JOKOWI baru saja melantik Wiranto menjadi Menteri urusan Politik, Hukum dan Keamanan pada 27 Juli lalu, genap dua puluh tahun setelah aparat merangsek, menculik dan membantai pendukung Megawati di kantor PDI di Jakarta—dengan gratis tanpa ada proses hukum hingga detik ini, tentunya.
Mungkin tanggal jahanam itu sengaja dipilih untuk membasuh luka dengan cuka, supaya rakyat makin paham dan menyadari bahwa di mata elit politik, nyawa mereka cuma barang mainan murahan. Tapi yang nampak terang, ini hanyalah satu langkah terbaru dari arah perjuangan untuk meneguhkan haluan negara di jalur pengabdian pada kepentingan Kapital Dunia, seperti yang sudah dilaksanakan Orde Bau sejak lahir dengan banjir darah genosida yang mengamputasi cita-cita Proklamasi.
Darah rakyat memang tak pernah ada yang mau menanggung. Pun darah rakyat pendukung Megawati yang ditumpahkan aparat saat ia tampil berperan seakan oposisi bagi Soeharto dan Orde Bau, tidak pernah dibela—bahkan ketika Megawati bersemayam di Istana Negara setelah berhasil mengkhianati Gus Dur.
Sudah jauh-jauh hari PBB telah menuduh Wiranto melakukan kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan saat memimpin tentara dan milisi yang mengintimidasi lalu mengamuk sejadi-jadinya ketika Indonesia kalah dalam Referendum di Timor Leste. Pengangkatannya itu justru mengingatkan bahwa tuduhan-tuduhan PBB itu, serta surat perintah penangkapan yang pernah diterbitkan untuknya, dibiarkan saja tanpa ditanggapi selama belasan tahun.
Dan Wiranto belum pernah menghadapinya dengan jiwa kesatria yang pantas dimiliki seorang jendral TNI. Setelah dilantik, ia malah mengatakan ‘Itu biasa, setiap saya muncul selalu ada reaksi penolakan terkait kasus pelanggaran HAM. Ya nanti kami selesaikan.’
Si wartawan yang mewawancarai Wiranto pun tidak mengajukan pertanyaan susulan, misalnya, mengapa soal pelanggaran HAM dianggap biasa? Dan mengapa soal yang sudah belasan tahun jadi masalah ini akan diselesaikan nanti, bukannya dulu-dulu?
Pesan yang sampai kepada warga Negara Indonesia dan warga dunia dengan pengangkatan Wiranto sebagai Menkopolhukam cukup jelas: Indonesia dan pemerintahan Presiden Jokowi tidak peduli dengan soal-soal HAM, dan tidak pula mampu melahirkan pemimpin baru, sehingga pemimpin dari Orde Keropos perlu dimunculkan lagi, tak peduli betapa kontroversial. Sedapnya lagi, pengangkatan tersangka pelanggar HAM berat menjadi Menkopolhukam beberapa hari sebelum eksekusi terpidana mati yang banyak mendapat tentangan komunitas internasional, seperti lebih menegaskan lagi sikap Indonesia menegasi nilai-nilai universal HAM.
Episode lanjutannya boleh kita perkirakan. Barangkali akan ada pasang naik lontaran-lontaran setengah matang di media sosial yang melecehkan gagasan-gagasan HAM, bahwa HAM bertentangan dengan keadilan, bahkan bertentangan dengan agama, dan tentu bertentangan dengan kepentingan Nasional. Para pegiat HAM akan makin disudutkan dan stigma sebagai ‘antek asing’ dan bahkan cap ‘musuh Islam’ akan disematkan beramai-ramai.
Anda boleh gemetar, Anda boleh merasa ngeri-ngeri sedap, tapi ini dibutuhkan demi restorasi Orde Bau secara murni dan konsekuen dan sejalan dengan gerakan menjadikan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional. ‘Pembangunanisme’, yang menyamar sebagai Pancasila dengan program Nawacita, adalah sejatinya ideologi rezim saat ini.
Beginilah caranya.
Pembangunanisme yang menolak nilai-nilai HAM tapi mengaku berdasarkan Pancasila dibutuhkan untuk menyatukan emosi rakyat Indonesia guna mensukseskan program-program besar yang kontroversial semacam pembangunan ‘food estate’ di Merauke dan tempat lain. Tanpa ada gerakan menolak nilai-nilai HAM, sulit mengatasi persoalan-persoalan di mana rakyat kecil ngelunjak dan sok tahu apa yang bagus untuk mereka, lalu menolak investasi duit—semisal para petani di Kulon Progo yang menolak tambang besi dan bandara, dan ibu-ibu petani di pegunungan Kendeng yang berani-beraninya berkemah untuk melawan obral kiloan gunung Kendeng Utara oleh investor demi pembangunan pabrik semen.
