SEMUA kaum beragama di dunia mempercayai agama sebagai jalan keselamatan. Baik keselamatan di dunia maupun di akhirat (kehidupan setelah kematian). Dua aspek keselamatan ini bukan sesuatu yang diimposisikan dari luar agama, melainkan melekat dan inheren dalam diri agama. Keduanya—keselamatan dunia dan akhirat—tak bisa dipisahkan dari agama. Bahkan keduanya merupakan agama itu sendiri. Karena itu sulit kita bayangkan ada agama tanpa kedua janji keselamatan tersebut. Jika ada cara pandang dunia yang tidak memiliki aspek keselamatan dunia dan akhirat di dalamnya, maka tak bisa disebut sebagai agama. Kedua aspek keselamatan ini bisa kita katakan sebagai sesuatu yang fundamental dalam agama. Kalau kita cabut salah satu atau kedua aspek keselamatan tersebut maka ambruklah apa yang disebut sebagai agama. Bahkan tak bisa dipungkiri bahwa agama eksis disebabkan oleh adanya kedua aspek keselamatan ini.
Kedua klaim keselamatan tersebut sebenarnya berpijak pada keyakinan adanya dualitas realitas dalam agama: Imateri dan materi, jiwa dan badan, transenden dan imanen, interior dan eksterior, ukhrawi dan ardli, supra historis dan historis. Yang pertama merupakan dasar dari yang kedua. Yang pertama lebih hakiki ketimbang yang kedua. Bahkan, yang pertama lah yang mendeterminasi yang kedua. Dalam praktiknya, janji keselamatan agama ini akan diuji oleh hukum besi sejarah yang keras dan bengal. Siapakah sebenarnya yang mendeterminasi, yang transenden atau yang imanen.
Agama dipercaya lahir dari realitas yang transenden, seperti wahyu yang diterima Nabi Muhammad. Namun, kalau wahyu itu lahir dari sesuatu yang transenden, yang berada di seberang dunia ini, mengapa wahyu selalu hadir dalam konteks peristiwa tertentu yang historis? Nasr Hamid Abu Zayd, seorang intelektual Mesir hingga mengambil kesimpulan bahwa wahyu diproduksi oleh kebudayaan sekaligus memproduksi kebudayaan. Dengan kata lain, meski wahyu dan agama lahir dari yang transenden, faktanya ia selalu berjangkar pada sejarah manusia. Agama selalu mendapati dirinya berada di dalam kebudayaan tertentu dan tidak pernah berada diluarnya.
Jika pandangan ini bisa diterima, maka kategori agama samawi (agama langit yang berdasar wahyu seperti Yahudi, Kristen dan Islam) dan agama ardli (agama bumi yang tidak berdasar pada wahyu seperti Hindu, dan Budha) sebagaimana umumnya dipahami para penstudi agama tidak lagi relevan. Karena kategori wahyu dan bukan wahyu ini juga sangat problematis. Karena yang dianggap sebagai wahyu bisa dianggap sebagai bukan wahyu, sebaliknya yang dianggap sebagai bukan wahyu bisa juga dianggap sebagai wahyu, tergantung bagaimana kita mendefinisikannya. Jika wahyu diartikan sebagai suara kebenaran yang hadir melampaui dan hendak mengatasi sejarah manusia, maka Taurat, Zabur, Injil dan Al-Qur’an yang dipercaya sebagai kalamullah—yang konon dipercaya sebagai kata-kata Allah yang didiktekan Allah (yang adikodrati) pada Nabi via Jibril, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Upanisad-nya Hindu. Artinya, wahyu dan agama yang dianggap di luar sejarah, faktanya ia selalu lahir dari situasi kongkrit umat manusia pada zaman dan situasi tertentu. Jadi, meski supra historis, buktinya agama selalu historis dan materialis. Ia hadir sebagai jawaban atas persoalan yang dihadapi manusia pada zamannya. Bukan di luar pengalaman manusia yang riil dan mendaging. Maka tak heran agama Hindu di India, agama Konghucu di China, agama Shinto di Jepang, dan agama Islam di Arab mempunyai narasi dan artikulasi yang berbeda-beda mengenai realitas yang disebut oleh John Hick sebagai “satu yang abadi”. Pendeknya, suka atau tidak, meski agama diterangi oleh yang transenden, ia selalu berjangkar pada sesuatu yang kongkrit, yang material.
***
Bagaimana dengan klaim keselamatan agama sebagaimana di muka? Di sini kita tak akan menenggelamkan diri dalam perdebatan ontologis maupun kosmologis membuktikan kebenaran kedua klaim keselamatan agama tersebut. Seperti pertanyaan, apakah benar agama menyelamatkan di dunia dan akhirat? Bisa iya dan tidak, tergantung siapa dan bagaimana cara kita melihatnya. Siapapun boleh percaya atau tidak, dengan klaim kebenaran agama. Karena itu hak setiap manusia untuk memilih percaya atau tidak pada suatu hal.
