DI TILIK dari tingkatan praktisnya, ekonomi-politik Marxian dan ilmu-ilmu sosial secara umum kerap menghadapi kesulitan memantapkan dirinya sebagai sumber otoritas terbaik atas kebijakan-kebijakan sosial. Mereka kalah bersaing, misalnya, dengan otoritas politisi cum pemenang tender untuk menetapkan tata ruang kota yang sehat menurut perspektifnya. Sejarah pemikiran mencatat hal ini berakar dari watak objek kajian ilmu-ilmu sosial itu sendiri, yang tak lain adalah masyarakat manusia. Sukar rasanya bicara soal objektivitas dalam ilmu sosial bila mengingat bahwa seorang ilmuwan sosial juga adalah bagian, dibentuk, serta ikut membentuk objek penelitiannya sendiri.
Sebab kedua muncul dari watak sosial dan historis masyarakat. Berlainan dengan koleganya di cabang ilmu-ilmu alam, para pengkaji masyarakat manusia kesulitan melakukan proses pabrikasi eksperimen secara aktual pada objek kajiannya. Padahal, seperti yang diperlihatkan ilmu alam, proses ini penting untuk menciptakan serta menguji prakondisi-prakondisi apa saja yang diduga menyebabkan lahirnya satu fenomena. Tanpa pabrikasi kondisi eksperimental, masyarakat akan lebih sering menampak pada kita sebagai centang-perenang antar gejala yang tak pernah jelas sebab-musabab dan kesalinghubungannya. Khusus mengenai ketiadaan alat bantu berupa ‘laboratorium sosial’ ini, menarik menengok apa yang Marx lakukan untuk siasat menemukan esensi komoditas dalam kajian ekonomi-politik;
“[…]…keseluruhan tubuh lebih mudah dipelajari ketimbang sel-selnya. Terlebih lagi, dalam analisis atas bentuk-bentuk ekonomis, mikroskop ataupun pelarut kimia sama-sama tidak membantu. Kekuatan abstraksi mesti menggantikan keduanya. Akan tetapi, bagi masyarakat borjuis, bentuk-komoditas dari produk kerja, atau bentuk-nilai komoditas, merupakan bentuk-sel ekonomisnya. Bagi pengamat yang dangkal, analisis atas bentuk-bentuk ini tampak berurusan dengan detail-detail yang begitu kecil. Analisis tersebut faktanya memang berurusan dengan detail-detail kecil, sebagaimana apa yang dilakukan kajian anatomi mikroskopis.” (Marx, 1990: 90).
Tidak ada mikroskop yang dapat membantu mengamati pengambilan nilai-lebih, dan tidak ada larutan kimia yang dapat dipakai untuk memicu reaksi kesadaran kelas dalam ekonomi-politik. Apa yang kita warisi dari sejarah panjang ilmu ialah kekuatan abstraksi. Pengertian abstraksi (aphairesis/aphairein) mengacu pada proses mental/pemikiran untuk menyingkirkan hal-hal yang tidak esensial dalam fenomena—hal-hal yang tanpa kehadirannya, tidak akan mengurangi pemahaman kita atas fenomena, melainkan justru akan menampilkan esensi fenomena dalam bentuk terdasarnya. Lenin dalam Philosophical Notebooks di satu sisi menulis bahwa semua abstraksi ilmiah yang tepat akan membawa pemikiran menangkap alam secara lebih dalam, lebih benar, dan lebih utuh. Namun di sisi lain, ia juga mewanti-wanti bahwa laku abstraksi, bahkan dalam bentuk yang paling sederhana, adalah sarang idealisme. Ini yang ia jumpai pada Hegel ketika hasil dari abstraksi (konsep dan gagasan) diubah menjadi substansi dan prinsip penggerak realitas. Marx sendiri berkali-kali memperagakan proses abstraksi dalam karyanya. Tulisan ini akan memeriksa sendiri beberapa proses abstraksi yang Marx lakukan dalam dua sub-bagian pertama Bab Komoditas dalam Kapital.
Komoditas, kita tahu, adalah sebuah benda berguna (useful article). Ia dapat dibedakan satu sama lain persis dari watak kualitatif-nya. Sepasang sepatu dan segalon air mineral misalnya, memiliki perbedaan kegunaan satu sama lain sebab yang satu memiliki kualitas sebagai alas kaki dan yang lain sebagai pemuas dahaga. Kegunaan dari komoditas ini, memang bergantung pada konteks historis-kultural masyarakat, namun kendati begitu, konteks sosio-historis penggunaan komoditas pada akhirnya dikondisikan oleh sifat-sifat fisik dari komoditas itu sendiri. Segalon air mineral, dalam konteks historis-kultural masyarakat yang tidak kekurangan air minum bersih misalnya, bisa saja berguna sebagai sumber air untuk menyiram tanaman, sumber air wudlu, untuk mandi, atau justru digunakan sebagai alat perkusi; namun kegunaan segalon air mineral yang sama tidak akan dapat berguna sebagai alas kaki sejauh air dan galon yang menyusun material dari air galon mineral belum dapat dibentuk sebagai sendal atau sepatu.
