, menggambarkan dengan jelas bahwa Jokowi telah semakin menjauh dari Nawacita. Janji yang pernah dia ucapkan pada rakyat Indonesia. ***