Ilustrasi oleh Alit Ambara
INDONESIA membuat terobosan baru dalam membangun hubungan kerjasama antar negara. Jikalau pola kerjasama selama ini lebih fokus dengan negara-negara besar, atau negara Utara, maka kali ini Indonesia mencoba menjajaki negara-negara di kawasan Pasifik Selatan. Papua Timur (PNG), Fiji, Vanuatu, Kepulauan Solomon, dan sejumlah negara pasifik lainnya menjadi target kerjasama yang hendak dibangkitkan. Sebagai realisasinya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan HAM langsung melakukan lawatan (Kompas, 13/2/2016). Salah satu misi yang dibawa adalah persoalan Papua. Pasifik Selatan menjadi penting ketika berbicara mengenai Papua. Bagaimanapun, rumpun bangsa penghuni negara-negara Pasifik Selatan merupakan bangsa Melanesia yang sama dengan suku bangsa di Papua, Maluku dan juga Nusa Tenggara Timur. sebagaimana diketahui bahwa Organisasi negara-negara Melanesia (Melanesian Spearhead Group) atau MSG telah memberikan tempat kepada Papua sebagai peninjau, dan isu pelanggaran HAM di Papua menjadi isu utama yang menjadi perjuangan MSG di dunia internasional. Pada titik inilah, diplomasi Pasifik Selatan dipandang mendesak.
Pertanyaan reflektifnya adalah manakah yang lebih penting antara diplomasi Pasifik Selatan sebagai ancaman eksternal keutuhan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) ataukah pembangunan yang berkemanusiaan di Papua, sebagai masalah internal terhadap ancaman disintegrasi bangsa? Ibarat api dan asap, riakan di wilayah Pasifik Selatan tidak akan pernah berhenti tatkala api di Papua tidak mampu dipadamkan. Singkatnya, pemerintah harus fokus pada penyelesaian masalah Papua. Pendekatan diplomasi Pasifik Selatan sedang menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia menjadikan masalah Papua sebagai propaganda dari negara lain yang ingin merongrong keutuhan NKRI. Hemat penulis, tanpa adanya kesadaran dan kejujuran dari pemerintah tentang permasalahan Papua, niscaya pendekatan apapun yang diakukan di Papua, ibarat membuang garam di laut.
Nasionalisme Papua
Pemerintah Indonesia sudah saatnya harus menyadari bahwa nasionalisme Papua itu ada. Dalam diri orang Papua terdapat nasionalisme ganda, yakni nasionalisme Papua dan nasionalisme Indonesia. Nasionalisme Papua berbasis pada ras Melanesia yang berkulit hitam dan berambut keriting, sementara nasionalisme Indonesia mengacu pada Bhineka Tunggal Ika. Penyemaian Nasionalisme Papua telah dilakukan oleh pemerintah Belanda sejak tahun 1925 melalui pendidikan formal berpola asrama, sementara penyemaian keindonesiaan baru dimulai sejak tahun 1945 (Bernarda: 2012). Nasionalisme Papua berawal dari munculnya sikap anti – amberi (orang bagian Timur yang membawa budaya Melayu) akibat kebrutalan perlakuan tentara jepang dan orang Maluku dan Sulawesi Utara pada saat itu. Selain itu, lambannya pembangunan dan sikap pemerintah belanda di Batavia yang mengabaikan masalah Papua memberikan kontribusi bagi kebangkitan nasionalisme Papua (Penders,2002)
Berangkat dari latar sejarah seperti itu, masih relevankah pengerahan pasukan ke wilayah Papua dalam jumlah yang besar dan memunculkan kekacauan dan keresahan bagi warga sipil Papua? Bukankah segala penindasan dan pelanggaran HAM yang selama ini terjadi di Papua semakin menumbuhkan nasionalisme Papua?
Perjumpaan penulis dengan beberapa mahasiswa Papua beberapa waktu lalu di Jayapura, semakin menguatkan asumsi bahwa aparat keamanan menjadi biang kerok kemarahan masyarakat Papua. Rupanya, sakit hati ketika sanak keluarganya yang meninggal tertembak timah panas aparat keamanan kian hari kian membatu. Apakah Otsus (otonomi khusus) dan janji pembangunan yang dikampanyekan Jokowi dapat mengobati sakit hati mereka?