Ketika sepasang sepatu dan segalon air mineral yang sama dipertukarakan entah dalam bentuk proporsi satu sama lain (sepasang sepatu = 4 galon air mineral) atau dalam bentuk moneternya (sepasang sepatu = Rp. 100.000,-) komoditas diukur bukan lagi berdasar pada aspek kualitatif, melainkan aspek kuantitatif-nya. Mengapa harus kuantitatif? Karena kuantitas adalah aspek benda yang melaluinya komoditas dapat diukur dan disetarakan. Kita tidak bisa mengukur dan menyetarakan kualitas-kualitas; ‘kenyamanan’ tidak dapat diseukurkan, disetarakan, dengan ‘kesegaran’ ataupun ‘keindahan’ misalnya. Pertukaran tidak terjadi dalam kerangka kualitatif. Artinya, dalam pertukaran, komoditas tidak lagi dilihat dari bentuk-bentuk, sifat berguna, dan penyusun materialnya. Pertanyaannya bukan lagi apa kegunaan atau bagaimana cara membikin komoditas. Pertanyaan yang kita ajukan dalam setiap pertukaran komoditas ialah berapa banyak kuantitas yang mesti kita berikan untuk mendapatkan komoditas tersebut; berapa banyak proporsinya dengan komoditas yang kita miliki (dalam bentuk pertukaran sederhana) atau berapa banyak uang yang mesti kita berikan (dalam transaksi di Alfamart). Persoalan penentuan proporsi dan harga—soal keseukuran—dalam pertukaran komoditas inilah yang kemudian membelah ilmu ekonomi ke dalam dua kutub besar, teori nilai-kerja dan teori nilai-utilitas. Marx, seperti yang kita tahu berada di kutub pertama lewat penemuan konsep kerja abstrak (abstract labour) sebagai tanggapan atas konsep kerja yang menubuh (embodied labour) Ricardo. Mari kita lihat bagaimana Marx sampai pada konsep ini lewat kalimat yang saya kutip agak panjang berikut:
“Kalau kita abaikan nilai-guna komoditas, hanya satu sifat yang tersisa, yakni sifat sebagai produk kerja…Apabila kita abstraksikan komoditas itu dari nilai-gunanya, kita juga abstraksikannya dari konstituen material dan bentuk yang membentuknya jadi suatu nilai-guna. Komoditas itu bukan lagi sebuah meja, rumah, gulungan benang, atau benda berguna apapun. Segenap ciri indrawinya telah dilenyapkan. Tidak juga komoditas itu adalah produk kerja sang tukang kayu, tukang bangunan, penenun, atau jenis kerja produktif apapun. Dengan lenyapnya watak berguna dari produk kerja, watak berguna dari jenis kerja yang menubuh di dalamnya juga lenyap. Hal ini pada gilirannya, mengakibatkan lenyapnya perbedaan di antara bentuk-bentuk konkrit kerja. Kerja-kerja itu tak lagi bisa dibedakan, semuanya direduksi ke satu jenis kerja yang sama: kerja manusia secara abstrak” (Marx, 1990: 128).
Apabila dalam proses pertukaran komoditas, sifatnya sebagai benda berguna (kualitatif) disingkirkan untuk memberi jalan pada aspek kuantitatifnya—agar proporsi antar komoditas dimungkinkan—maka dalam analisis atas proses produksi komoditas, kerja yang membentuk aspek kualitatif komoditas juga mesti dikesampingkan agar kerja yang membentuk aspek kuantitatif komoditas dapat menjelaskan nilai-tukar (exchange-value) antar komoditas. Nilai-tukar harus diingat sebagai bentuk penampakan (form of appearance) nilai (value) dalam pertukaran. Oleh karena itu, kerja yang menyusun nilai-tukar tak lain adalah kerja yang mengkonstitusikan nilai. Watak ganda kerja yang menubuh dalam komoditas inilah yang hadir dalam bentuk kerja berguna/kerja konkret (concrete labour) dan kerja abstrak (abstract labour).
