MUSIM dingin 1978-79 adalah masa yang kurang bersahabat untuk orang-orang Inggris. Musim dinginnya bukan hanya dingin dan bersalju, tapi juga kurang bagus buat ekonomi. Toko dan perusahaan gulung tikar. Orang-orang meminta kenaikan gaji, padahal ekonomi sedang resesi. Serikat buruh mogok. Pemerintah tidak begitu kompeten menghalau krisis yang ada di depan mata.
Musim dingin itu kemudian dikenal sebagai Winter of Discontent—’musim dingin ketidakpastian’. Berdiri di antara Serikat Buruh yang protes, dan pemerintahan ‘Buruh’ yang kelimpungan, adalah partai oposisi yang sedang mempersiapkan Pemilu di tahun tersebut—Partai Konservatif pimpinan Margareth Thatcher—yang tentu saja melihatnya sebagai amunisi kampanye.
Thatcher tidak hanya menjadikan momen itu sebagai senjata untuk menghantam pemerintahan Partai Buruh, tetapi juga mempersiapkan pendisiplinan bagi Serikat-Serikat yang gemar turun ke jalan.
Kampanye dimulai. Musim Kampanye itu adalah pembuktian pertama bagi Margareth Thatcher sebagai pemimpin Konservatif. Ia menyambut kampanye dengan mengeluarkan—seperti biasa—Manifesto Pemilu. Namun ada satu hal berbeda dari Manifesto ini. Ia tak hanya bicara soal janji-janji Pemilu yang jamak ditulis di tiap Manifesto, tapi juga sebuah penjabaran yang rapi atas filsafat politik yang dianut oleh Thatcher—’libertarian kanan’.
Manifesto 1979, yang kemudian dikenal sebagai awal mula ‘neoliberalisme’, menandai titik balik dalam Politik Inggris—bahkan juga politik dunia.
Manifesto itu bisa Anda baca dengan googling sederhana. Tapi ada satu hal yang perlu diungkap di sini: ia tidak sedang bicara ‘kebijakan’. Di Manifesto itu, Thatcher dan tim kampanyenya bicara soal bagaimana menerjemahkan ‘neoliberalisme’ sebagai ideologi politik menjadi pilihan kebijakan. Hasilnya efektif. Mereka tidak hanya memukul argumen-argumen kebijakan Keynesian yang dianut oleh Partai Buruh, tapi juga memberi strategi baru dalam mengelola ekonomi nasional.
Dan Pemilu itu, sebagaimana diprediksi, jatuh pada kemenangan Konservatif pertama di dekade 1980an –yang dampaknya kemudian mempengaruhi dunia bertahun-tahun berikutnya.
***
Pemerintahan Thatcher mungkin salah satu yang terburuk menurut versi para Serikat Pekerja di Inggris (terutama di kawasan bekas pabrik dan tambang di utara) —dan bisa jadi juga bagi para korban ‘neoliberalisme’ di seluruh dunia.
Namun ada satu hal menarik yang perlu dibedah: apa gerangan yang membuat mereka menang?
Thatcher memang bukan politikus biasa. Hal menarik adalah bahwa ia tahu bagaimana cara menerjemahkan ide menjadi kebijakan. Thatcher memang dikenal dekat dengan lingkar intelektual ‘Kanan Baru’, anak-anak didik Milton Friedman dan Frederich Hayek, yang mendirikan lembaga-lembaga think tank spesial buat mengampanyekan ide-ide mereka.
Di antara lembaga itu adalah Institute of Economic Affairs (IEA), lembaga yang rajin menerbitkan jurnal dan buku-buku ‘libertarian Kanan’ dan kabarnya sering mengundang Thatcher untuk diskusi atau sekadar makan siang bersama.
Hasilnya memang tidak instan, tapi jelas dan terukur. Begitu Thatcher tampil sebagai pemimpin oposisi tahun 1974—menggantikan Edward Heath yang baru saja kalah Pemilu waktu itu—Thatcher segera menyiapkan langkah-langkah strategis. Ia tidak hanya mempersiapkan ‘kabinet bayangan’, tetapi juga mengoptimalkan lembaga Think Tank partai: Conservative Research Department (CRD), untuk mendesain kebijakan-kebijakan strategis partai.
