SUARA itu bulat, menggelegar. ‘Saudara-saudaraku, ailopyu!’
Seorang polisi menguap begitu lebarnya dalam durasi lompatan maksimal Michael Jordan di udara sehingga terlihat seperti hendak memakan kawat berduri di hadapan barisan kesatuannya.
‘Bapak-bapak polisi, ailopyu!’
Seorang polisi lain menguap, tapi tidak terlalu lebar karena si empunya kuap terlihat berusaha keras menahan agar mulutnya tak terlalu menganga sampai-sampai sebelah matanya menyipit.
Sumber suara mulai terlihat. Beliau menenteng beberapa lembar kertas dan mikrofon di tangan kirinya. Tangan kanannya menunjuk-nunjuk langit dan massa di hadapannya. Di kepalanya bertengger kupluk haji warna putih. Matahari depan Istana Merdeka menjelang siang 3 Juni 2016 pastilah sedang sengit-sengitnya, panas dan menyilaukan, hingga beliau merasa perlu memakai kaca mata hitam yang aduhai.
‘Saudara-saudaraku sekalian, komunis adalah berasal dari pemikiran monyet Darwin! Namanya adalah Thomas Darwin.’ Dari barisan massa, terlihat beberapa bocah laki-laki dan perempuan mengusung poster bertuliskan ‘Apel Siaga Nasional: Tegakkan Tauhid, Tumpas PKI.’ Juga sekelompok pria dewasa yang membentangkan empat spanduk. Salah satu spanduk itu berbunyi, ‘Ganyang semua pendukung PKI.’
Beliau lalu mengarahkan telunjuk ke hidung atasnya. Mungkin lantaran sedikit gatal. Sedikit gerakan sejenis garukan membuat kacamata hitam yang beliau pakai seketika bergoyang-goyang, hampir jatuh. Sekilat gerakan koboi menembak, beliau membenahi posisi kacamatanya. ‘Monyet Darwin mengatakan, bahwasanya alam semesta ini tidak ada penciptanya. Jadi dengan sendirinya! Na’udzu billah tsumma na’udzu billahi min dzalik.’
‘Dan monyet Darwin mengatakan bahwasanya, manusia berasal dari monyet,’ lanjut beliaunya. ‘Berarti komunis itu, pengikut Darwin adalah Mo?’
‘Nyeeet!’ koor massa pendukung beliau.
Pemilik suara cukup menggelegar itu benama Rayhan. Beliau salah satu pentolan relawan Gubernur Muslim untuk Jakarta.
‘Pemikiran Thomas Darwin, atau Monyet Darwin, diteruskan oleh Karel Marx dan Prederik Enjel, sebagai pencetus PKI, eh, komunis, setelah Darwin.’
Aksi Pak Raihan ini diabadikan oleh videografer Lexy Rambadetta, diunggah di kanal Youtube Jakartanicus. Video bertajuk ‘Gubernur Muslim: Komunis Berasal Dari Darwin’ itu dengan cepat menyebar dengan alasan yang kurang baik bagi Pak Raihan sendiri.
Empat hari kemudian, organisasi Islam lainnya gantian bikin heboh. Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), melalui sekretatis jenderalnya, Jafar Hafsah, atau Jafar Hafsah atas nama ICMI, mendesak pemerintah memblokir Google dan Youtube.
‘YouTube dan Google sama saja dengan konten pornografi sehingga layak untuk diblokir. Jutaan konten pornografi dan kekerasan ada di situs tersebut,’ kata Jafar melalui keterangan tertulisnya kepada beberapa media di Jakarta. ‘Pemberantasan konten internet harus secara revolusioner, termasuk dengan menutup YouTube dan Google.’
ICMI, organisasi yang punya panggung cukup luas di paruh akhir kekuasaan Orde Baru, akhirnya kembali merebut perhatian publik setelah nyaris dua dekade ibarat museum tak terawat yang tak dianggap. Tapi perhatian ini datang dengan alasan yang agak ganjil. Jika di sepertiga akhir pemerintahan Soeharto ICMI selalu muncul di televisi atau koran-koran dengan citra suci bak malaikat yang turun ke bumi, dengan mantra IMTAQ dan IPTEK, kali ini ia dipergunjingkan karena dianggap mengganggu seperti penjaja obat kuat berwara-wara di tikungan desa yang kebanyakan warganya menderita penyakit kulit.
ICMI langsung jadi trending topic di Twitter. Subhanallah, ini yang pertama terjadi dalam sejarah ICMI. Kebanyakan warga Twitter menggugat kecendikiawanan orang-orang ICMI, kok bisa lembaga itu begitu gegabah menuntut pemblokiran Google dan Youtube karena dianggap menyebarkan konten porno? Tak tahukah bapak-bapak cendikiawan ICMI bahwa Youtube dan Google bukan penyedia konten melainkan layanan untuk berbagi konten video dan mesin pencari? ‘Padahal saya jadi tahu ICMI itu apa barusan berkat Google,’ kata pemilik akun @Fachrihz.
Jafar merujuk usulnya pada keberhasilan China menendang bokong Google. ‘Saya yakin, inovator Indonesia mampu membuat mesin pencari syang lebih baik. Tentu dengan dukungan pemerintah,’ kata beliaunya.
Tapi apa yang dilakukan China tidak berangkat dari keinginan impulsif atau kekesalan sesaat atas keadaan atau—lebih parah lagi—pemahaman cetek mengenai internet. China sejak awal tahu apa yang mereka lakukan dan bagaimana melakukannya dengan benar. China mempersiapkan dirinya, menyongsong peradaban internet, sejak BJ Habibie masih memimpin ICMI.
Sejak 20 April 1994, Institute of High Energy Physics (IHEP) yang merupakan bagian dari Chinese Academy of Sciences (CAS) membangun kabel pertama yang terhubung ke internet. Dengan kabel itu, mereka mengujicoba pengiriman email ke Amerika Utara dan Eropa. Beberapa tahun setelahnya, pemerintah China mulai menyadari bahwa media baru untuk berkomunikasi ini di masa depan akan menderaskan arus informasi, yang dalam banyak hal akan merugikan China, mereka pun mulai memikirkan bagaimana membatasi atau mengontrolnya. Ketika banyak negara belum memiliki akses internet, China meluncurkan program Golden Shield Project pada tahun 1998, perisai untuk menghadapi ledakan internet. Sejak akhir 2003 hingga sekarang, program ini berganti nama menjadi Great Firewall China.
Semakin tahun, sistem sensor yang dikembangkan China ini semakin berkembang dalam segi cakupan dan kekuatannya. Sistem itu bisa melacak semua konten yang beredar di internet yang dianggap tidak sesuai dengan haluan politik Beijing, dan memblokir semua website populer di dunia jika mereka mau. Sebelum Google secara penuh mereka blokir, pemerintah China bahkan sempat melakukan ’throttling’ , atau memperlambat layanan internet, agar mesin pencari Google terlihat lamban dan bermasalah. Mesin pencari China yaitu Baidu dan Qihoo perlahan menjadi terkenal, sementara Google terus anjlok.
China membangun infrastruktur dunia maya mereka tidak dengan cara instan seperti membangun candi dalam satu malam. Mereka tidak hanya bermodal keyakinan.
Dan di atas segalanya, China itu komunis pengikut Monyet Darwin.***