Satus Sejarah Papua Menjadi Isu Internasional
SEJARAH panjang konflik Papua dan Indonesia kini bukan lagi menjadi urusan domestik. Isu Papua telah menjadi isu regional Melanesian Spehead Group (MSG). Isu Papua terus diinternasionalisasikan oleh aktivis pro kemerdekaan Papua melalui Forum Sub Regional Pacific Island Forum (PIF), bahkan telah menjadi perhatian publik internasional saat ini. Seriusnya isu Papua ini dapat dilihat pada Agenda MSG, dimana isu Papua selalu menjadi mine isue (isu utama) dalam berbagai pertemuan sejak 2010-2016. Lalu apa sesungguhnya akar persoalannya konflik Papua dan pemerintah Indonesia? Akar persoalan sesungguhnya adalah status sejarah yang dipahami berebda antara rakyat Papua dan Pemerintah Indonesia.
Akar konflik Papua selama ini diabaikan oleh pemerintah Indonesia dengan mendefinisikan konflik Papua sebagai konflik kesejahteraan, bukan konflik politik. Para ilmuan juga ikut memberi legitimasi intelektual melalui hasil penelitian mereka. Dr. Muridan misalnya, mendefenisikan faktor penyebab konflik Papua ke dalam empat faktor. Faktor pertama adalah kesenjangan sosial; kedua, kegagalan pembangunan; ketiga eksploitasi sumberdaya alam, dan yang terakhir adalah faktor status sejarah (PEPERA).
Sementara di sisi yang berbeda orang Papua mengangap Act Of Free Choice atau yang dikenal dengan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA), cacat secara hukum dan secara moral. Bagi masyarakat Papua, pemerintahan sementara PBB yang diberi nama UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority) tidak menjalankan misi sesungguhnya sesuai dengan perjanjian New York (New York Agreement). Berikut ini kutipan point Perjajian New York tersebut:
Indonesia will make arrangments, with assistance and participation of the Unitated NationNations Representative and his staff, to give the people of the territory, the opportunity to exercise freedom of choice. Such arrangements will include:
- Consultation with the representative councils on procedures and methods to be fellowed for ascertaining the freely expressed will of the population.
- The determination of the actual of exercise of free choise within the period stablished by the present Agreement
- Formulations of the questions in such a way as to permit inhibitans to decide (a) wheter they wish to remain with Indonesia; or (b) wheter they wish to sever teis with Indonesia.
- The eligibility of all adults, male and female, not foreing national to participate in the act of self-determination to be carried out in accordance with international practice, who are residents at the time of the singnig of the present Agreement,including those residents who departed after 1945 and who returned to the territory to resume residence after the termination of Nederlands administration.
Dalam pandangan orang Papua, pelaksanaan PEPERA tidak sesuai dengan Perjanjian New York, yang mengharuskan pemilihan secara bebas dan terbuka yang melibatkan semua orang Papua, termasuk anak-anak yang usianya telah memenuhi syarat. Dalam praktiknya, Pemerintah Indonesia hanya melakukan konsultasi dengan Dewan Kabupaten di Jayapura tentang tatacara penyelenggaraan PEPERA pada tanggal 24 Maret 1969. Kemudian diputuskan membentuk Dewan Musyawarah PEPERA (DMP) dengan anggota yang berjumlah 1026 anggota dari delapan kabupaten, yang terdiri dari 983 pria dan 43 wanita. Yang mana, para anggota DMP itu ditunjuk langsung oleh Indonesia (Tidak melalui Pemilihan Umum di tiap-tiap Kabupaten) dan di bawah intimidasi serta ancaman Pembunuhan oleh Pimpinan OPSUS (Badan Inteligen KOSTRAD) jenderal Ali Murtopo.
