DALAM pengantarnya atas penerbitan buku Kapital I, edisi Perancis tahun 1969 yang kemudian dimasukan dalam buku Lenin dan Filsafat (1971), Louis Althusser sempat menyatakan “Sebuah jejak pengaruh Hegelian yang terakhir…kali ini jejak yang menyolok dan sangat berbahaya”[1] mengenai konsep Marx tentang fetisisme komoditas. Hal ini, menurut Althusser, disebabkan konsep fetisisme komoditas kerap menjadi dasar bagi setiap penafsiran-penafsiran idealis atas pemikiran ekonomi-politik Marx. Sayang, Althusser dalam teksnya tidak memberi elaborasi lebih lanjut mengenai klaimnya ini sehingga kita hanya bisa menduga-duga apa yang ia maksud. Hal ini bagaimanapun bagi saya amat membangkitkan rasa simpatik, berkenaan dengan antipati yang sama terhadap segala bentuk pemikiran mistis sok subtil seperti idealisme.
Dalam Kapital, satu gagasan konseptual, bukan hanya terhubung secara logis dengan gagasan konseptual lain, melainkan selalu merupakan sebuah perkembangan logis atas konsep lainnya. Hal ini dilakukan karena tujuan utama mahakarya itu adalah untuk “menyingkapkan hukum gerak masyarakat modern”. Untuk menangkap ‘hukum gerak’ dan menyajikannya dalam sebuah buku, mau tidak mau penjelasan atas satu konsep mesti bertautan dengan konsep yang lain. Namun bukan hanya bertautan, gaya penyajian seperti ini menyebabkan penjelasan konsep-konsep teoretis sering tampak hadir dalam gaya berulang-ulang, maju-mundur, timbul-tenggelam, persis seperti satu titik dalam perputaran sebuah roda yang berjalan. Nalar kita yang sudah terbiasa dengan buku-buku ‘teoretis’ bergaya kamus, mesti mengingat hal ini sering-sering kalau tidak mau jadi robot Marxis.
Dalam penyajian Kapital I, bagian berjudul ‘Fetisisme Komoditas dan Rahasianya’ terletak pada bagian paling akhir dari Bab I (‘Komoditas’), tepat setelah bagian ‘Bentuk Nilai atau Nilai-Tukar’ berakhir. Bagian ‘Fetisisme…’ karena itu menandai peralihan dari penjelasan Marx atas bentuk nilai (form of value) menuju Bab II yang berjudul ‘Proses Pertukaran’. Dalam bagian bentuk-nilai Marx berangkat, tentu, dari analisisnya atas komoditas; nilai-guna adalah muatan material dari kekayaan yang proporsi, atau relasi kuantitatif antar komoditasnya, terwujud dalam nilai tukar. Nilai tukar adalah ‘bentuk tampilan’ (form of appearance) dari nilai (value)—abstraksi dari curahan kerja yang memungkinkan tiap-tiap komoditas dipertukarkan satu dengan yang lain. Kerja yang menyusun substansi nilai, kita tahu, adalah kerja abstrak (abstract labour), yakni jenis kerja yang diabstraksikan dari aspek kualitatifnya dan dapat dihitung besarannya lewat rata-rata waktu kerja yang diperlukan secara sosial (social necessary labour time). ‘Nilai’ karena itu diciptakan di dalam proses produksi, ia sudah laten di dalam komoditas sebelum dipertukarkan, namun baru teraktualisasikan dalam pertukaran, yakni melalui ‘nilai-tukar’ antar komoditas.
Bagian bentuk-nilai adalah analisis Marx atas perkembangan konseptual bentuk-nilai dari yang paling sederhana (simple form of value) sampai yang paling berkembang, yaitu bentuk uang (money form). Artinya Marx hendak beri bukti bahwa bentuk uang hanyalah ekspresi moneter dari komoditas. Uang pada hakikatnya tak lain adalah komoditas juga yang berperan sebagai penyetara universal dan dapat dipertukarkan dengan komoditas-komoditas lain. Uang adalah ‘Tuhan’ komoditas dan karena itu menampak sebagai representasi kekayaan masyarakat kapitalis. Sampai di sini Marx setidaknya hendak mengatakan dua hal; pertama, nilai (dan nantinya, penarikan nilai-lebih atau laba produksi kapitalis) diciptakan di dalam proses produksi, bukan di dalam proses sirkulasi (perdagangan), dan kedua, uang sebagai bentuk paling kompleks dari relasi pertukaran hanya menandai nilai-nilai komoditas, bukan substansinya.
