AKHIR- akhir ini, ada suasana baru mengembirakan yang tengah tumbuh di tengah gerakan kiri kaum muda Indonesia. Suasana baru ini adalah mulai tumbuhnya minat dan hasrat yang menyala untuk membahas dan mengedepankan gagasan sosialisme a la Indonesia yang dipelopori oleh pendiri Indonesia, Sukarno. Sebagian dari tumbuhnya antusiasme terhadap Sukarno tampil dari pembicaraan tentang hal-hal permukaan seperti wibawa, ketegasan maupun jargon-jargon revolusionernya. Sebagian yang lain mulai mengarah pada hal yang substansial berkaitan dengan saripati gagasannya, yakni pembacaan tentang situasi Indonesia berdasar pada sudut pandang materialisme historis, materialisme dialektika dan rumusan sosialisme dalam konteks keindonesiaan.
Semua dari gagasan yang hadir di ruang publik ini memperlihatkan dukungan dan kecintaan atas ajaran-ajaran Sukarno dengan memperlihatkan keutamaannya. Berbeda dengan karya-karya aktual tentang Sukarno yang memperlihatkan kecintaan terhadap Sukarno dengan menunjukkan keutamaan dari gagasan beliau, tulisan ini adalah manifestasi dari kecintaan dialektik atas Sukarno dan ajaran-ajarannya. Kecintaan yang termanifes melalui gugatan atas kontradiksi pemikiran, posisi politik dan langkah-langkah Sukarno dalam mengusung Sosialisme Indonesia yang ia yakini.
Melalui gugatan atas Sukarno, maka kita dapat belajar dari kesalahannya dan mengusung kembali api dari gagasannya, yakni sosialisme, tanpa terjerembab dalam kesalahan yang sama. Mengingat sosialisme sebagai sebuah proyeksi politik dilahirkan kembali dan disodorkan dalam arena politik, melalui proses menyejarah yang tak henti dari kritisisme-diri dan gugatan atas praksis yang telah terbangun, bukan semata-mata penonjolan atas keistimewaan dari yang telah menjadi bagian dari sejarah. Seperti yang pernah diuraikan oleh filsuf Slovenia Slavoj Zizek, bahwa eksperimentasi sosialisme yang berlangsung di negara-negara Amerika Latin tidak membutuhkan dukungan dan pembelaan apologetik. Yang dibutuhkan menuju keberhasilan eksperimentasi sosialisme tersebut adalah gugatan keras dan kritik yang tajam untuk mendorong pada kemajuan eksperimentasi politik.
Tulisan ini setidaknya melihat ada hal yang patut dielaborasi terkait dengan bagaimana kita memahami sekaligus mengkritisi pikiran dan aksi politik Sukarno dalam biografi politiknya. Salah satu kekuatan sekaligus kelemahan dari gagasan Sukarno adalah terkait dengan karakter kiri sinkretik yang terus ia jalankan untuk membangun jalan sosialisme Indonesia. Kekirian sinkretik dari gagasan Sukarno adalah bagian dari pemikiran khasnya dibandingkan dengan para pemikir pergerakan kiri nasional di Indonesia.
Sinkretisme Sukarno bukanlah sebuah sinkretisme tanpa basis fondasi ekonomi-politik yang jelas. Di dasar pemikiran sinkretisme Sukarno, terbangun pemahaman sejarah berdasarkan gagasan materialisme historis, bahwa corak bangunan masyarakat adalah refleksi dari pertarungan sosial di antara kelas-kelas sosial untuk menguasai alat-alat produksi, yang mana di dalamnya terjadi konsentrasi kekuasaan dan akumulasi kemakmuran oleh kelas dominan dengan mengeksploitasi kelas-kelas sosial yang ada di bawah kendalinya. Singkatnya, dominasi kelas borjuis atas kelas proletar, buruh dan petani. Dalam corak masyarakat kapitalistik seperti ini, maka upaya untuk mengatasinya adalah dengan mengintroduksi gagasan politik revolusioner untuk mewujudkan tatanan sosialisme.
