SEPEKAN belakangan ini ramai pemberitaan mengenai pelarangan BelokKiri.Fest, sebuah festival untuk merayakan gerakan kiri di Indonesia. Sebabnya, tentu saja, karena penggunaan nama “Kiri” dalam acara tersebut telah membuat banyak pihak kepanasan. Warisan rezim bengis Orde Baru bahwa Kiri adalah haram rupanya hendak terus dilestarikan. Padahal, kalau orang sadar, Indonesia sejatinya adalah Kiri. Dua proklamatornya: Sukarno-Hatta, adalah kiri. Sebagian besar bapak (dan ibu) bangsa juga berpaham kiri. Konstitusinya UUD 45 adalah sosialistis, khususnya pasal 33. Pancasila dasar Negara juga nilai-nilainya kiri.
Untuk itu, representasi paling kuat dari seorang figur kiri Indonesia yang tidak bisa dihapus atau dihilangkan adalah Sukarno. Indonesia beruntung memiliki Sukarno, seorang pejuang konsisten yang sekaligus proklamator kemerdekaan Republik Indonesia dan Presiden Indonesia pertama. Di dalam diri Sukarno, kita jumpai seorang aktivis yang komplit, yang mampu berpikir komprehensif, bertindak strategis dan merangkul semua orang sehingga terbentuk satu nasion Indonesia yang besar wilayahnya. Tanpa Sukarno, mungkin tidak ada Negara Indonesia dari Sabang sampai Merauke, melainkan terpecah-belah dan sudah sejak awal menjadi beberapa negara sebagaimana kehendak Belanda.
Sukarno atau Bung Karno, demikian ia ingin dipanggil rakyatnya. Bung menjadi panggilan pengganti kamerad, comrade, panggilan untuk kesetaraan, panggilan egaliter. Bung Karno ingin disebut di nisannya sebagai “penyambung lidah rakyat Indonesia”, bukan “pemimpin besar revolusi” atau “paduka yang mulia”, sebutan ketika ia masih menjabat sebagai presiden. Penyambung lidah adalah istilah yang mirip diungkapkan oleh Mao Zedong, “rumuskanlah secara sistematis dari rakyat apa-apa yang mereka ucapkan secara bahasa awam”. Penyambung lidah menunjukkan bahwa ia hanyalah instrumen rakyat, penyambung dari kata dan hati rakyat yang sebenarnya, dan tidak boleh diplintir atau ditunggangi oleh kepentingan pribadi.
Bung Karno seringkali dipahami secara sempit oleh banyak orang, dan ini adalah kesalahan mendasar. Misalnya, Bung Karno dipahami sebagai seorang nasionalis saja, atau sebagai nasionalis kiri. Itu salah. Bung Karno, sebagaimana katanya sendiri, adalah seorang revolusioner. Katanya, kalau menjadi nasionalis maka jadilah nasionalis yang revolusioner; kalau menjadi agamis jadilah agamis yang revolusioner; dan kalau menjadi seorang komunis, dengan sendirinya harus revolusioner. Revolusioner, artinya seseorang yang setia pada ideologi dan pelaksanaan revolusi, yaitu Revolusi Indonesia. Revolusi Indonesia, sebagaimana yang dipahaminya, adalah perjuangan mewujudkan Indonesia yang adil dan makmur dari sejak revolusi nasional sampai kepada revolusi sosialis. Kemerdekaan, dekolonisasi, barulah jembatan saja, bukan tujuan. Kalau orang nasionalis, maka hanya berhenti di kemerdekaan saja. Bung Karno tidak. Bung Karno ingin terus maju sampai mencapai tujuan Sosialisme Indonesia. Jadi Bung Karno seorang revolusioner Sosialis.
Apa paham atau teori dasar Sosialisme: itulah Marxisme. Bung Karno adalah seorang Marxis plus-plus, yaitu ditambah dengan Nasionalis dan Agamis, yang disebutnya sebagai Nasakom. Bahkan di masa kekuasaannya mulai redup, pada tanggal 28 Februari 1966, Bung Karno terang-terangan mengakui dirinya sebagai Marxis. “Aku tegaskan dengan tanpa tedeng aling-aling, ya, aku Marxis,” kata Bung Karno. Menurut pengakuannya, sejak tahun 1928 Ia sudah menjadi marxis, sekaligus nasionalis dan agamais. Kita tahu bahwa menjadi nasionalis dan agamis (Islam) adalah askribsi (diturunkan atau diterima begitu saja, given). Tetapi menjadi Marxis adalah pilihan individu. Karena itu pula, Bung Karno mencoba mencari padanan istilah yang bisa diterima rakyat kecil dari Marxisme ini, yang ia sebut sebagai Marhaenisme. Marhaenisme, sebagaimana kita tahu, adalah Marxisme yang disesuaikan dengan konteks Indonesia. Jadi, Bung Karno jelas seorang Marxis. Itu yang pertama.