Bedasarkan fakta penentuan jejak pendapat yang dilakukan oleh UNTEA dan Indonesia yang hanya memobilisasi perwakilan dari beberapa suku tersebut, maka oleh masyarakat hal itu dianggap tidak demokratis, serta tidak mewakili aspirasi masyarakat Papua secara keseluruhan. Selain itu, pemilihan dilakukan di bawah intimidasi Militer. Meski begitu, bagi Pemerintah Indonesia, PEPERA adalah kontrak sosial (Social Contract) masyarakat Papua yang sudah final dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Babak Baru Perjuangan Papua Dan Pelanggaran HAM di Era Indonesia
Status Papua memasuki periode perjuangan baru, yakni menjadi bagian resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Walaupun hasil PEPERA telah memasukkan Papua ke dalam Pemerintahan Indonesia, namun hal itu tidak secara langsung menghentikan niat Papua untuk Merdeka. Gelombang protes terus dilakukan oleh tokoh-tokoh intelektual dan tokoh masyarakat Papua. Sejak 1962 hingga saat ini, gelombang protes terkait hasil Pepera terus dikumandangkan. Merespon gelagat Papua merdeka yang kian meningkat, Pemerintah tidak mengunakan pendekatan diplomasi dan komunikasi melainkan pendekatan keamanan. Pada era Soeharto hingga Era SBY, pemerintah secara berkelanjutan melakukan pendekatan militer (military approach), yang berakibat terjadinya pelanggaran HAM serius di tanah Papua.
Dampak pendekatan militer yang dominan pada beberapa kasus, menciptakan efek yang meluas. Kasus Wasior berdarah pada tahun 2001, kasus Wamena berdarah Tahun 2003, hingga kasus pembunuhan serta penculikan lainnya adalah fakta kekerasan Negara di Papua. Kekerasan tidak menyurutkan perlawanan masyarakat Papua. Kongres Papua II adalah puncak dimana kegundahan dan amarah rakyat terhadap kekerasan Negara, mendorong masyarakat yang tergabung dalam berbagai elemen perjuangan melakukan kongres terbuka untuk menyatakan sikap politiknya untuk merdeka. Keinginan rakyat Papua untuk mendeklarasikan kemerdekaan tidak tercapai melalui kongres Papua II, namun kongres Papua II merekomendasikan Tim 100 untuk bertemu presiden B.J. Habibie. Jawaban pemerintah terhadap aspirasi Tim 100 yaitu Otonomi khusus sebagai solusi alternatif atas tuntutan kemerdekaan rakyat Papua. Pasca Kongres Papua II, tokoh Papua Theys Hyo Eluay dibunuh oleh orang diduga adalah anggotan Kopassus.
Theys dibunuh, namun ada yang lebih spesial diberikan, UU Nomor 21 Tentang Otsus Papua diberlakukan. Provinsi Papua dimekarkan menjadi dua Provinsi, yakni provinsi Papua dan Provinsi Irian Jaya Barat. Beberapa Kabupaten dan Kotamadya juga ikut dimekarkan untuk mempercepat pembangunan di tanah Papua. Pemerintah pusat memberikan status kekhususan dengan melimpahkan kewenangan dan keuangan yang mencapai 30 Triliun per tahun bagi rakyat Papua. Bagi pemerintah NKRI, tuntutan Papua merdeka dilakukan karena disparitas, eksploitasi sumberdaya alam dan berbagai ketimpangan sosial lainnya. Oleh karena itu, melimpahkan semua kewenangan, melimpahkan semua uang ke Papua adalah solusi efektif. Semua kebijakan spesial Negara tampaknya tidak memadamkan api tuntutan kemerdekaan Papua. Walaupun semua unsur pimpinan di Papua adalah Putra Daerah, aspirasi Papua mereka tetap berkumandang.
Justru di era Otsus lah aspirasi Papua merdeka menemukan jalan dan bentuk yang sesungguhnya. Gelombang protes semakin masif di era Otsus. Komite Nasional Rakyat Papua Barat (KNPB), Gerakan Demokratic Rakyat Papua (GARDA), Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Gerakan Pemuda dan Rakyat Papua serta berbagai elemen sipil lainya menjadi aktor di garis depan tuntutan Papua merdeka. Gerakan sipil Papua ini semakin menyesuaikan diri dengan teknologi komunikasi, berbagai instrumen media (koran online) digunakan sebagai alat pembentukan opini. Tidak hanya itu, aktivis Papua yang melarikan diri ke Eropa, Belanda, Inggris, Australia, Amerika dan Pasifik semakin solid dalam oraganisasi United Liberation Movement For West Papua (ULMWP), yang membuat internasionalisasi isu Papua kian meningkat. Diplomasi aktivis Papua di berbagai belahan dunia berhasil memenangkan opini dan perhatian publik. Pemimpin politik, pemimpin pemerintahan serta berbagai organisasi sipil di Australia, Inggris, Amerika, Belanda, Vanuatu menujukkan solidaritas tinggi terhadap isu pelanggaran HAM di Papua.
