Ilistrasi gambar oleh Alit Ambara
PERNAH dengar sistem pangan (Food System)? Ini bukanlah nama generik untuk seluruh pangan yang kita makan. Ini adalah istilah khusus untuk sistem kapitalisme pangan, yang sekarang sudah bermetamorfose dari sejak hulu hingga hilir untuk menguasai apa yang kita makan.
Nama lainnya adalah Rantai Pasokan Pangan (Food Supply Chain), dimana korporasi-korporasi membangun sistem rantai pasokannya masing-masing sejak dari hulu (downstream) hingga hilir (upstream), terintegrasi secara vertikal maupun horizontal, serta saling bekerjasama dan saling menunjang untuk meminimalkan biaya dalam sebuah rantai panjang industri barang dan jasa. Ini dapat dilihat dari gambaran berikut: masifnya unit-unit produksi ternak, ambruknya warung-warung kecil keluarga, dominasi ritel oleh rantai supermarket secara nasional dan internasional, pra-kemasan, resto fast-food, meningkatnya acara makan di luar rumah, camilan-camilan, produk-produk yang tidak musiman, kontrak lahan pertanian untuk produk-produk tertentu, pangan rekayasa genetik, bahan-bahan tambahan, bahan-bahan pengawet, makanan yang dibekukan, merk-merk, iklan-iklan dan diatas semuanya adalah persaingan yang terus menerus dalam menurunkan harga. Dengan metamorfose ini semua, rantai pangan telah beralih-rupa menjadi segmen raksasa dari ekonomi pasar kapitalis. Pangan hanyalah produk yang dikejar untuk bisa dipotong biaya per-unitnya guna menghasilkan keuntungan, didorong oleh persaingan yang kejam dari berbagai supermarket untuk mendapatkan pasar yang lebih besar untuk kemanfaatan para pemilik saham.
Rantai Pasokan Pangan (RPP) atau dikenal juga sebagai sistem pangan (food system) mengacu pada sebuah proses yang menjelaskan bagaimana pangan bermula sejak dari usaha pertanian hingga berakhir di meja makan kita. Proses tersebut meliputi produksi, pemrosesan, distribusi, konsumsi, hingga pembuangan. RPP terdiri dari berbagai ragam produk dan perusahaan-perusahaan yang beroperasi di pasar yang berbeda-beda serta menjual berbagai variasi produk pangan.
RPP menghubungkan tiga sektor utama, yaitu sektor pertanian, industri pemrosesan makanan dan sektor distribusi (baik grosir maupun ritel). Sektor pertanian terdiri dari produksi tanaman dan peternakan. Perusahaan-perusahaan di sektor pertanian menjual outputnya kepada industri pemrosesan makanan maupun kepada dirinya sendiri (pakan ternak). Juga seringkali menjual langsung kepada sektor ritel, konsumen akhir ataupun pasar alternatif (seperti biofuel).
Sementara industri pemrosesan makanan ada bermacam-ragam dan terdiri dari berbagai macam kegiatan yang bervariasi, seperti pengilangan (gula), penggilingan (sereal), pembersihan, pemotongan atau pengeringan (buah-buahan dan sayur-sayuran), serta penyembelihan dan pembongkaran (peternakan). Masing-masingnya melewati berbagai tahapan yang berbeda-beda, dikemas dan lalu dikirimkan kepada pelanggan (seperti distributor dan layanan makanan). Kegiatan penting lain dari manufaktur pangan ini adalah melakukan riset pasar dan produk guna pengembangan produk-produk baru, serta dalam menjalankan pemasaran.
Sektor distribusi (dan ritel khususnya) merupakan saluran utama bagi produk-produk pangan, dan menjadi mata rantai terakhir dari rantai pasokan, karena langsung berhubungan dengan konsumen akhir. Ini adalah minimarket-minimarket yang tersebar di seluruh pelosok negeri, mal-mal besar dan resto-resto segala rupa. Riteler biasanya juga menjalankan layanan kepada manufaktur pangan, seperti melakukan kegiatan promosi.
Dengan gambaran ini maka jelas Rantai Pasokan Pangan merupakan bentuk mutakhir dari pengintegrasian seluruh kegiatan sektor pertanian dalam lingkup sektor industri dan perdagangan modern.
Dengan demikian RPP kontras dengan gambaran sektor pertanian di Indonesia, dimana mayoritas petaninya masihlah petani kecil/subsistens, yang masih mengerjakan usaha pertaniannya secara manual dan tradisional. Sektor pertanian masih sepenuhnya tergantung pada bagian terbesar dari petani kecil subsistens, dimana 60 persen tenaga kerja masih berada di sektor pertanian. Sebagiannya sudah tidak bertanah dan sebagiannya bekerja sebagai buruh tani. Karenanya sebagian besar petani Indonesia adalah petani kecil subsistens yang miskin.