Yang kedua, sebagai revolusioner Sosialis a’la Indonesia, maka apakah alat-alatnya? Di sini Bung Karno memperkenalkan apa yang disebut sebagai Panca Azimat Revolusi, lima ajimat revolusi Indonesia, yaitu: Nasakom, Pancasila, Manipol-Usdek, Trisakti dan Berdikari. Alat pertama, adalah persatuan kaum nasionalis, agamis dan komunis, dalam mencapai tujuan Sosialisme Indonesia. Kedua, Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia, sebagai fondasi sebuah nasion yang akan mencapai Sosialisme Indonesia. Ketiga-keempat dan kelima, adalah instrumen-instrumen implementatifnya, dari sejak manifesto politik (manipol) dan lima kunci pelaksanaannya: UUD 45, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Nasional. Trisakti juga sama penekanannya: Berdikari di bidang ekonomi, Berdaulat di bidang politik, dan Berkepribadian nasional di bidang budaya. Dan Berdikari adalah pikiran dasar pembangunan: berdiri di atas kaki sendiri.
Yang ketiga, di masa pemerintahannya yang sejati, yaitu sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga kejatuhannya di tahun 1966, maka ia terus menerus konsisten untuk berjuang bersama kaum Komunis. Karena baginya, kaum komunis adalah yang paling konsisten menjalankan revolusi Indonesia. Sukarno dan DN Aidit punya kesamaan pemahaman, yaitu revolusi harus diperjuangkan untuk mewujudkan masyarakat tanpa Kapitalisme dan Imperialisme. Bung Karno dan PKI sama-sama konsisten anti imperialisme. Deklarasi manipol, menetapkan revolusi Indonesia memakai teori revolusi dua tahap, sama seperti teori dua tahap PKI, yaitu tahap revolusi nasional-demokratis dan kemudian baru tahap pengkonstruksian sosialis. Dan hingga akhir hayatnya, Bung Karno tidak pernah mau melarang PKI, meski itu berarti dia kehilangan kekuasaannya.
Karenanya bagi pihak Nekolim, Bung Karno lebih berbahaya ketimbang PKI. Kenapa? Karena sesungguhnya master-mind dari pemikiran revolusi Indonesia dan pembangunan Sosialisme Indonesia adalah Bung Karno. Justru PKI yang kemudian mengikuti teori-teori dan pemikiran Bung Karno. Justru PKI dan Aidit yang kemudian berkompromi dengan Bung Karno dan menjadi tidak sesuai lagi dengan jalan komunisme ortodoks, karena menjalankan: parlementarisme dan legalisme, mengadopsi persatuan Indonesia lewat front nasional dan kerjasama nasakom, serta mengadopsi jalan damai menuju Sosialisme. Karena itu peristiwa G30S 1965 pertama-tama tujuannya justru adalah penyingkiran Bung Karno, dengan terlebih dulu memotong dan menghabisi kekuatan pendukung utamanya, yaitu PKI.
Bung Karno lebih berhasil menerapkan Marxisme ketimbang PKI, yaitu kemampuannya merangkul semua pihak yang sangat berbeda-beda agar semua pihak bisa bersepakat dan bersama-sama berjuang mencapai tujuan yang ditetapkannya, yaitu Sosialisme Indonesia. Jadi kisah atau episode Bung Karno adalah kisah perjuangan menegakkan Sosialisme, bukan terbatas hanya pada kemerdekaan Indonesia atau nasionalisme. Bung Karno bukanlah nasionalis saja. Kita tahu, seorang sosialis pada dasarnya adalah juga seorang nasionalis, tidak bisa dipisahkan. Berkali-kali, hal inilah yang ditekankan Bung Karno, “nasionalisme saya adalah peri-kemanusiaan”. Jadi beyond nationalism, lebih tinggi dari sekedar nasionalisme.
Jadi kalau ada yang masih berpikiran bahwa Sukarno atau Bung Karno itu nasionalis, maka itu salah! Partai-partai politik atau siapapun yang menganggap dirinya penerus Bung Karno atau menjalankan perjuangan beliau, harus ingat ini: Bung Karno itu bukan sekedar nasionalis, tapi juga seorang Sosialis dan Marxis. Apakah PDIP atau partai-partai lain yang menyanjung dan memakai pikiran-pikiran politik Bung Karno sudah paham ini, atau sadar mengenai hal ini? Kalau mereka konsisten hendak mewarisi ajaran-ajaran Bung Karno, maka dengan sendirinya mereka juga harus menjadi Marxis dan Sosialis. Atau justru kebalikannya yang terjadi, mereka secara sengaja hanya memanfaatkan nama besar Bung Karno dan meminjam saja slogan-slogannya untuk kepentingan kekuasaan. Pseudo Bung Karno atau Sukarnois palsu ini yang banyak berkeliaran. Seperti kata Bung Karno sendiri, memakai nama Bung Karno untuk membunuh Bung Karno.
Bung Karno terlalu besar untuk ditaruh dalam kurungan nasionalis. Sukarno terlalu hebat untuk hanya disederhanakan sebagai seorang nasionalis. Bung Karno, sebagaimana kata-katanya sendiri, “Aku tegaskan dengan tanpa tedeng aling-aling, ya, aku Marxis.” Inilah yang seharusnya menjadi pemaknaan ulang atau pemahaman ulang terhadap Sukarno. Sukarnois adalah sebuah ideologi Marxis yang di-Indonesiakan, atau meng-Indonesiakan Marxisme, dengan tujuan utama adanya Sosialisme a’la Indonesia atau Sosialisme Indonesia untuk terwujudnya masyarakat adil dan makmur.***