BAGAIMANA memahami sepak terjang para jenderal penentang simposium 65, yang kemudian bikin gaduh dan bekerjasama dengan para ormas preman untuk menjalankan histeria anti-komunis? Dan mengapa pemerintah seolah-olah tak berdaya dan tidak mampu mengontrol gerombolan perusuh ini? Mengapa para jenderal yang doktrinnya membela Panca Sila bisa bekerjasama dengan ormas-ormas preman yang anti Panca Sila? Ini pertanyaan-pertanyaan yang perlu ada jawabannya.
Jawabannya, nampaknya ada di soal militerisme yang enggan mati di Indonesia. Militerisme, seperti kita tahu, adalah suatu faham atau pandangan yang menganggap bahwa militer mempunyai kedudukan khusus dan penting dalam politik dan karenanya militer harus ikut serta mengendalikan politik dan pemerintahan, bahkan menjadi aktor sentralnya. Karena itu militerisme adalah bentuk paling jelas dari fasisme, yaitu penguasaan total politik dan pemerintahan yang mensahkan cara-cara kekerasan dan penindasan lawan-lawan politiknya untuk tujuan-tujuan ideal dari rezim yang berkuasa. Contohnya adalah rezim-rezim fasis Hitler, Mussolini dan Tenno-Heika. Juga rezim-rezim militeristik sepanjang pergantian kekuasaan dari sipil ke militer, terutama di dekade 1960an dan 1970an. Semuanya dijalankan oleh kaum militer.
Pada masa-masa kekuasaan militeristik inilah biasanya dijalankan pembantaian besar-besaran populasi penduduk. Mengapa? Karena bagi militer, semua urusan politik adalah juga perang, dan karenanya sah bagi mereka melakukan pembunuhan-pembunuhan. Inilah bahaya terbesarnya. Militer, terutama di Dunia Ketiga, menjadi alternatif dari sipil karena mereka merasa mampu menegakkan law and order (keamanan dan ketertiban) ketimbang sipil yang selalu gaduh karena berbeda-beda ideologi dan kepentingan. Tapi mereka lupa kalau militer adalah semacam partai bersenjata, sehingga tidak ada lawan. Ketika militer berkuasa, dengan sendirinya menjalankan militerisme. Menjalankan kekuasaan dengan moncong senjata dan tank. Ketika militer berkuasa, maka Negara akan selalu ada dalam keadaan darurat atau siap perang. Bahkan ketika mereka memakai bentuk setengah-militer sekalipun, tetap saja dalil-dalilnya adalah militerisme. Ini seperti rezim Orde Baru di Indonesia.
Fasisme di Eropa dan Jepang bisa ada karena krisis Kapitalisme, yaitu tidak berdayanya kapitalisme menyelesaikan kontradiksi-kontradiksi perekonomiannya yang semakin menurun dan menghadapi kebangkitan rakyat yang menuntut demokrasi lebih luas. Terutama juga karena kelas-kelas borjuasinya tidak mampu mengangkat ekonominya ke taraf yang lebih maju. Akhirnya mereka mengawinkan kekuasaan pemilik-pemilik modal besar dengan kekuasaan militer yang mampu berkuasa absolut. Karenanya, sering dikatakan, fasisme adalah hasil dari kapitalisme yang sekarat.
Di Indonesia, tentunya kemunculan militerisme dan fasisme agak berbeda. Justru karena belum terbentuk kelas-kelas borjuasi dan kapitalismenya tergantung dari luar, maka rezim Jenderal Suharto menegakkan semi-militerisme karena dukungan dari luar (Nekolim, istilah Bung Karno) untuk menjalankan sistem perekonomian yang masih kuat watak feodalistiknya, yaitu kapitalisme rente. Kapitalisme rente adalah perekonomian yang dijalankan dari hak-hak istimewa orang-orang yang menjalankannya. Mereka bukan borjuasi atau pengusaha, tetapi orang-orang yang mendapat hak-hak istimewa dalam menjalankan modal dan usaha. Istilah lainnya kroni-kroni dari presiden atau penguasa. Hak-hak istimewa bisa didapatkan karena hubungan darah (nepotisme), hubungan pertemanan (kolusi), hubungan cukong (kroni) dan kedudukan atau posisi sebagai pejabat pemerintah (birokrasi dan militer). Karenanya disebut juga sebagai kapitalisme kroni, kapitalisme birokrat atau kapitalisme ersatz (semu).
Militerisme di masa Orde Baru adalah puncak dari ambisi kaum militer yang sejak revolusi 1945 ingin ikut berkuasa. Sejak percobaan kudeta militer tahun 1946; kemudian tahun 1952; lalu sejak darurat militer tahun 1957 yang memperkuat kekuasaan militer di politik dan bisnis, serta lahirnya dwi-fungsi; dan sejak berkuasanya Jenderal Suharto tahun 1966 yang praktis merupakan pemerintahan militer selama 32 tahun. Reformasi militer sejak reformasi tahun 1998 nampaknya masih mendapat banyak tentangan di dalam tubuh militer sendiri, sehingga dapat dikatakan mengalami kemandegan.
Ini terkait dengan kejatuhan rezim Suharto, tetapi bukan kejatuhan Orde Baru. Oligarki Orde Baru tetap berlanjut hingga kini lewat metamorfose baru, yaitu reformasi. Karenanya tepat bila disebut sebagai Orde Baru jilid dua. Oligarki kapitalisme rente tetap direproduksi dan mengalami regenerasi. Pusat-pusat kekuasaan politik dibagi bersama di antara kekuatan-kekuatan oligarki tersebut. KKN-nya masih sama, cuma dibagi rata di antara anggota oligarki. Nampaknya baik anggota sipil maupun militer berbagi kepentingan yang sama, dan karenanya mempertahankan sebuah cita-rasa ordebaruis yang sama. Mereka anak-anak Orde Baru yang mempertahankan kekuasaan neo-feodalistik dalam mengamankan asset-asset ekonomi dan bisnis yang sudah ada sejak Orde Baru. Karenanya mafia-mafia ini tetap mencoba bertahan dan bahkan ingin terus dominan dalam kekuasaan. Lihat saja partai-partai politik dan pecahan-pecahannya tetap melestarikan politik ordebaruisme yang sama.
