Istilah ‘wong cilik’ biasanya ramai dipergunakan menjelang perhelatan politik akbar. Rupa-rupanya, kebiasaan membicarakan ‘kaum pinggiran’ tanpa memberi mereka kesempatan bersuara sendiri sudah terjadi sejak lama. Kliping dari surat kabar Medan Prijaji ini adalah bukti tertulis yang apik. Ditulis dengan nada pembelaan yang tinggi – namun penyuntingan yang minim – surat atau opini ini menelanjangi ketidakpedulian para ‘pembesar’ terhadap warga kecil yang tanah dan nasibnya telah dirampas. Kisah yang tidak asing di telinga kita, satu abad kemudian. Sayang profil penulis tidak bisa diketahui. Seandainya masih hidup, besar kemungkinan ia anggota sebuah partai yang kini justru makin jarang menggunakan istilah ‘wong cilik’, walau besar karena kerap menungganginya.
(Medan Prijaji Nomor 11 dan 14. Sabtu, 9 April 1910. Tahun ke -IV)
Wong Cilik Kejepit Sampai Mendelik
Kalau kita suka perhatikan dan suka bergaulan dengan orang kecil, maka terdengarlah suara merintih yang bikin hati jadi gemas dan mengenes. Apabila suara itu kita pikir lebih dalam maka termakanlah hati kita, sehingga hamper habis rasanya. Apakah sebabnya merintih itu? Dilanggar penyakit apakah ia? Penyakit yang amat mengganggu dan gampang sekali merusakkan badan, yaitu kemeleratan. Di mana kita lewat, maka kedengaranlah ratap dan tangis, merekat it yang menyatakan susah dan sukarnya mencari penghidupan, baik berkuli, menukang, berdagang, bercocok tanam dsb. Pendeknya dari segala pihak, orang-orang mencari hasil merasa sengsara hidupnya terutama penduduk di mana tempatnya ada pabrik gula. Bagaimana orang tidak merasa susah penduduk di tanah Jawa bertambah hari bertambah banyaknya sedang pencarian atau makan yang di dapat tinggal tetap, malah boleh dibilang semakin kurang, betapakah orang tiada merasa lapar, bagiannya masing-masing semakin kecil. Lain daripada itu banyaknya pengisap darah (bloedmiger) bangsa Eropa yang amat kejam semakin bertambah. Jadi orang kecil yang di pijat perutnya hampir habis isinya hanya tinggal pringas-pringis saja merasakan kesakitannya.
Begitu pun halnya orang kecil, kendati keadaannya sebagai ampas (tidak ada sapnya), tetapi sebagian orang suka padanya, bukan suka sebab menaruh kasihan, haaa….itu tiada, suka sebab hendak diperes atau digiling lagi. Lain daripada itu, kepada negeri punya berguna juga. Siapakah yang bisa hidup sebagai keadannya ampas tebu? Jadi jika dipikir lebih jauh, maka penduduk tanah Jawa akan kedatangan bahaya yang amat hebat, ya hebat yang amat sangat itu, jika tidak lekas mendapat pertolongan. Rupanya bahaya itu sudah dimulai. Apakah sebabnya Gvt, tinggal ayal memperbaiki nasib si lemas alias wong cilik? Api samenip gampang dipadamkan, tetapi jika telah meremen dan berkobar, apa jadinya?
Meskipun boleh dipadamkan bila disapu angin yang keras, malahan makin menjadi dan berbahaya pada tempat sekitarnya. Manakah angin itu? Si woekeraars, yang bertambah banyaknya. Akan keadaannya penduduk di tanah Jawa tidak beda dengan samenip api yang ditaruh di ilalang yang kering, jika tiada ditolong tra urung akan kebakaran juga: kedatangan bahaya kelaparan. Perhatikanlah kabar harian yang termuat di dalam surat kabar seantero tanah Jawa, dari penjuru timur, ramailah dikabarkan hal amannya sesuatu tempat selalu terganggu oleh pencuri dan juga menceritakan betapa beraninya orang durjana, sekali-kali tidak mengindahkan atau takut kepada polisi. Sebab apakah begitu rusuh? Tak lai karena dari kekurangan makan alias kelaparan. Orang yang sedikit mampu di waktu malam tidak bisa tidur senang, sebab selalu digoda orang kelaparan. Pada masa ini banyak orang berbuat kejahatan karena dari kosongnya perut, jadi mereka berbuat begitu sebab terpaksa, bukan sebab memang aanleg (dasar). Beberapa kali suatu rumah digangsir tidak kenal (tidak kesampaian niatnya), maka hati penjahat semakin panas, akhirnya rumah itu dibakar. Penduduk mulai gemas hatinya merasakan selalu terganggu orang kelaparan tadi. Rupa-rupa akal hina dan keji dijalankan guna mendapat sesuap nasi. Heran, heran… seribu heran, Gvt tidak memperhatikan keadaan itu. Jika kita melihat keadaan orang kecil, aduh!!! Sungguh merasa hancur hati kita, sebab….satu hari makan, dua tiga hari tidak.