Meskipun dianggap melangar HAM karena pendekatan militer yang dominan, pemerintah Indonesia tidak pernah mengubah pendekatannya. Menghancurkan kelompok kiri adalah cara satu-satunya, sebab konsistensi negara adalah hal yang mutlak. Marko Tabuni ditembak sebagai bentuk penunjukkan eksistensi Negara di Papua. Permintaan dalog oleh rakyat Papua tidak pernah digubris. Bagi Negara Indonesia, baik era Pemerintahan SBY hingga Jokowi-JK, dialog adalah melaksanakan janji pemilu. Rel kereta akan dibangun di Papua, pembanguan berbagai sarana-prasarana adalah bentuk dialog yang konkret. Sementara tuntutan Papua merdeka dianggap aspirasi segelintir orang.
Gerakan Papua merdeka yang diabaikan Pemerintah itu, justru semakin solid mengkonsolidasikan seluruh kekuatan masa rakyat Papua. Terbukti KNPB berhasil memobilisasi kekuatan masa (people power) untuk melakukan demonstrasi di seluruh Papua. Di kawasan Pacifik, para aktivis Papua yang menjadi buruan Polda Papua berhasil memenangkan opini publik dan mendapat simpati yang luas dari masyarakat pasifik. Solidaritas Melanesia untuk Papua merdeka semakin massif. Ini bukti bahwa ketika pemerintah mengabaikan perjuangan Papua, gerakan Papua semakin menunjukan eksistensinya di kawasan regional Melanesia.
Bukti lain keberhasilan diplomasi Papua adalah masuknya United Liberation Movement For West Papua (ULMWP) sebagai observer di MSG. Keberadaan ULMWP dalam MSG semakin memperkuat posisi mereka untuk menyatakan aspirasi politik rakyat Papua. Dinamika politik dikawasan Pasifik semakin menarik dengan masuknya ULMWP sebagai istrumen politik rakyat Papua. Sementara Pemerintah Indonesia, yang selama ini mengutamakan Eropa dan Amerika dalam politik luar negerinya, saat ini mengubah orientasi dan konsentrasi diplomasi penuh terhadap Negara-negara kawasan Pasifik.
Gambar diambil dari westpapuaactionauckland.wordpress.com
Menuju MSG Solusi Masalah Papua
Persoalan Papua kini bukan lagi masalah domestik. Bukan lagi soal ketimpangan pembangunan. Saat ini masalah Papua sesungguhnya adalah masalah sengketa status sejarah yang menimbulkan pelangaran HAM berat. Fakta pelangaran HAM berat selama ini di Papua telah menarik perhatian sudara/i Melanesia yang tergabung dalam MSG. Ruang penyelesaian Papua tidak memungkinkan lagi untuk diselesaikan secara domestik antara Papua dan Pemerintah Jakarta, sebab selama ini pemerintah benar-benar mengabaikan aspirasi rakyat Papua dan mendekatinya dengan kekerasan militer. Pendekatan pembangunan terus dipaksakan sebagai solusi utama isu politik Papua, namun faktanya otsus gagal dan hanya uang yang diberikan sementara kewenangan penuh untuk memproteksi orang asli Papua ditahan.
Masuknya ULMWP sebagai observer di dalam MSG tentu adalah keberhasilan diplomasi aktivis pro-kemerdekaan rakyat Papua di Pasifik. Kehadiran ULMWP semakin membuktikan kepekaan spirit regionalisme yang sedang dikonsolidasikan. Munculnya regionalisme baru di berbagai belahan dunia dengan tujuan dapat mengatasi permasalahan bersama anggotanya yang berada di satu zona wilayah dan zona sosial kultural yang sama. Regionalisme (MSG) dalam awal pembentukanya telah memberikan konsentrasi terhadap isu Papua merdeka, ini adalah wujud aplikasi nyata daripada spirit regionalisme dalam konteks politik. Namun dalam prosesnya, dinamika politik MSG tidak lagi menjadi objektif. Lobi-lobi politik Indonesia kepada anggota MSG terkait isu Papua, membuat sebagian anggota MSG, seperti PNG, tidak lagi objektif terhadap konflik dan pelangaran HAM Papua.