Analisis Marx atas komoditas dan bentuk nilai kemudian tentu dapat dipilah-pilah untuk kemudahan. Untuk kali ini kita hanya akan memilah masing-masing mengenai penentu nilai (determinant of value) dan mengenai bentuk-penyetara (equivalent-form). Mengenai penentu nilai, Marx; (a) mengasalkan substansi nilai pada bentuk kerja yang khas cara produksi kapitalis; jenis kerja yang diabstraksikan dari aspek kualitatifnya, yakni kerja abstrak, lalu (b) mengemukakan aspek kuantitatif kerja abstrak, yakni waktu-kerja yang dibutuhkan secara sosial sebagai pengukur besaran nilai (magnitude of value), dan (c) mengemukakan analisis relasi pertukaran lewat konsep bentuk nilai yang memecahkan teka-teki bagaimana nilai dapat berkembang menjadi nilai-tukar, atau dalam bentuknya yang paling berkembang, bagaimana komoditas dapat berkembang menjadi uang[2].
Marx kemudian beranjak dari analisis untuk menemukan basis material komoditas (a & b), menuju analisis relasi antar komoditas (c) lewat uraian bentuk nilai sederhana dengan pengandaian komoditas dipertukarkan setara nilainya. (Marx mengilustrasikan hal ini dengan contoh sederhana berupa persamaan 20 yar linen = 1 mantel). 20 yar linen mewakili bentuk-relatif nilai (relative-form of value), sedang 1 mantel mewakili bentuk-penyetara nilai. Disebut bentuk-relatif karena nilai linen ditentukan oleh relasinya dengan nilai guna komoditas yang lain (1 mantel); sedang bentuk-penyetara berperan sebagai ungkapan kesepadanan komoditas yang lain (20 yar linen). Dari persamaan sederhana ini Marx membuktikan bahwa nilai tukar ialah proporsi antara nilai sebuah komoditas yang diperbandingkan dengan nilai guna komoditas lain (20 yar linen = 1 mantel). Pernyataan Marx di paragraf-paragraf awal Kapital mengenai nilai tukar sebagai ‘bentuk tampilan’ dari nilai (value) dan nilai guna sebagai wahana [Träger] dari nilai-tukar karena itu dapat dipahami. Sesuai dengan kesebangunan konseptual yang telah ia susun (bentuk-relatif nilai mengungkapkan diri dalam bentuk-penyetara nilai) maka analisis bentuk nilai ini menghadirkan masing-masing; (i) nilai yang mengungkapkan diri lewat nilai-guna, (ii) kerja abstrak yang mengungkapkan diri lewat kerja konkret, dan (iii) kerja sosial yang mengungkapkan diri lewat kerja individual. Meski kemudian Marx membawa analisis bentuk nilai sederhana ini sampai ke bentuk uang, intensi dasarnya tetap sama, yakni membuktikan bahwa nilai tukar bersumber di dalam produksi, bukan di pasar. Namun yang penting bagi penjelasan atas fetisisme komoditas adalah memperhatikan bentuk-penyetara nilai bukan hanya sebagai tempat pengungkapan diri nilai, kerja abstrak, dan kerja sosial , melainkan juga tempat yang menopengi dan membalik ketiga hal tersebut sebagai nilai guna, kerja konkret, dan kerja individual.
Analisis Marx atas komoditas dan bentuk nilai ini yang menjelaskan mengapa Marx membuka analisisnya atas fetisisme komoditas dengan kalimat ini,
“Komoditas pada pandangan pertama menampak seperti ihwal remeh-temeh yang jelas dengan sendirinya. Akan tetapi, analisis atas komoditas menyingkap betapa hal itu demikian ganjil penuh dengan keruwetan metafisis dan detail teologis…”.
Komoditas yang dalam amatan empiris tampak sebagai barang berguna biasa saja, ternyata begitu dilakukan analisis ilmiah, memiliki kepelikan yang luar biasa. Komoditas yang tampaknya sederhana, ternyata amat misterius, ia menyembunyikan hubungan-hubungan produksi antar manusia (a, b, c) dan ia menampak dengan penuh kontradiksi-kontradiksi (i, ii, iii). Seketika produk kerja berubah menjadi bentuk-komoditas (commodity-form), maka tulis Marx, “berubah menjadi ihwal yang melampaui keindrawian”. Pernyataan ini mengacu pada analisis bentuk-penyetara nilai di atas yang bagaikan camera obscura, menopengi dan membalik, bentuk-relatif nilai, yakni ketika dalam pertukaran apa yang menjadi landasan komoditas, hadir sebagai kebalikannya; (α) nilai menampak sebagai oposisinya yakni nilai guna, (β) kerja abstrak menampak sebagai oposisinya yakni kerja konkret, dan (γ) relasi antar kerja sosial menampak sebagai oposisinya yakni sebagai relasi antar produk-produk kerja individual.