Kini kaum tani harus menghadapi pengusaha/korporasi pertanian agribisnis dengan modal besar dan teknologi pertanian modern. Seperti kita ketahui bersama, sektor pertanian yang modern dan terindustrialisasi, sektor agribisnis, sudah mulai berkembang terutama semenjak revolusi hijau di tahun 1970an. Revolusi hijau telah memacu pertumbuhan pertanian lewat input modal secara besar-besaran yang ditunjang oleh import barang-barang teknologi pertanian dan berbagai input modern lainnya (bibit, pupuk, pestisida dan obat-obatan kimia). Model modernisasi pertanian lewat input modal besar-besaran ini dalam kenyataannya tidaklah membawa keuntungan bagi kaum petani. Yang diuntungkan pertama-tama adalah para pengusaha, korporasi-korporasi multinasional dan para importir yang mendapat keuntungan dari impor bibit, obat-obatan, traktor, pembangunan irigasi, pompa air, pestisida dan lain-lain.
Model pertanian seperti ini kini semakin diperparah dengan kemunculan revolusi hijau kedua yang dicirikan pangan dan pertanian bioteknologi disertai menguatnya sistem agribisnis korporat, yang paralel dengan naiknya paham ekonomi neoliberal yang mengutamakan ekspansi modal besar dan peran korporasi transnasional (TNCs) yang bersesuaian dengan ekonomi pasar bebas. Korporasi-korporasi agribisnis, baik dari luar maupun dalam negeri, menjalankan perkebunan monokultur besar-besaran, dengan input kimia yang intensif. Ekspansi agribisnis juga disertai ekspansi korporasi supermarket dan toserba yang menjual berbagai produk pangan dan pertanian dari luar. Juga buah-buahan dan sayur-sayuran dari luar. Ekspansi buah-buahan impor juga semakin dominan menjalar ke sektor pedagang kecil (informal dan kaki-lima) yang kini justru lebih banyak menjual buah-buahan impor ketimbang menjual buah-buahan asli lokal yang lebih bervariasi dan murah.
Saat ini korporasi transnasional pangan semakin menguasai pasar komoditas pangan global. Mereka bekerjasama dengan para pemain domestik di beberapa negara untuk ikut serta menjadi pemasok utama bahan-bahan makanan. Demikian pula dalam sektor ritel, korporasi transnasional di Negara-negara maju seperti Carrefour, Walmart, dan lain-lainnya telah mengambil-alih sistem pangan domestik di Negara-negara berkembang secara keseseluruhan.
Undang-undang yang kemudian menyongsong sistem pangan global dan era perdagangan bebas MEA adalah UU Pangan no. 18 tahun 2012, yang menggantikan UU Pangan No. 7 Tahun 1996 yang meskipun sudah liberal, tetapi kurang sesuai dengan perkembangan terbaru dari sistem pangan global. Isi dari Undang-Undang tersebut memperlihatkan kebijakan yang liberal dan pro-pemodal besar yang telah dianut pemerintah selama ini lewat konsep ketahanan pangan. Bahkan, nampaknya UU Pangan ini memang dipersiapkan untuk menyambut datangnya era liberalisasi pangan dan pertanian di dalam MEA.
Keberpihakan pemerintah kepada pihak korporasi sudah semakin jelas. Pada pertemuan World Economic Forum di bulan Juni 2011, Wakil Menteri Pertanian saat itu, Bayu Krishnamurti menyampaikan bahwa dalam upaya untuk peningkatan produksi pangan dan menjamin ketahanan pangan nasional, pemerintah akan bekerja sama dengan 14 TNC pangan dan pertanian seperti Indofood, Astra Internasional, Dupont, Cargill, Kraft, Unilever, Swiss RA, Sygenta, ADM, Bunge, Mckenzie, Monsanto, Sinar Mas, dan Nestle. Sebagian besar perusahaan yg terlibat dalam inisiatif ini adalah perusahaan multinasional yg mengalami peningkatan keuntungan berkali lipat dalam krisis pangan global sejak 2008.
Keberpihakan tersebut juga nampak jelas dalam Instruksi Presiden No. 5/2008 tentang Fokus Program Ekonomi 2008-2009 yang mengatur tentang Investasi Pangan Skala Luas (Food Estate), serta diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No 18 tahun 2010 tentang food estate yang kemudian disusul dengan Permentan yang menindaklanjuti PP tersebut. Poin penting dari pelaksanaan program perkebunan skala luas ini ialah kepastian dan perlindungan ijin usaha bagi perusahaan-perusahaan yang ingin mengembangkan industri pertanian pangan.
Dengan dalih slogan kedaulatan pangan untuk menuju swasembada pangan, maka anggaran pertanian di RAPBNP 2015 ditambah sebesar Rp 15,8 trilyun, sehingga kementerian Pertanian mendapat porsi anggaran sebesar Rp 32,7 trilyun. Akan tetapi dana publik tersebut justru dipakai untuk bekerjasama dengan korporasi transnasional (TNCs). Pengadaan benih untuk areal lahan 1 juta hektar dengan nilai Rp. 750 Milyar, misalnya, ternyata melibatkan PT Monsanto Indonesia sebagai penyedia benih dan PT Cargill Indonesia sebagai penyerap hasil produksi.
Pesan dari cerita singkat ini adalah: kenalilah sistem (kapitalisme) pangan baru ini. Karena kini segala apa yang kita makan sudah diatur oleh mereka. Mau makan apa, tuan dan nyonya?***