Foto diambil dari http://sosialispapua.com
AKSI 2 Mei 2016 berlangsung baik dan terhormat. Salut pada seluruh kawan yang telah terlibat dengan jiwa, nyanyian, tarian dan kepal tangan. Kita melawan dengan hormat, untuk mengakhiri dengan martabat.
Kepada kawan-kawan yang dipukul aparat, saya percaya kita tidak pernah kehilangan semangat. Bukan karena pukulan itu tidak sakit, tetapi karena kesakitan itu sedang kita tempa di dalam perlawanan. Kita akan tuntut balik, kumpulkan bukti-bukti, lalu kita hidangkan ke meja makan mereka, kita lagukan agar jadi pengantar tidur mereka, kita dokumentasikan agar jadi dosa sejarah mereka.
Kita tidak percaya hukum kolonial, tetapi kita perlu tamparkan berkas-berkas hukum buatan mereka ke wajah mereka sendiri. Sehingga semakin banyak orang tahu siapa sesungguhnya yang kriminal, penyebar teror, pengganggu ketertiban sosial. Penjara dan hukum kolonial adalah panggung pembebasan kita.
Kita lanjutkan bicara, beraksi, bergerilya, dan bergerak menuliskan gagasan cita-cinta rakyat bangsa Papua seindah mungkin, seterang-terangnya, seluas-seluasnya.
Itulah sebabnya Polisi melarang kita aksi sekalipun kita lalui semua prosedur hukum dengan patuh. Mereka memblokade massa dari titik-titik keberangkatan sejak awal. Mereka tidak mau massa berkumpul banyak; mereka tidak mau tuntutan Papua Merdeka didengar publik luas, yang bila dengungnya terkumpul, akan sanggup menyisir banyak orang yang sejak pagi menanti-nanti di jalan. Negara takut tuntutan Papua Merdeka memenangkan ruang publik.
Tetapi aksi tak berhasil digagalkan negara walau 1733 orang di Jayapura diangkut paksa dari titik-titik aksi ke Markas Komando Brimob. Dengan berwibawa massa aksi berhasil memaksa negara berhadap-hadapan dengan tuntutan kita di salah satu jantung kekuasaan mereka sendiri. Papua merdeka berhasil menangkan ruang publik.
Inilah hal penting yang harus jadi tujuan aksi-aksi damai kita: menguasai ruang publik. Kita harus merebut ruang itu dengan damai. Di lapangan aksi, di media sosial, di kampus, di tempat kerja, di pasar-pasar, di sekolah, di tempat ibadah, di tempat wisata, dst kita harus dengan bangga mengatakan ‘kita cinta damai, karena itu kita cinta Papua Merdeka’.
Jangan biarkan ketakutan meneror kita. Korban akibat kekerasan aparat kolonial sudah begitu banyak, tetapi korban akibat teror ketakutan yang mereka sebarkan jauh lebih banyak lagi. Kita boleh takut, karena takut itu manusiawi. Tetapi kita tidak boleh dikontrol dan dikuasai oleh ketakutan. Dan kita, kawan-kawan semua, sudah membuktikannya pada 2 Mei 2016.
Jangan terpancing pihak-pihak yang hendak merusak prioritas perjuangan kita. Mereka bisa mencaci, atau membakar bintang kejora dan terus menerus sebar spanduk mendeklarasikan diri cinta NKRI. Biarkan mereka.
Sesungguhnya itu adalah tantangan bagi kedewasaan politik kita. Kedepan akan tambah banyak yang model demikian, kedepan aparat aparat akan memperhadapkan kita pada sesama rakyat biasa dengan isu-isu SARA. AWAS jangan terpancing. Musuh kita jelas: kolonialisme dan kapitalisme, bukan orang-orang yang mengais hidup dari belas kasihan aparat militer.
Sekarang kita lihat bertambahnya dukungan internasional di Eropa, Afrika Pasifik juga Indonesia sendiri, terhadap kehendak kita menjadi anggota tetap di forum Melanesian Spearhead Group dan kampanye kita, melakui IPWP, menuntut PBB mendorong dan mengawasi referendum ulang di Papua.
Kita saksikan, walau sedikit, ada orang-orang di Indonesia yang bekerja untuk membantu kita menekan pemerintah Indonesia, mendorong perubahan pendekatan di Papua, untuk mendukung kebebasan berekspresi kita di ruang publik. Memang jumlah mereka masih sangat sedikit. Tetapi peran mereka penting, untuk membuka tabir ketidaktahuan dan prasangka yang hidup di pikiran rakyat Indonesia sejak orde baru hingga sekarang, terhadap tuntutan kemerdekaan kita.
Kita butuh sekutu dari seluruh dunia, jika saja kita bisa jangkau semua. Tapi di Indonesia kita butuh mereka-mereka yang mau bicara lantang agar semakin banyak orang Indonesia tahu bahwa NKRI harga mati bukanlah cita-cita reformasi mereka 1945, melainkan doktrin Orde Baru pasca 65. Mereka harus bergerak lebih maju dari sekadar mengunyah-ngunyah doktrin itu tanpa menggunakan nalar, membuka mata dan mendengarkan.
Kita harus bantu orang-orang Indonesia mengenal sejarahnya sendiri, dengan terus tanpa takut menyatakan sejarah kita sendiri. Mereka harus mengenal kebangsaan mereka dari perjuangan kebangsaan kita.
Kita bisa saksikan betapa tidak berkualitasnya respon pemerintah Indonesia saat ini. Mereka mengaku negeri sebagai demokrasi yang dijadikan contoh dunia, tetapi diam terhadap penanangkapan dan kekerasan yang dialami rakyat kita. Mereka gerah pada hasil pertemuan IPWP di Inggris, tersinggung dengan permintaan Tim Pencari Fakta pelanggaran HAM PIF, sambil tak melakukan langkah apapun yang nyata berpihak pada penegakan HAM rakyat kita.
Yang mereka lakukan hanyalah terus merangkai alasan dan siasat tipu muslihat terhadap berbagai kasus pelanggaran HAM yang mengorbankan para pendahulu kita. Mereka tidak pernah mau akui tangan mereka berlumuran darah kita. Pengadilan HAM hanya dongeng saja. Mereka tidak punya cukup nyali mengadili diri mereka sendiri.
Sekarang mereka mau ganti darah dan nyawa itu dengan investasi dan infrastruktur. Negara demokratis macam apa itu? Jualan investasi ini sudah korbankan tanah-tanah adat masyarakat kita, membuat masyarakat diadu domba dan baku tipu. Hutan kita sedang dihabisi, kebudayaan kita sedang dihancurkan. Alam kehidupan dunia sedang mereka rusak. Itulah yang mereka sebut pembangunan, dan itulah yang kita sebut penjajahan.
Inilah medan perjuangan kita merebut kedaulatan politik itu. Mendukung proses dan kampanye MSG dan IPWP adalah satu hal, membangun kedaulatan politik kita lewat aksi massa damai di ruang publik, menyuarakan seluruh persoalan rakyat bangsa Papua, adalah hal penting lainnya. Keduanya harus berjalan beriring.
Mari kita lanjutkan. Kedepan kita tidak saja akan penuhi jalanan dengan kehendak politik kita, namun juga kehendak budaya, sosial, dan ekonomi sebagai bangsa yang harus merdeka.
Kita sudah di jalan perlawanan yang benar untuk mengakhiri.***
Penulis adalah Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB)
Artikel ini sebelumnya telah di muat di Sosialis Papua. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan dan Solidaritas.