Otsus dan Janji Damai
Berbicara tentang Otsus, pasti hanya ada satu hal yang terlintas, yakni membanjirnya uang dalam jumlah besar ke wilayah Papua. Besaran dana yang diharapkan dapat membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua, malah melahirkan berbagai masalah seperti korupsi para elit lokal Papua. Lagi-lagi hasil diskusi dengan beberapa mahasiswa Papua, masih meyakini bahwa dana Otsus tidak lebih ibarat permen yang diberikan bagi anak Papua yang sedang merengek nasibnya. Besaran dana akhirnya menjadi tidak efektif untuk dikelola demi pembangunan masyarakat Papua, lantaran masyarakat memilih apatis. Apatisme tersebut sungguh beralasan, karena yang mereka butuhkan adalah kedamaian. Apa artinya segepok uang yang diterima tangan kanan, di saat bersamaan tangan kiri harus melepas kepergian sanak saudara yang harus meninggal karena hujaman peluru para serdadu? Apalah artinya sejumlah uang yang diperoleh sementara hidup hanya menunggu mati karena HIV AIDS menjadi “peluru lunak” yang mematikan lapisan generasi? Di sinilah, letak masalah pembangunan Papua. Papua harus dibangun dengan hati agar kedamaian senantiasa dirasakan oleh segenap insan penghuni cendrawasih.
Mengenai kedamaian di tanah Papua, sebenarnya pemerintah Indonesia sudah jauh hari memikirkannya sebelum melahirkan Otonomi Khusus bagi Papua. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua sudah mendorong dibentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dengan harapan untuk memperkuat integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Komisi ini diharapkan dapat mempersempit kesenjangan interpretasi antara pihak Papua dan Jakarta, khususnya dalam aspek kesejarahan dan penyelesaian berbagai pelanggaran HAM yang terjadi. Sudah 15 tahun Undang-Undang ini berjalan, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi masih menjadi mimpi. Parahnya, di tengah penantian hadirnya komisi tersebut guna menyelesaikan aspek kesejarahan dan pelanggaran HAM di Papua, sejak Otsus berlaku, perilaku aparat keamanan semakin menjadi liar, seakan sedang berada di medan perang. Ratusan nyawa manusia Papua hilang di ujung senapan tanpa penyelesaian yang jelas. Ribuan warga Papua kehilangan kebebasan, mereka ditangkap, dipenjara atas nama “Makar”.
Pendekatan Kesejahteraan Berbasis Rekonsiliatif
Rekonsiliasi menjadi urgen. Rekonsiliasi tentu hanya bisa dilakukan apabila semua pihak berkomitmen untuk menghentikan seluruh gejolak berdarah yang sering terjadi di tanah Papua. Konsekuensi dari rekonsiliasi adalah tidak lagi terdengar berita hilangnya nyawa manusia Papua di ujung senapan tentara, Polisi ataupun orang tidak dikenal seperti yang selama ini sering terjadi. Hal yang paling ekstrim untuk dilakukan adalah dengan menarik pasukan bersenjata yang semakin banyak dikerahkan ke Papua. Pengerahan pasukan mengindikasikan bahwa negara masih menggunakan security approach dalam menangani masalah Papua yang sejauh ini dinilai gagal. Pendekatan keamanan tentu akan melahirkan berbagai masalah turunan yang tidak akan pernah menyelesaikan persoalan.
Semangat rekonsiliasi sebenarnya bertalian dengan pendekatan kesejahteraan dalam artian kesejahteraan batiniah. Untuk apa sejahtera kalau tidak mencakupi aspek lahiriah dan batiniah? Untuk apa memobilisasi pembangunan dengan sejumlah instrumen didalamnya tanpa memberikan rasa aman bagi masyarakat setempat? Sejumlah gebrakan pembangunan yang sudah dilakukan pemerintah patut diapresiasi. Kita menunggu kiranya pembangunan yang difokuskan untuk Papua, sekali lagi, tidak hanya menjadi “permen”, sebagai pemanis bibir belaka. Gebrakan pembangunan dengan mengedepankan semangat rekonsiliatif antara pemerintah Indonesia dan Masyarakat Papua adalah sebuah kemendesakan. Tanpa menghabiskan energi untuk berjibaku dengan pergolakan yang terjadi di Pasifik Selatan ataupun negara lainnya. Karena masalah sesungguhnya adalah bagaimana membangun Papua dengan hati. Bukan terjebak dengan gejolak yang terjadi di luar negeri. Mari wujudkan Papua sebagai tanah damai. Tunjukkan kepada pihak luar bahwa Indonesia mencintai Papua sebagai sesama saudara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.***
Penulis adalah mahasiswa pascasarjana Kajian Ketahanan Nasional UI/Ketua Presidium Pengurus Pusat PMKRI Periode 2016-2018