Cuma perubahan reformasi juga sedikit banyak mendorong kelas borjuasi nasional, yang diwakili oleh naiknya Jokowi dan Ahok. Ini adalah borjuasi yang dihasilkan dari revolusi neoliberal di Indonesia sejak tahun 1980an, dan terutama reformasi tahun 1998 lewat intervensi IMF. Naiknya borjuasi baru ini membawa misi tata-kelola pemerintahan (good-governance) sebagaimana yang dibawakan oleh Bank Dunia. Jadi di sini kita menghadapi tatanan struktural yang sama, yaitu kapitalisme rente, yang coba dimodifikasi oleh borjuasi nasional baru ini dengan mengikis kekuasaan mafia-mafia oligarki Orba.
Hasilnya, pertempuran oligarki rente dengan borjuasi nasional tidak terelakkan. Inilah dasar penjelas dari tampilnya para jenderal Orba dan para ormas preman binaan oligarki Orba juga. Mereka sebenarnya sedang menyatakan peperangan mereka dengan pemerintahan Jokowi (dan Ahok) yang notabene memilih sebuah reformasi kapitalisme kepada kapitalisme modern dengan manajemen yang kompetitif dan inovatif. Inilah kontradiksi yang melibatkan jenderal-jenderal purnawirawan bersama peliharaannya para ormas preman oligarki Orba.
Reformasi di TNI, sesuai dengan teorinya Samuel Huntington mengenai kontrol sipil obyektif (objective civilian control), dimana sipil mengontrol militer dan menempatkan militer secara maksimal hanya sebagai militer profesional. Militer harus keluar dari politik, yang dalam reformasi TNI disebut 3R (Redefinisi, Reposisi, Reaktualisasi). Reformasi TNI ini mengambil tiga bentuk: (1) pemisahan antara fungsi pertahanan (tentara) dengan fungsi keamanan (polisi), dan bahwa polisi tidak lagi sebagai bagian dari tentara; (2) penghapusan peran sosial-politik militer, dimana tentara dan polisi tidak lagi mempunyai wakil di parlemen (baik nasional maupun daerah); (3) personil tentara dan polisi tidak lagi dapat memilih di dalam Pemilu. Apabila personil militer ingin bergabung di politik, maka harus berhenti terlebih dahulu. Meski demikian TNI masih mempunyai peran dalam urusan teritorial (Komando Teritorial/Koter) lewat pendekatan keamanan, yaitu dengan tetap dipertahankannya Kodam, Kodim, Koramil dan Babinsa. Serta lewat doktrin Sistem Keamanan Rakyat Semesta, yang diterjemahkan sebagai sistem “Total War”. Ini sebenarnya doktrin dari perang atas terorisme Amerika Serikat yang diadopsi TNI.Tetapi ada juga kegagalan reformasi TNI, yang dapat dilihat dari dua hal: (1) impunitas personil militer dari kejahatan-kejahatan di masa lalu (seperti kasus 65, Aceh, Papua dan lainnya) maupun sekarang (lewat praktik peradilan militer mereka sendiri, bahkan dalam kasus-kasus korupsi); dan (2) praktik bisnis militer yang tidak tersentuh, termasuk tiadanya akuntabilitas dan transparansi atas anggaran militer.
Bahkan, kini militer telah mulai bangkit kembali untuk mencoba mengambil hak-hak istimewanya di masa lalu. Ini dapat dilihat dari rencana dan tindakan militer untuk memperluas operasi intelijen mereka hingga ke tingkat kecamatan. Inisiatif program Bela Negara, termasuk intelijen kementerian Pertahanan, adalah bagian dari hal ini. Pihak militer juga menambah Kodam di Kalimantan dan Papua. Selain itu, mereka juga berinisiatif untuk menggolkan Undang-Undang baru untuk kepentingan militer, seperti UU Intelijen; RUU Keamanan Nasional, untuk membentuk Dewan Keamanan Nasional; RUU Cadangan Pertahanan, guna meningkatkan kewajiban militer; RUU Rahasia Negara; dan termasuk merevisi UU TNI. Juga adanya rancangan peraturan Presiden tentang struktur organisasi TNI dimana militer ikut serta dalam urusan keamanan, sehingga menduplikasi peran polisi. Juga ada sekitar 31 MOU antara TNI dengan lembaga-lembaga pemerintah, kementerian dan BUMN dalam hal urusan keamanan. Militer bahkan mulai masuk kampus, dengan ikut serta melakukan pelatihan kepada mahasiswa. Di lain pihak, militer tetap ikut intervensi dalam berbagai konflik pertanahan, pengamanan atas korporasi dan perusahaan bisnis.
Karenanya, ramainya jendral-jendral dalam membangkitkan histeria anti-komunis dan menghidupkan kembali hantu PKI tidak lepas dari upaya diatas. Ini adalah tetap militer ordebaruis yang terlibat dalam oligarki Orba, dan juga bagian dari mafia-mafia ikan, kapal, pasir, migas, hutan dan lain-lainnya, yang ingin mengamankan hak-hak istimewa mereka. Mereka melawan pemerintahan Jokowi dan manajemen kapitalisme modern-nya dengan kartu hantu PKI, hantu yang terus-menerus mereka pelihara.***