JADI begini Jendral, saya sedang menggali tanah di kebun, lalu saya menemukan tengkorak manusia, jumlahnya banyak, sekitar dua puluhan. Saya akan ke kantor polisi terdekat dan melapor. Tentu saya deg-degan karena saya belum pernah berurusan dengan polisi kecuali untuk melaporkan kehilangan KTP. Saya bayangkan polisi akan duduk di depan mesin ketik, yang wow sekali karena di tengah generasi digital ini, hanya polisi yang layak dipuji konsistensinya dalam menggunakan mesin ketik.
’Apa temuan ini sudah tayang di koran?’ Pak polisi bertanya pada saya. Ternyata dia ganteng.
Tentu dia tidak bertanya seperti itu. Adegan paling logis selanjutnya adalah pak polisi ganteng segera angkat kaki menuju kebun saya–dan mungkin saya harus ke salon sebelum ketemu dengannya. Polisi ganteng akan menggali seantero kebun pakai sarung tangan, mengambil sampel dan semua kerangka manusia beserta yang melekat, bahkan pohon mangga saya diambil katanya untuk bukti. Tentu bukan untuk menangkap saya dengan tuduhan mengganggu ketertiban dan meresahkan masyarakat–nggak mungkin kan, saya yang keren dan banyak follower ini kan generasi Pancasilais dan lulus penataran P4 5×36 jam. Tapi bayangkan, hebohnya seluruh kecamatan saya ini, karena dalam satu lubang ada dua puluh sampai tiga puluh kerangka.
Jenderal, Anda bisa bayangkan bagaimana ngerinya saya. Soal tersangka kopi sianida saja bisa meroket jadi trending topic di seluruh Indonesia dan dibahas berminggu-minggu dengan segala teori konspirasinya. Bagaimana nasib saya yang punya kuburan masal di kebun? Terus terang saya nggak siap ngetop, lalu diawasi 24 jam–karena setahu saya polisi sangat sigap memantau televisi untuk menemukan komentar sumbang tentang Pancasila yang keluar dari mulut seorang artis dangdut. Jadi sungguh saya takut ngetop lantaran melapor keberadaan kuburan masal di kebun saya, dan tentu saja takut dituduh sebagai pembunuhnya. Mosok iya kalau saya melaporkan penemuan di kebun belakang rumah, lalu polisi akan bilang, tidak ada bukti dan Anda akan kami tahan? Plus, bukan saya dong yang harusnya investigasi, mengumpulkan cerita-cerita dari tetangga, dari kakek-nenek teman-teman satu sekolah, untuk mengetahui apa yang terjadi sesungguhnya di kebun saya itu, itu kan tugasnya negara. Mengerjakan Ujian Nasional saja nggak bisa pakai joki, apalagi penyelidikan atas pembunuhan 500.000` orang di seluruh Indonesia.
Untungnya Pak polisi ganteng sangat bijaksana mengecek kumpulan selfie saya dan menyimpulkan bahwa pada 1965, saya belumlah lahir.
Jenderal ini gimana sih? Semua gerakan labil yang mengancam stabilitas nasional saja kan bisa Anda ketahui, apalagi kuburan massal dari tahun 1965 yang tersebar di seluruh Indonesia dari Sumatra sampai pulau Sabu, dari yang masih kebun sampai yang sudah jadi resort di Bali. Jadi saya bayangkan kalau semua follower saya juga melaporkan ada kuburan massal di kebun mereka, polisi dan tentara yang ganteng dan sangat berbakti pada Indonesia, meskipun gajinya kecil ini, tentu akan sangat sibuk. Sekadar informasi, saya tidak bekerja untuk pabrik plastik, tapi saya ingatkan bahwa polisi akan kekurangan plastik kuning yang tulisannya ‘garis batas polisi’ untuk menandai Tempat Kejadian Perkara. Sungguh seluruh Indonesia harus dikelilingi batas kuning ini seperti halnya semua selfie juga akan berlatar belakang pita kuning.
Jenderal, masih ingat bagaimana polisi ganteng menjadi model tas dan sepatu di Sarinah? Itu kan #SalahFokus banget. Oh iya, berapa banyak yang selfie-selfie di depan garis batas polisi selama peristiwa bom Sarinah? Kita positif saja ya, Jenderal. Andaikata semua kuburan massal digali, bayangkan betapa besarnya proyek ini beserta nilai anggarannya: satu item anggaran pita kuning saja sudah luar biasa mahal, belum lagi ahli-ahli forensik muda dan ganteng yang akan dihasilkan dari pelatihan ala CSI atawa Crime Scene Investigation di televisi. Jadi saya sungguh mendukung proyek ini, tentu saja saya usul bukan karena ini tuntutan luar negeri, apalagi tuntutan Hollywood, tentang pegungkapan kebenaran dan rekonsiliasi.
Jenderal, kembali ke kebun saya. Sampai sekarang belum ada pihak yang minta maaf–apa mungkin karena hanya bisa minta maaf waktu lebaran dan sekarang belum lebaran? Tapi bukannya sudah 50 kali lebaran dan tetap tidak ada yang minta maaf? Meneliti pembunuhan ini lama sekali, saya tidak tahu kenapa, sampai lima puluh tahun, jadinya banyak prasangka dan kabar buruk, saling menyalahkan, sementara saya jadinya tidak punya kebun. Sampai bikin simposium untuk mengumpulkan pihak-pihak yang terlibat di hotel mewah, meskipun ini juga usaha yang baik, daripada saling bergunjing di belakang, atau saling mengomentari di media sosial.
Keluarga korban sampai saat ini masih menunggu dengan sabar dan tanpa dendam, hanya ingin diakui bahwa kejadiannya sungguh-sungguh ada, pelaku mengakui kesalahannya supaya kita semua bisa move on, apalagi bagi generasi digital yang mungkin hanya melek status, gerakan move on sudah menjadi institusi nasional. Namun move on butuh adanya pengakuan atas kejahatan dan minta maaf.
Atau mungkin saya akan ke polsek lagi, membuat laporan kehilangan, kehilangan harga diri sebagai bangsa selama 50 tahun.***