Sampai di sini, proses abstraksi adalah proses penyisihan aspek-aspek kualitatif dari komoditas (nilai-guna) dan kerja (kerja konkret). Keduanya tidak lagi dibedakan lewat aspek kualitatifnya, malah justru disetarakan lewat aspek kuantitatif. Ada dua hal yang perlu dijernihkan di sini. Pertama, apakah dengan menjelaskan watak ganda ini artinya Marx hendak mengatakan bahwa hanya ada dua jenis kerja ini yang menjadi pembentuk komoditas secara aktual? Hemat saya, tidak. Yang hendak ia jelaskan dari watak ganda ini ialah mirip seperti apa yang terjadi dalam proses pertukaran; aspek kualitatif (kerja-konkret) mesti direduksi ke yang kuantitatif (kerja-abstrak) untuk menemukan sarana pengukur nilai komoditas. Yang kualitatif dikondisikan dan justru hanya bisa dijelaskan lewat yang kuantitatif. Kedua, mengapa hanya kerja abstrak yang dapat digunakan sebagai sarana pengukur nilai? Jawabnya karena kerja abstrak dimengerti Marx sebagai pencurahan sejumlah kerja manusia yang homogen (yaitu dari tenaga-kerja) terlepas dari bentuk pencurahannya. Konsep tenaga-kerja (labour-power) ini penting karena dalam kapitalisme yang dijual pekerja-upahan bukan ‘kerja’-nya, bukan juga hasil kerja-nya, melainkan hanya ‘kapasitas kerja’-nya atau tenaga-kerja nya saja yang mewujud dalam bentuk waktu kerja. Lewat penjualan tenaga-kerja dalam bentuk waktu kerja ini, maka kerja manusia secara umum dapat dihomogenisasi, dapat dirata-rata secara sosial. Dari pengertian watak ganda kerja yang menubuh dalam komoditas ini maka Marx menalar bentuk-bentuk kerja konkret seperti menulis, menjahit, atau menyablon lewat bentuk kerja abstraknya, yakni unit rata-rata waktu kerja yang dibutuhkan secara sosial (social necessary labour time). Seorang pekerja yang malas karena itu tidak menambah nilai ke dalam komoditas hanya karena kerjanya yang lambat. Sedangkan suatu kerja berkeahlian (memiliki kualitas tinggi) juga dapat direduksi pada waktu kerja sosial sejauh kerja berkeahlian dipandang sebagai kerja-kerja sederhana yang mengalami intensifikasi dan multifikasi terus-menerus.
Proses abstraksi Marx atas komoditas menangkap esensi dengan cara membuka adanya dua aspek dari komoditas sebagai jalan masuk untuk watak ganda kerja yang mengkreasikannya. Baik komoditas maupun kerja yang menciptakannya dipilah Marx ke dalam kategori kualitatif dan kuantitatif. Dalam menganalisis aspek kualitatif-kuantiatif komoditas dan kerja ini, Marx selalu menyisihkan aspek kualitatif untuk menemukan, lalu menyandarkan analisis pada aspek kuantitatif-nya. Apakah dengan melakukan abstraksi Marx kemudian berpulang ke Hegel? Yang menarik dari segala demonstrasi proses abstraksi Marx atas komoditas ialah bahwa abstraksi atas komoditas bukan sesuatu yang berjalan dalam penalaran sang peneliti saja, yakni Marx, melainkan juga proses abstraksi yang sungguh terjadi dalam masyarakat sipil—proses abstraksi ini justru dimungkinkan oleh bentuk ekonomis masyarakat kapitalis dan apa yang Marx lakukan hanyalah membawa abstraksi fisik ini ke semesta mental. Ini yang terlihat dari penyisihan nilai-guna dalam pertukaran komoditas dan pengesampingan atas kualitas-kualitas kerja dalam proses produksi komoditas; dalam pertukaran apa yang menjadi patokan adalah nilai-tukar (atau harga, dalam bentuk moneternya), sedang dalam proses produksi komoditas dipatok lewat waktu-kerja rata-rata sosialnya (delapan jam misalnya). Ini berarti kategori-kategori ekonomis yang Marx telurkan dalam proses abstraksi komoditas tidak berlaku di sepanjang zaman, ia terbatas pada objek kajiannya saja, yakni cara produksi kapitalis. Secara historis, munculnya kategori kerja abstrak hanya dimungkinkan lewat terciptanya kerja-upahan hasil dari separasi produsen dan sarana produksinya, serta berkembangnya teknologi produksi yang mampu menghasilkan komoditas jauh lebih cepat dibanding perkembangan teknologi pra-kapitalis.***