Di tanah Jawa ini lagi kegegeran kedatangan penyakit Cholera, mulai dari barat berjalan terus menempuh pada tujuan sebelah timur, sehingga berpuluh-puluh jiwa pada tiap-tiap hari yang jadi korban oleh karenanya. Pembesar yang wajin lagi amat ribut mencari daya upaya buat mencegah penyakit yang hebat dan berbahaya itu. Segala makanan yang gampang menumbuhkan penyakit dilarang kerasa, begitu juga keramean Sekaten di Yogya dan Surakarta ditiadakan, sebab dikhawatirkan akan memudahkan berjubelnya atau berjangkitnya iut penyakit di mana-mana tempat. Begitu pun penyakit lainnya yang bisa menular seperti typhus, cacar, demam malaria, pest dsb. Selalu dijaga supaya jangan sampai membinasakan jiwa. Bagus, kita mengucap syukur akan daya upaya usaha pembesar yang wajib menjunjung titah Gvt sekalian melindungi sekalian hamba rakyatnya.
Tidak dengan sedikit keheranan timbullah satu pertanyaan di dalam hati kita: Apakah sebabnya Gouv tidak berusaha buat mencegah kepepetnya atau kesengsaraan si kecil? Apa kemelaratan yang menimpa kecil itu bukan bahaya yang mengkhawatirkan? Apa itu dipandang tidak seberapa atau tidak mengkhawatirkan? Pada pendapatan kita, bahaya yang telah kita sebut pada kepala karangan ini lebih berbahaya, ya lebih hebat daripada sekalian penyakit yang biasa membinasakan beribu jiwa manusia? Apa sebab kita berani bilang lebih berbahaya? Sebab sekalian penyakit itu ada musimnya, yaitu bisa berhenti atas sendirinya dan datangnya tempo-tempo, tidak terus menerus selama-lamanya, tetapi bagaimana halnya kelaparan? Jika terus dibiarkan sebagai adanya sekarang, maka semakin hari semakin mendekati dan akhirnya…… kalang kabutlah hidup sekalian penduduk. Sungguhpun kas negeri bisa bertambah banyak sebab dari adanya pabrik gula yang semakin bertambah itu, tetapi harus diingat akan kerusakan si kecil yang keadaannya sebagai ampas tadi. Woeker yang bertempat pada pohon-pohnan selalu dijauhkan dan dibinasakan, tetapi mengapa woeker atau lebih baik kita sebut woeker aar yang hinggap pada tubuh manusia dan selalu merajalela dibiarkan saja? Bukankah menurut nat. Historie manusia ada sebangsa binatang yang keadaannya lebih mulia dan sempurna dari makhluk lain-lainnya? Ingatlah, karena dan makmurnya sesuatu tanah bergantung atas keselamatan hidup si kecil, bukan si pembesar. Dahulu kita dengar warta hal Welvaart commissie, tetapi tupanya itu nama lantas terselain tiada kedengeran atau muncul lagi. Apa Commissie itu tidak tahu prikeadaan wong cilik?? Apa gunanya diadakan begitu bila tidak tahu, sedang ongkosnya sudah tentu tidak sedikit. Jika hanya tanya-tanya saja kepada priyayi B. B., sudah tentu kurang saj, karena tidak kurang-kurang mereka (B. B) yang menunjukkan rapor palsobin menimpuk pasir pada mata Commissie. Lihatlah bagaimana rapor yang ditunjukkan kepada pembesar waktu dibikin konferensi di Kabupaten, semasa Wedono dan Ass. Wedono rapornya bagus, tidak ada celanya. Kalau ditanya keadaan di dalam daerahnya, jawabnya semua bagus, orang kecil senang hidupnya dsb. Kekasaran jajahannya yang bertimbun-timbung tidak bernai mengeluarkan di dalam konferensi, sebab dia suka mengeluarkan resia yang bakal menyusahkan atau bikin celaka dirinya? Hendaklah commissie tersebut menyelidiki dan melihat dengan mata sendiri (zelf) waarnemen en zelf overtuigen), jadi tidak sia-sialah lelah payahnya dan ongkos yang bukan sedikit itu.
Kalo pembesar kurang percaya atas ocehan kita ini cobalah periksa pada tempat yang gampang dan tidak susah didatangi yaitu di rumah gade Gouv. Di situ nanti tampaklah kebenaran apa yang kita kicaukan. Berpuluh-puluh orang datang menggadaikan barangnya yang sedikitpun tidak berharga. Kita sudah menyaksikan apa orang menggadaikan kain ciut, hanya itulah kepunyaannya buat obat perutnya yang sudah beberapa hari tiada kemasukan makanan. Dia minta kepada punggawa 5 ct (cent) saja akan barangnya itu yang amat busuk rupanya. Bagaimana rupa itu kain, kita tidak sanggup menceritakan karena dari mesumnya, itu punggawa menjawab tidak bisa terima, karena barang yang boleh ditaruh gadai paling sedikit taksir f0.10, sedang itu kain tidak bisa ditaksir berapa harga orang yang punya minta dengan sangat, jika tidak laku 5 ct ya…..2ct saja. Aduh! Betapakah rasanya orang yang ditakdirkan begitu melarat. Sepuluh yang lalu belum pernah kita melihat akan mengalami zaman yang begitu bikin hancur hati. Hendaklah Gouv. menyelidik kehidupan hambanya yang menanggung sengsara dan melarat, haraplah diberi pertolongan dicari sebabnya kemeleratan itu.
BAGELENER