Tugas utama kita adalah menunjukkan bahwa se-mistis dan se-suci apapun agama, ia selalu berjangkar pada yang materi dan sejarah. Ia merupakan persoalan kongkrit manusia di dunia sini dan saat ini. Sekaligus juga untuk menguji bagaimana kedua klaim keselamatan agama tersebut dipraktikkan dewasa ini dalam konteks logika akumulasi kapital.
Sebagaimana kita tahu, dalam relasi sosial kapitalisme dan logika akumulasi kapital tak ada satupun hal di dunia ini yang tidak dijadikan sebagai komoditas. Dulu, air yang oleh Adam Smith bukan dianggap sebagai komoditas misalnya, saat ini kita temukan air menjadi komoditas yang dipertukarkan dengan komoditas lainnya atau diperdagangkan untuk mendapatkan keuntungan. Persis sama dengan agama, khususnya Islam. Dulu di zaman Nabi dan para sahabat, Islam dijadikan sebagai jalan menuju Allah sekaligus jalan perjuangan pembebasan manusia dari kondisi-kondisi yang membelenggunya. Namun sekarang, sebaliknya, sebagian besar agama justru dijadikan sebagai alat membelenggu manusia.
Agama diperdagangkan tak ubahnya sabun colek, obat gosok atau obat panu oleh para elit agama untuk mendulang keuntungan sebanyak-banyaknya. Dari situ agama dijadikan sebagai selubung penghisapan dan menjadi stempel pembenar kebejatan.
Sedemikian, kritik Marx terhadap agama sebagaimana dalam “Critique on Hegel’s Philosophy of Right” yang menganggap agama sebagai candu tak bisa dianggap sebagai sepenuhnya keliru. Justru kritik Marx ini bisa membantu kaum beragama mampu beragama dengan kritis dan tanpa perlu menggadaikan akal sehatnya. Berikut kutipan lengkapnya:
“Penderitaan agama pada saat yang sama merupakan ekspresi pada penderitaan ekonomi yang riil dan protes melawan penderitaan yang riil. Agama adalah keluh kesah makhluk yang tertindas, hati dunia yang tak berhati, sebagaimana ia adalah roh dari suatu keadaan yang tak ber-roh. Ia adalah opium bagi masyarakat.”
Kalau kita cermati kalimat Marx dimuka, sebenarnya ia simpatik terhadap agama ketika ia mengatakan agama sebagai sebentuk ‘protes melawan penderitaan yang riil’. Namun sayangnya, alih-alih sebagai jalan pembebasan, agama justru tak jauh beda dengan candu yang menghilangkan rasa sakit kaum tertindas dengan menciptakan fantasi mengenai suatu dunia supernatural dimana segala kepedihan dan kesedihan berakhir. Mereka, kaum elit agama, dengan bahasa yang terdengar kudus, bukannya menyerukan kaum beragama melawan penindasan, melainkan mengajak rakyat sabar menghadapi penindasan, pelecehan dan pemiskinan karena kelak kesabaran mereka menerima penindasan akan diganti oleh Allah dengan surga. Pada titik inilah Marx benar, agama tak ubahnya candu yang melenakan.
Namun sebenarnya kritik Marx ini tak sepenuhnya benar, juga tak sepenuhnya keliru. Karena faktanya ada banyak bukti agama sebagai jalan pembebasan. Begitu juga sebaliknya. Ada banyak bukti agama yang dipakai sebagai selubung penindasan.
Sayangnya pemikiran Marx dan marxisme kebanyakan disalahpahami sebagai bermaksud melawan agama. Bahkan kebanyakan secara keliru mengira kalau semua pemikiran Marx dan Marxisme hanya berurusan dengan agama. Bahkan, pada tahun 1841, ketika Marx mengkritik agama (kristiani) sebagaimana dalam “The Essence of Christianity”, sebenarnya ia sendiri tak pernah menjadikan agama sebagai musuh besar bagi apa yang hendak diperjuangkannya. Bagi Marx, meski agama dianggapnya seringkali membela penindas, tak perlu baginya untuk melancarkan serangan histeris pada agama. Ia menganggap agama tidak begitu penting dan hanya sekedar gejala suatu penyakit, dan bukan penyakit itu sendiri. Agama dilihatnya sebagai bagunan atas masyarakat atau supra struktur, bukan basis struktur. Maka baginya, medan pertempuran sesungguhnya bagi kelas yang ditindas ada pada basis struktur berupa ekonomi dengan menguasai alat produksi. Dengan ini menganggap agenda utama Marx dan Marxisme untuk memusuhi agama adalah kesalahan besar memahami Marx dan Marxisme.