Penolakan nilai-nilai HAM juga dibutuhkan untuk mengatasi ‘separatisme’ di Papua. Apalagi mengingat belakangan ini perjuangan rakyat Papua untuk menentukan nasibnya sendiri terbukti mampu menarik simpati dunia dengan aksi-aksi massal yang berdisiplin dan tanpa kekerasan maupun rasa takut ditahan dan dipenjara. Juga dibutuhkan pendapat umum yang sangat anti-HAM, demi kesuksesan represi atas gerak warga Negara yang menghalangi derap laju modal, baik di Papua maupun di tempat lain, misalnya di Teluk Benoa dan di Teluk Jakarta.
Selain sebagai tanda ditolaknya nilai-nilai HAM di Negara (konon) Pancasila ini, pengangkatan Wiranto sebagai Menko Polhukam bisa pula ditafsirkan sebagai tanda bahwa sangat mungkin ormas kekerasan berkedok agama makin banyak digunakan untuk memecah belah dan menakut-nakuti rakyat sehingga mudah ditaklukkan dan dimanipulasi untuk kepentingan elit. Janji-janji Jokowi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan HAM, mulai dari soal genosida ’65 yang di sini haram disebut genosida, hingga diskriminasi terhadap kaum Syiah dan Ahmadiyah serta suku-suku di pedalaman yang tak berguna bagi pembangunanisme dan dianggap sekadar bagian dari fauna yang menjengkelkan di lahan-lahan sawit, boleh jadi akan diselesaikan dengan cara-cara pemaksaan.
Kalau kita semua dipaksa mengatakan bahwa soal-soal HAM sudah selesai, maka selesailah soal-soal tersebut. Barang siapa menganggap bahwa soal pelanggaran HAM yang dikatakan selesai itu belum selesai bahkan tambah gelap, tentunya ia adalah antek asing yang kalau tidak digebuk secara resmi oleh aparat, boleh berharap dikeroyok ormas pentungan.
Mungkin semua pemikiran ini keliru dan alangkah bahagianya bila benar saya keliru.
Boleh jadi Wiranto samasekali tidak pernah terlibat pelanggaran HAM. Ia justru akan membantu Presiden Jokowi memenuhi janjinya untuk menyelesaikan soal-soal pelanggaran HAM berat yang membebani sejarah bangsa.
Bisa saja dalam beberapa hari ke depan Menkopolhukam akan melibatkan pihak-pihak kompeten yang independen untuk memverifikasi keberadaan kuburan-kuburan massal terkait Fitnah’65. Lantas, sejarah Orde Bau dapat ditulis ulang dengan lebih sesuai dengan pemahaman akademis di atas klaim-klaim politis. Mungkin sebentar lagi kita akan mendengar apresiasi Negara terhadap temuan Pengadilan Rakyat Internasional soal ’65 bahwa telah terjadi genosida dengan peran Negara di tahun-tahun kelam awal Orde Bau itu. Mungkin sebentar lagi kita akan menyaksikan Negara turun tangan mendampingi dan membela rakyatnya yang di sana-sini berhadapan dengan kepentingan modal. Mungkin ormas-ormas berkedok agama yang berkecambah di masa awal Reformasi setelah dibentuknya Pam Swakarsa yang terbukti sukses menggebuki mahasiswa yang mendemo Habibie kala itu, akan mendapat hidayah dan mengedepankan kasih lemah lembut serta meninggalkan pentungan-pentungannya sehingga berubah sifat menjadi kebalikan dari jati dirinya selama ini.
Semua itu sangat mungkin terjadi bilamana memang benar bahwa Orde Bau telah tumbang dan ke depan haluan Negara kita kembali ke Pancasila yang dicita-citakan Proklamasi sesuai mukadimah UUD’45. Namun semua kemungkinan itu hanya mimpi siang bolong, bila ternyata Orde Bau memang tak pernah tumbang.
Nyatanya, Orde Bau tak pernah hancur . Ia sekadar mundur ke belakang panggung, mengadakan konsolidasi, lalu kembali lagi dengan segala kegagahannya ketika berhasil mengusir Gus Dur dalam piyama ke luar dari Istana Negara.
Sejak saat itulah kembali berkuasanya Orde Bau semakin mantap dari hari ke hari.***