Lobi politik Indonesia dan lobi politik ULMWP terus berlanjut dalam agenda-agenda Meeting MSG. Masing-masing berhasil memenangkan opini anggota (members) MSG. Agenda MSG mengenai persoalan Papua tetap dijadikan isu dominan dalam pembahasan agenda regional. Yang menarik, dalam pertemuan lanjutan pada Juni 2016, awalnya Indonesia menolak kehadiran ULMWP dalam pertemuan para menteri dan pejabat senior yang diselenggarakan di Lautoka, Fiji pekan ini. Indonesia awalnya keberatan karena Papua telah diwakili delegasi Indonesia versi Pemerintah. Pertemuan Para Menteri Luar Negeri Negara-Negara MSG minggu 16 juni 2016 di Fiji telah mendudukkan Indonesia dan West Papua (ULMWP) satu meja untuk membahas status keanggotaan keduanya untuk menjadi anggota penuh MSG. Fiji dan PNG (terutama menteri luar negerinya) menyatakan mendukung Indonesia. Sementara, Vanuatu, Solomon Islands, dan FLNKS akan mendukung ULMWP menjadi anggota penuh MSG. Keputusan politik ada di pertemuan Pemimpin Negara-negara yang tergabung dalam MSG pada tanggal 14 Juli 2016 di Honiara.
Menjelang pertemuan MSG 14 Juli mendatang di Honiara, lobi-lobi politik Pemerintah Indonesia kian intens di Pasifik. Lobi politik Indonesia by money serta bantuan pembangunan terus dilakukan terhadap negara-negar anggota MSG. Perang terbuka diplomasi Indonesia vs ULMWP di MSG akan menjadi catatan sejarah penting, menjadi babak baru dalam periode diplomasi RI terhadap politik Papua. Di sisi lain ini adalah sejarah yang tak pernah terjadi sebelumnya dalam gerakan pembebasan rakyat Papua. Dalam sejarah diplomasi gerakan Papua merdeka ini adalah masa penting, sebab isu Papua untuk pertamakalinya menjadi agenda politik luar negeri sebagian negara anggota MSG dan berhasil dibahas dalam forum regional.
Dalam sejarah diplomasi Papua dan Indonesia, ini adalah diplomasi yang berbeda. Indonesia adalah aktor Negara dalam hubungan Internasional yang melakukan diplomasi dengan pendekatan government to government. Pendekatan yang dilakukan Indonesia adalah pendekatan legal formal di tingkatan negara. Tawaran bantuan pembangunan berupa sumbangan pendidikan, bantuan dana infrastruktur, bantuan ekonomi (uang) menjadi istrumen utama dalam diplomasi Indonesia. Berbeda dengan pihak ULMWP, lobi-lobi politik yang dilakukan yaitu people to people atau kampanye dari rakyat ke rakyat, kampanye solidaritas yang dilakukan para aktivis Papua selama puluhan tahun di Pasifik sehingga berhasil membentuk opini umum masyarakat Melanesia. Kekuatan solidaritas ini berhasil mempengaruhi sikap politik elit negara-negara kawasan Pasifik. Ini adalah diplomasi unik karena mempertemukan gerakan sosial versus negara.
Yang penting dalam konteks ini bukanlah kemenangan diplomasi atau lobi-lobi politik, melainkan bagaimana mengakhiri konflik politik yang berkepanjangan di tanah Papua. Secara diplomasi, Indonesia lebih unggul dengan intsrumen militer, ekonomi (uang) yang begitu banyak sehingga sangat mungkin mengubah sikap politik negara-negara anggota MSG. Namun yang lebih penting adalah kasus Papua menjadi ujian bagi MSG yang saat ini sedang mengonsolidasikan suatu regionalisme atau blok baru dalam kawasan Pasifik. Jika Negara-negara anggota MSG dapat secara objektif dan rasional memutuskan status Papua berdasarkan fakta politik, ekonomi, HAM yang terjadi di Papua, maka inilah manfaat dari dibentuknya suatu regionalisme baru. Kasus Papua menjadi ajang ujian bagi MSG untuk mencapai institusi regional yang bisa memberi manfaat bagi rakyat negara-negara anggotanya.
Jika Negara-negara anggota MSG memutuskan persoalan Papua secara subjektif karena lobi politik ekonomi dan suap yang dilakukan pemerintah Indonesia, maka Melanesian Spehead Group (MSG) tak ubahnya seperti forum regional lainnya yang memainkan retorika isu pelangaran HAM dan kemanusian sebagai instrumen untuk transaksi kepentingan ekonomi politik mereka. Indonesia sebagai negara juga perlu menjaga citra dan wibawa negara dengan tidak memainkan politik uang dalam proses lobi-lobi politik di kawasan Pasifik.***
Penulis adalah pengamat Hubungan Internasional & Pegiat Sosial di Papua