***
Di tengah praktik beragama yang lebih tampak sebagai lelucon ketimbang jalan pembebasan bagi manusia sebagaimana sekarang, di tengah agama yang hanya dipakai sebagai pembela kejahatan kemanusiaan dan ketidakadilan sebagaimana sekarang, apa yang bisa kita lakukan untuk membela agama dari kekeroposan? Jalan satu-satunya adalah melucuti selubung keculasan merebaknya agamawan-agamawan bejat yang hanya menjadikan agama sebagai komoditas bagi keuntungan dirinya sendiri: membela perusakan lingkungan; diam melihat rakyat ditindas; mendukung politisi hipokrit; menjadi stempel pelanggaran HAM; hingga mengajak rakyat melupakan penghisapan dengan mengejar kenikmatan akhirat.
Namun masih sangat sedikit kaum beragama yang menyadari hal ini, sehingga banyak dari kita, kaum beragama, tak mampu membedakan diferensiasi antara agama dan praktik beragama. Akibatnya seringkali keliru mengidentifikasi dan menganggap figur-figur beragama sebagai agama itu sendiri. Padahal mereka semua hanya menafsir agama dan mengartikulasikannya dalam situasi tertentu yang tidak mutlak benar dan kebal kritik.
Bahkan lucunya, hampir sebagian besar kaum muslim sekarang tengah berebut diri sebagai penerus yang sah perjuangan Nabi: Mereka yang sibuk bikin bom merasa meneruskan perjuangan Nabi; Mereka yang hidupnya dihabiskan untuk memperdebatkan ziarah kubur tapi abai pada tetangganya yang terjerat rentenir merasa meneruskan perjuangan Nabi; mereka yang kaya namun hanya menyumbang doa pada penderitaan tetangganya merasa meneruskan perjuangan Nabi; mereka yang sibuk dagangan pluralisme untuk menyenangkan kaum imperialis dan tak mau memperjuangkan prasyarat-prasyarat terwujudnya persaudaraan kemanusiaan yang hakiki merasa meneruskan perjuangan Nabi; mereka yang sibuk memberi legitimasi pada pengusaha dan penguasa lalim merasa meneruskan perjuangan para Nabi; mereka yang menghabiskan hartanya untuk membangun masjid tapi tak mau membangun komunitas masyarakat yang sejahtera, berkeadilan dan makmur bersama merasa meneruskan perjuangan para Nabi; mereka yang menjadi corong Neoliberalisme dan kaki korporasi merasa meneruskan perjuangan para Nabi. Intinya semuanya merasa paling berhak sebagai penerus perjuangan para Nabi, tapi anehnya tak peduli dengan kemalangan orang lain bahkan memusuhi perjuangan buruh dan petani. Pada hakikatnya mereka memunggungi perjuangan Nabi.
Memahami hal ini sangat lah penting bagi kita. Karena Allah sendiri mengingatkan kita agar mengerti persoalan kehidupan di dunia ini, karena kalau tidak paham persoalan kehidupan di dunia, maka kelak di akhirat akan tersesat.
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)” (Q 17:77)
Dan menariknya, kalau diawal kita telah membahas mengenai keselamatan di akhirat. Ternyata Allah mengatakan bahwa akhirat tidak diperuntukkan bagi mereka yang egois, sombong dan tidak peduli pada penderitaan orang lain.
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa” (Q 28:83)
Artinya, entah kiai, ustad, santri, atau aktivis Islam, meski mereka hafal banyak dalil agama dan sholat seribu kali tiap hari kalau merasa sombong, fasis, rasis dan menjadi bagian dari penghisapan dan perusak lingkungan seperti di Banyuwangi, maka Allah sendiri yang mengatakan bahwa akhirat tidak diperuntukkan bagi orang-orang semacam itu.
Alhasil, sebenarnya agama tidak akan hancur karena ada seseorang yang bisa mencongkel basis pengetahuannya atau karena ada banyak manusia yang tidak mempercayainya. Bahkan seandainya ada semilyar manusia seperti Marx dan Freud, yang mengkritik agama di dunia ini. Agama tidak akan hancur. Agama hancur karena ia dipraktikkan secara sembrono, ugal-ugalan dan tidak menjadi jalan pembebasan manusia, tapi sebagai komoditas. Agama hancur karena agama dijadikan sebagai alat dan selubung penghisapan. Agama hancur karena kian banyaknya kaum beragama yang menempatkan diri tak ubahnya Allah yang tak boleh dikritik dan merasa paling benar ketimbang lainnya. Merasa paling berhak menentukan baik buruknya umat manusia. Bukankah rasa benar sendiri, sebagaimana Fir’aun, sebenarnya tengah mendeklarasikan diri sebagai Allah dan melawan Allah itu sendiri?. Naudzubillah mindzalik ***
Yogyakarta, 18 September 2016