PENDAFTARAN partai politik baru sebagai badan hukum di Kemenkumham baru saja ditutup. Ada setidaknya dua kelompok gerakan yang mungkin bisa ikut pemilu 2019. Pertama, barisan Rumah Rakyat Indonesia (RRI) dkk., yang mengakuisisi “Partai Buruh,” sehingga tidak perlu lagi mendaftarkan diri sebagai partai baru di Kemenkumham. Kedua, Partai Hijau Indonesia (PHI) yang terus berjuang untuk lolos sebagai badan hukum dan menjadi parpol peserta pemilu. Kita tentu mengharapkan adanya partai dari gerakan rakyat yang bisa bertarung dengan partai-partai borjuasi dan oligarki pada pemilu 2019. Tetapi sebelumnya, kita perlu mengenal mereka terlebih dahulu.
Berikut wawancara Mohamad Zaki Hussein dari IndoPROGRESS dengan Sekretaris Jenderal Partai Hijau Indonesia, John Muhammad.
Menurut Bung, kenapa partai elektoral penting untuk dibangun oleh gerakan rakyat?
Sebelum masuk ke sana, saya mau tekankan bahwa yang terpenting (dalam politik elektoral) adalah pembangunan partai politik (parpol).
Parpol seperti apa? Parpol yang mewadahi kepentingan masyarakat sipil. Yang tidak dikuasai elit parpolnya atau benar-benar dikuasai oleh anggotanya. Yang punya platform perjuangan yang jelas dan berpihak secara tegas pada gerakan anti korupsi, Hak Asasi Manusia dan lingkungan hidup. Yang dananya dihimpun bukan dari seorang atau sekelompok bandar melainkan berasal dari anggotanya sendiri – dan tentunya transparan.
Sementara, momen pilpres (pemilihan presiden), pileg (pemilihan legislatif) dan pilkada (pemilihan kepala daerah) atau biasa disebut politik elektoral, sebenarnya merupakan ruang untuk memperjuangkan ide tersebut. Namun begitu, politik elektoral dapat diikuti dengan dua jalan. Pertama, jalur parpol dan kedua, jalur independen.
Dengan demikian, “partai elektoral” atau “parpol peserta pemilu yang ditetapkan KPU” itu penting sebagai tahapan/target konsolidasi, namun bukanlah tujuan utama kita.
Ada banyak pengalaman di sekitar kita yang menunjukkan bahwa ketidaksabaran, entah karena pesimis/frustasi menghadapi beratnya syarat peserta pemilu, memaksa mereka mengkhianati platform hanya demi bisa ikut pemilu. Atau kalau gagal tembus pemilu, maka kita bisa gampang bubar grak. Partai Hijau Indonesia tidak mau begitu.
Tetapi bukan berarti politik birokrasi ini kita cuekin. Justru kita selalu buat hal tersebut sebagai momen untuk membangkitkan konsolidasi. Kita juga akan mempersoalkan aturan-aturan yang melanggar hak berpolitik warga. Dan kita akan mengoptimalkan peluang politik elektoral yang tersedia. Misalnya, dengan mencalonkan kader-kader Partai Hijau Indonesia untuk DPD.
Nah, gerakan masyarakat sipil harus berjuang sekuat tenaga untuk melestarikan perjuangan elektoral ini. Supaya kita merdeka dari oligarki parpol-parpol yang selama ini mengkhianati agenda kita. Jika kita berpangku tangan saja, maka jangan salahkan jika anak kita atau cucu kita kelak akan bertanya, “Kalau memang pada saat itu parpol-parpol yang ada dianggap tidak baik, mengapa kalian tidak membangun parpol yang kalian cita-citakan?”
Jujur saja ya, saya ini sebelumnya sinis dengan parpol. Tapi pengalaman advokasi selama ini, menunjukkan gerakan masyarakat sipil butuh lengan politiknya (political arm) sendiri. Banyak teman-teman yang hebat dan masuk ke “dalam”, baik itu melalui jalur profesional/ independen maupun “ngekos” di parpol yang ada, terpaksa melacur, curi-curi momen atau minimal tiarap. Kalaupun nekat, pasti umurnya tidak panjang. Mudah sekali didepak. Itu karena mereka berada di rumah yang salah. Mereka tidak bisa mengekspresikan apa yang mereka inginkan. Yang mereka yakini.
Sebaliknya, kegagalan meloloskan wakil masyarakat sipil dalam pemilihan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) kemarin, menunjukkan pintu bagi kita semakin tertutup. Semua diborong habis oleh parpol-parpol yang ada. Situasi dan kondisi inilah yang memastikan bahwa membangun parpol sendiri merupakan kebutuhan yang mendesak.
Bisa diceritakan proses pembangunan Partai Hijau Indonesia dan sejauh apa perkembangannya?
Saat ini, kita benar-benar sedang menikmati proses konsolidasi!
Dari hanya sekitar 140 orang pendiri tanpa verifikasi KTP (Juni, 2012) sampai dengan 1.080 orang pendiri dengan bukti KTP. Dari hanya punya pendiri di 6 provinsi (Juli, 2015) sampai dengan punya pendiri di 31 Provinsi. Dari hanya 8 Provinsi (Maret, 2016) sampai dengan 27 Provinsi yang memenuhi syarat UU Parpol.
Dari yang awalnya didominasi oleh aktivis lingkungan (terutama eksponen Walhi), sekarang beragam sekali. Ada aktivis HAM, pegiat anti korupsi, aktivis perburuhan, aktivis perempuan, eksponen mahasiswa 1998, pegiat koperasi, aktivis digital, filmmaker, akademisi, petani, nelayan, supir dan lain sebagainya. Mereka adalah figur-figur yang sesungguhnya hidup dan tumbuh bersama warga berikut persoalannya. Mereka ya akar-rumput yang sebenar-benarnya.
Persentase total pendiri/anggota kita yang berusia di bawah 40 tahun saat ini 77 persen (Mei, 2016). Jadi, bisa dibilang PHI berisikan kaum muda. Sementara, persentase total pendiri/anggota perempuan kita sekarang hampir 40 persen. Yang tertinggi di Sumbar (58 persen). Memang belum mencapai target internal, yakni 50 persen, namun setidaknya sudah melampaui aturan 30 persen.
Perkembangan iuran kita juga naik terus, dari hanya Rp. 0 (2012, 2013), lalu Rp. 5 juta (2014), Rp.10 juta (2015) dan Rp. 12 jutaan sekarang. Kita mau genjot lagi karena kebutuhan saat ini semakin banyak. Tahun 2012 dan 2013 itu kita sibuk “berantem” nentuin visi, bentuk dan jeroan lainnya. Terutama, ketika kita harus menerjemahkan demokrasi akar-rumput (grassroots democracy) dalam bentuk struktur.
Buat saya, perkembangan ini keren banget, Bung!
Karena semua ini kita lakukan secara swadaya dan bahkan dengan segala keterbatasan yang kita miliki. Mulai dari waktu, dana, menguatnya citra buruk parpol saat ini dan pesimisme terhadap kekuatan masyarakat sipil.
Saya bersyukur kita bisa sampai di sini dan bisa menjadi bagian dari cita-cita mulia ini. Sebab, PHI ini lahir dari proses yang sangat panjang dan penuh kesabaran. Dari mulai kegagalan Partai Hijau 1998. Harus melalui proses transformasi dari gerakan advokasi ke organisasi massa dulu. Dari berbagai diskusi, perdebatan sampai dengan Kongres Rakyat Indonesia (2007) di Asrama Haji Pondok Gede. Sampai akhirnya dideklarasikan pada 5 Juni 2012 di Bandung.
Program politik apa yang diusung oleh Partai Hijau Indonesia?
Acuannya tetap pada 6 prinsip utama politik hijau, yakni: kearifan ekologis, demokrasi akar rumput, keadilan sosial, kebinekaan, anti kekerasan dan keberlanjutan.
Nah, program politik secara umum banyak sekali, Bung.
Begini, kita benar-benar mempercayakan kepentingan politik kita pada platform dan kekuatan anggota. Anggota yang berkonsentrasi pada isu tertentu dipersilakan membentuk kelompok kerja dan merumuskan sendiri strategi sampai dengan upaya advokasinya.
Ini bisa terjadi karena prinsip demokrasi akar-rumput itu, adanya kesetiaan pada platform driven action dan semangat “political arm of civil society”. Sekadar menyebut inisiatif yang terdokumentasi saat ini: ada dokumen politik luar-negeri, dokumen isu energi bersih-terbarukan, isu keluarga-pendidikan seks sampai dengan kebijakan anti SLAPP (strategic lawsuit against public participation) sebagai respon dari kasus Haris Azhar/KontraS kemarin.
Kalau saya sendiri punya fokus pada perjuangan Hak Petisi bagi warga. Dokumennya sudah siap, tinggal dimatangkan pada rancangan kebijakan.
Selain melahirkan kebijakan-kebijakan yang “bersih, adil dan lestari”, terkait politik elektoral, kita fokus pada talent scouting atau mencari talenta-talenta politik hijau untuk dipromosikan mengisi jabatan politik.
Sebagai contoh, pada Pilgub DKI saat ini, kita pernah mengupayakan Bambang Widjojanto, Alissa Wahid dan Marco Kusumawijaya sebagai calon independen. Jadi, talenta orang-orang yang bersih itu tak harus dari internal, namun pasti harus disepakati oleh internal.
Kalau disederhanakan ya: (1) Kebijakan politik yang bersih, adil dan lestari; (2) mencari dan mempromosikan talenta politik hijau dan (3) memenuhi syarat UU Parpol dan UU Pemilu.
Apakah Partai Hijau Indonesia berencana mengikuti pemilu 2019?
Ya dong. Itu kan tantangan yang paling seru. Baik sebagai peserta pemilu yang ditetapkan oleh KPU maupun sebagai parpol yang berupaya mengintervensi politik elektoral dengan mencalonkan kandidat yang sevisi dengan kita.
Saat ini, kita sedang membangun struktur. Struktur kita agak unik, nih. Jadi, pengurus intinya adalah dua pemimpin (laki-laki dan perempuan) dan seorang bendahara. Kedua pemimpin ini kita sebut Konvenor. Fungsinya sebagai fasilitator dari berbagai macam Kelompok Kerja.
Nah, kita butuh seorang konvenor laki-laki dan seorang konvenor perempuan serta seorang bendahara. Jadi hanya butuh tiga orang saja dari mulai tingkat provinsi, kabupaten/kota sampai dengan kecamatan.
Di luar Partai Hijau Indonesia, ada kelompok gerakan lain yang juga memiliki agenda intervensi pemilu, seperti Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI) dan Rumah Rakyat Indonesia (RRI). Apakah Partai Hijau memiliki konsep konsolidasi luas untuk mengintervensi pemilu 2019?
Setidaknya ada dua bentuk kerjasama yang sedang didiskusikan secara intens. Pertama, kita bekerjasama meloloskan calon anggota DPD, calon presiden-wakil presiden, calon kepala daerah melalui jalur independen. Kedua, kita bekerjasama meloloskan calon anggota legislatif.
Nah, yang kedua ini baik inisiatif maupun bentuknya masih dalam perdebatan. Pengalaman Gerakan Bersih 2014 lalu, kita memerlukan sistem kendali yang lebih baik supaya mereka yang lolos tetap bersetia dengan agenda-agenda masyarakat sipil.
Sampai di sini sudah jelas, bahwa kesamaan platform dan kesediaan untuk setia dan bekerja pada agenda kita menjadi syarat yang menentukan kerjasama.***