Apa yang tadinya berasal dari sifat kerja di bawah kapitalisme, termanifestasi ke dalam sifat objektif komoditas-komoditas—relasi sosial menampak dalam bentuk relasi antar komoditas, dan relasi antar komoditas ini menutupi relasi-relasi sosial yang melandasinya. Penampakan inilah yang menjelaskan mengapa nilai dalam kesadaran masyarakat kapitalis seolah-olah timbul di dalam aras sirkulasi; di pasar. Nilai komoditas tampak tidak ada hubungannya dengan basis materiilnya, yakni kerja yang dicurahkan oleh kelas pekerja dalam bentuk kerja abstrak. Komoditas dalam cara produksi kapitalis, hadir seakan-akan memiliki kekuatan mistis-ajaib yang mampu mendefinisikan diri lewat dirinya sendiri, berhubungan satu sama lain tanpa ada kaitan dengan hubungan-hubungan antar manusia yang menciptakannya. Hasil ciptaan manusia karena itu tampil sebagai hal yang berelasi dengan manusia terlepas di luar kendali manusia—minus retorika; komoditas dipandang bernilai terlepas dari kerja buruh; inilah yang dimaksud sebagai fetisisme komoditas.
Analisis Marx atas fetisisme komoditas ini kita tahu menjadi dasar bagi konseptualisasi teori ‘ideologi’ atau ‘kesadaran palsu’ yang kemudian berkembang di tangan Marxisme abad ke-20. Yang perlu diperhatikan dalam analisis Marx mengenai kesadaran masyarakat kapitalis ini ialah analisis dijangkarkan bukan pada kesadaran, melainkan pada formasi pembagian kerja masyarkat kapitalis, yakni formasi yang hadir dalam bentuk pemisahan produsen atas sarana-sarana produksinya yang melahirkan kerja abstrak. Bentuk pembagian kerja inilah yang meniscayakan ‘penampakan objektif’ (objective appearance) realitas yang kabur sekaligus berlaku terbalik dalam masyarakat kapitalis. Jadi fetisisme komoditas bukannya hadir hanya kepada anggota masyarakat kapitalis yang ‘belum sadar’, ‘belum tercerahkan’, atau belum mengenal Marxisme. Fetisisme komoditas adalah fitur yang inheren dari relasi-relasi produksi kapitalis. Dengan kata lain, pertama-tama bukan ‘hegemoni’ media, bukan juga ‘aparatus ideologis negara’ yang menyediakan ‘kesadaran palsu’ pada masyarakat kapitalis. Bukan sarana-sarana penyuntik kesadaran yang menipu anggota-anggota masyarakat, melainkan bentuk penampakan realitas itu sendiri yang niscaya hadir sebagai konsekuensi formasi pembagian kerja yang menipu kesadaran masyarakat. Ilusi objektif inilah yang bentuk tertingginya terlihat dari ideologi-ideologi yang biasa kita kenal sebagai ‘ilmu ekonomi’ dari tradisi klasik hingga modern yang selalu mengandaikan formasi pembagian kerja kapitalis sebagai tetapan kodrati-universal, yang mengira kegunaan atau manfaat (utility) sebagai sumber nilai. Marx karena itu menulis bahwa kategori-kategori ilmu ekonomi borjuis sebagai kategori yang “sahih secara sosial, dan karena itu objektif, bagi hubungan-hubungan produksi yang termasuk dalam cara produksi sosial yang terkondisikan secara historis ini—produksi komoditas.”[3]
Teori Marx tentang fetisisme komoditas memiliki kekuatan untuk menjelaskan bagaimana hubungan-hubungan sosial dalam kapitalisme niscaya menghasilkan penampakan yang mengaburkan bentuk relasi-relasi sosial yang melandasinya. Fetisisme komoditas yang berkembang menjadi fetisisme uang dan kapital dapat menjelaskan mengapa kita mengira bahwa laba dihasilkan dari jual-beli, mengapa kita mengira keseluruhan curahan kerja dibayar dalam upah, mengapa kita mengira sewa adalah pembayaran dari sumbangsih produktif tanah, mengapa pasar saham begitu ajaib, dan seterusnya. Namun, gagasan ini apabila tidak dibaca dengan teliti mudah dikonversi, misalnya, ke dalam ‘kritik ideologi’, kritik atas citra-citra, atau kritik atas ‘spectacle’ yang di abad lalu sempat populer. Apabila penyebab fetisisme dan teori ideologi ditempatkan kepada efek-efeknya, pada aspek sirkulasi atau suprastruktural (agama, media, dst), maka kritik imanen Marx atas produksi kapitalis akan kehilangan tajinya. Ekonomi-politik Marx bukan dan tidak pernah merupakan kritik ideologi. Analisis atas fetisisme komoditas mestinya dibaca kembali kepada kritik terhadap hubungan-hubungan produksi kapitalis.***
———-
[1] Althusser, 1971. Lenin and Philosophy, NLB, hal. 95.
[2] “Salah satu kegagalan utama ekonomi-politik klasik adalah ketakberhasilannya—dalam analisisnya atas komoditas, khususnya nilai—menemukan bentuk nilai yang nyatanya mengubah nilai ke dalam nilai tukar. Bahkan perwakilan terbaiknya, Adam Smith dan Ricardo, memperlakukan bentuk nilai secara acuh-tak acuh sebagai hal yang eksternal terhadap hakikat komoditas itu sendiri”. Marx, 1990. Capital, Vol. I, Penguin Book. Hal. 174, catatan kaki no.34.
[3] Ibid: 169.