CRD memang terobosan menarik di Partai Konservatif. Dibesut pertama kali tahun 1929 oleh Neville Chamberlain, Departemen ini khusus dibuat untuk menyokong kebijakan-kebijakan yang diambil partai. Tugasnya sederhana tapi penting: membuat brief kebijakan dan memasok anggota parlemen dengan data.
Di masa Thatcher, lembaga ini dibuat lebih powerful: mendampingi Menteri dan ‘Menteri Bayangan’ dalam debat-debat di parlemen menghadapi lawan-lawan politiknya.
Tapi ada hal yang lebih menarik lagi: CRD tidak diisi oleh akademisi atau ‘intelektual’ yang ada di kampus, tapi justru oleh anak-anak muda Fresh Graduate yang baru lulus dari Universitas.
Jadi, CRD mengemban dua fungsi sekaligus: Think Tank plus kaderisasi. Mereka tidak hanya memberikan dukungan ‘intelektual’, tapi juga memberi pengalaman bagi calon-calon politikus muda yang diharapkan bisa mengambil estafet kepemimpinan Partai di masa depan.
Dus, CRD menjadikan Konservatif tidak hanya sebagai ‘partai politik’, tetapi juga ‘partai teknokrasi’. Hal yang, disadari atau tidak, tidak dimiliki oleh Partai Buruh.
***
Eksperimentasi semacam ini kemudian terlihat hasilnya lebih dari 20 tahun kemudian. Setelah berpuasa selama enam belas tahun, Konservatif kembali ke Downing Street pada tahun 2010 di bawah kepemimpinan dua orang politikus muda: David Cameron dan George Osborne.
Menariknya, baik Cameron dan Osborne (yang kini menjabat Menteri Ekonomi/Chancellor of Exchequer dan digadang-gadang sebagai pengganti Cameron) memulai karier dari CRD. Sebagaimana ia ungkap sendiri dalam sebuah buku, Cameron memulai karier politiknya sebagai bagian tim Ekonomi CRD pada tahun 1988, yang bertugas memberikan brief pada anggota parlemen dalam isu-isu perdagangan dan industri.
Osborne juga demikian—ia bahkan pernah menjadi Kepala Seksi Politik dari CRD di tahun 1990an. Keduanya adalah ‘produk’ dari eksperimentasi panjang Thatcher, CRD, dan kaderisasi politik-intelektualnya.
CRD menjadi sebuah eksperimentasi politik menarik—bahwa ‘politik’ tidak melulu dibangun dengan ‘suara’. Dalam banyak hal, ia juga sangat terkait dengan persoalan bagaimana membuat ‘kebijakan’. Di negara-negara dengan tradisi parlementarian yang kuat seperti Inggris, tugas membuat kebijakan praktis berada di tangan partai.
Itulah sebabnya, partai-partai modern semacam Konservatif bisa bertahan lama. Mereka tidak hanya piawai menarik suara ketika Pemilu, tetapi juga memuluskan janji-janji kampanye dengan kebijakan yang tepat.
Tradisi semacam ini yang, harus diakui, tidak dimiliki oleh partai-partai politik di Indonesia. Alih-alih mempersiapkan anak-anak mudanya piawai mengelola negara, mereka justru menjadikan mereka broker politik yang biasanya lebih piawai bermain dalam politik anggaran. Hasilnya, politikus-politikus yang kemudian menjadi anggota DPR atau Kepala Daerah itu kebingungan dalam membuat kebijakan, yang ujungnya adalah adopsi dari konsultan-konsultan lembaga donor yang siap dengan data, metodologi, dan briefing kebijakan.
Kegagalan menerjemahkan ‘ideologi’ menjadi ‘kebijakan’ inilah yang, disukai atau tidak, melanggengkan posisi teknokrat dan ekonom neoliberal di Indonesia walaupun pemerintahannya berganti berkali-kali.
Bagi gerakan-gerakan progresif, hal ini mungkin berarti sederhana: memperkuat teori, lalu mempertautkannya dengan praktik.***