Membaca konteks sejarah era tahun 1920-an, di tengah konflik dan pertikaian antara kaum sosialis, Islam dan nasionalis dan surutnya dua organ politik utama pergerakan nasional yakni Sarekat Islam dan PKI, gagasan politik Sukarno tampil melalui ide pembelahan dan persatuan. Dihadapkan pada krisis absennya organ politik pergerakan sekitar tahun 1920-an, Sukarno mengusung pembelahan antara kaum reaksioner pro penjajahan dan kaum progresif revolusioner (di berbagai kubu baik komunis, nasionalis maupun Islam) yang tidak saja menggugat kolonialisme, namun juga kaum-kaum yang menggugat tatanan ekonomi-politik yang melandasi rezime kolonialisme, yakni kapitalisme dalam wujud imperialisme.
Dalam formulasi awal gagasan Sukarno yang tertera dalam tulisannya Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme, secara brilyan sinkretisme kiri berhasil meyakinkan kaum pergerakan dari berbagai corak ideologis untuk bersatu dan membangun organ politik revolusioner untuk mencapai Indonesia Merdeka berdasarkan pada perjuangan sosialisme. Eksperimentasi politik persatuan yang dituntun oleh corak gagasan marxisme dan sinkretik dari Sukarno, terbukti berhasil membangun strategi blok sejarah yang mempertemukan berbagai gugus ideologis dan kepentingan-kepentingan partikular dan sektoral dalam perumusan politik kolektif yang solid dan radikal. Dimana aspirasi persatuan nasional diletakkan dalam pembelahan kaum revolusioner dan kaum reaksioner, dan tujuan revolusioner untuk menuntaskan revolusi nasional dalam koalisi front nasional yang inklusif sekaligus radikal.
Problem dari praksis politik kiri-sinkretik Sukarno justru terjadi pada saat-saat yang menentukan, ketika langkah untuk mewujudkan Indonesia menuju sosialisme tengah berlangsung pada era tahun 1960-an. Dalam saat-saat yang menentukan seperti itu, Sukarno terlihat berada dalam kegalauan untuk merekonsiliasikan antara karakter sinkretik yang termanifes dalam jargon persatuan Indonesia, dan gagasan marxisme yang melihat bahwa dalam saat-saat menentukan dalam perjalanan sejarah, maka konflik sosial dan dialektika perbenturan antara aliansi-aliansi kelas sosial yang berbeda kepentingan melalui politik revolusi adalah sebuah jalan yang harus dilalui untuk mencapai emansipasi.
Apabila perjalanan sejarah mengenal kata ‘andaikata’, tentunya kudeta merangkak Suharto, penghancuran gerakan kiri maupun pembantaian 500 ribu sampai 3 juta nyawa manusia tidak perlu terjadi, ketika sejak awal Sukarno menginsafi bahwa dalam praksis politik pada akhirnya idenya tentang sosialisme a la Indonesia harus mengintervensi kenyataan dan siap akan konsekuensi radikal dan paling jauh dari impelementasinya. Justru jalan ini yang tidak ditempuh Sukarno. Ia malahan menghindarinya.
Ketika pada saat-saat menentukan seputar 1965, Sukarno berani untuk mengambil jalan kaum Jacobin di Revolusi Prancis, Lenin di Revolusi Rusia yang membersihkan revolusi dari pengaruh kaum Menshevik, maupun Abraham Lincoln dalam revolusi menentang perbudakan maka trajektori politik Indonesia kemungkinan akan tidak tersabotase oleh jalan politik kontra revolusi. Sebab sebuah cita-cita politik emansipatoris revolusioner haruslah siap dengan bayaran yang paling besar, seperti halnya sebuah cita-cita demokrasi untuk mengusung kesetaraan manusia. Seperti halnya ketika Abraham Lincoln menyatakan perang terhadap perbudakan, pelajaran yang dapat kita ambil adalah sebuah cita-cita demokrasi, kebebasan dan kesetaraan sosial membutuhkan determinisme politik dan sentralisme kekuasaan bukan kompromi politik.
Demikianlah kalau kita kembali kebelakang, apabila Sukarno sadar bahwa cita-citanya tentang Indonesia yang bersatu dan sosialisme tidak dapat direalisasikan semata-mata dengan kompromi politik semata, namun ada saat-saat yang menentukan dimana kenyataan sosial yang keras membutuhkan realisasi teoritik sampai ke arah yang paling radikal. Bahwa resiko dari mengedepankan ide Sosialisme Indonesia, maka harga yang harus dibayar adalah keberanian untuk menghadapi lawan-lawan ideologis gagasan tersebut sebelum berkembang menghancurkan bangunan revolusi itu sendiri. Kalau saja itu terjadi mungkin riwayat sejarah Indonesia akan belok kiri, tidak belok kanan.***
Penulis adalah pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga