DALAM perbincangan sehari-hari, Marxisme punya hubungan yang agak aneh dengan hedonisme. Di satu sisi, ada orang kebanyakan yang setidaknya pernah mendengar bahwa Marxisme didasarkan pada apa yang disebut filsafat ‘materialis’. Dalam pengertian ini, materialisme identik dengan sikap mementingkan ‘materi’, sebagai sikap yang tidak mengindahkan nilai-nilai luhur, sebagai sifat orang yang hanya mementingkan kesenangan diri sendiri. Di sisi lain, ada juga yang sedikit banyak sudah mengenal materialisme Marx. Yang ini biasanya yang paling cepat tanggap kalau dalam perbincangan sehari-hari mendapati ada yang menyematkan konotasi hedonis dalam istilah materialisme. Di antara kedua tanggapan ini, menurut saya, kita tidak bisa abai begitu saja terhadap hedonisme. Nyatanya Marx memang pernah punya hubungan dengan kaum hedonis. Tapi, ia bukan seorang hedonis dalam pengertian baik yang diterima atau ditolak dari ilustrasi di atas. Ia adalah seorang pemikir dari dunia Yunani Kuno, namanya Epikuros.
Dalam klasifikasi filsafat gaya hidup masa kini, Epikuros memang kerap dikelompokkan sebagai seorang pemikir hedonis. Sebagai pribadi, figurnya cukup disenangi oleh ideal-ideal urban kontemporer. Ia tidak menikah dan tidak punya anak, ia adalah seorang vegetarian, ia tidak berpolitik, dan sekolah filsafatnya berupa taman-taman dengan beberapa murid yang berdedikasi. Dalam sistem filsafatnya, hedonisme sebenarnya hanya salah satu turunan, persisnya cabang etika. Sebagai seorang naturalis, Epikuros percaya bahwa apa yang baik adalah apa yang selaras dengan alam. Kenikmatan, baginya, adalah keadaan ketika manusia bisa menyelaraskan diri dengan alam. Hal ini ditandai dengan tiadanya penderitaan; sebagian bersifat fisik (aponia) dan sebagian lagi bersifat mental, berupa kedamaian jiwa (ataraxia). Yang terakhir ini jauh lebih penting semenjak kenikmatan/penderitaan fisik hanya terkait apa yang hadir langsung, sementara kenikmatan (sekaligus penderitaan) mental/pikiran terkait dengan apa yang terjadi di masa lampau, masa kini, dan apa yang dibayangkan di masa depan. Ataraxia, lebih penting dari aponia. Pertanyaannya, bagaimana cara menyelaraskan diri dengan alam? Menurut Epikuros pertama-tama dengan menjadi masuk akal, alias menyesuaikan pikiran kita dengan apa yang Ada. Sebabnya setiap penderitaan berasal dari kekeliruan penilaian, atau tidak sesuainya pikiran dengan keadaan. Menjadi nikmat atau bahagia, adalah menjadi masuk akal atau sesuainya pikiran dengan ke-Ada-an. Ini sedikit yang dimaksud dengan etika hedonis Epikurean.
Ada dua teks utama yang bisa jadi rujukan ketika membicarakan hubungan Epikuros dan Marx. Teks pertama berasal dari disertasi Doktoral Marx yang ia rampungkan di usia duapuluh tiga tahun. Judulnya Perbedaan antara Filsafat Alam Demokritos dan Epikuros (1841). Demokritos, seperti Epikuros juga adalah seorang filsuf naturalis. Teks kedua, adalah catatan belajar Marx mengenai filsafat Epikuros yang merupakan bahan mentah disertasinya (1839). Dalam pengantar, Marx mengatakan bahwa disertasinya hanyalah karya pemanasan sebelum ia akan memeriksa secara detail kesalinghubungan antara filsafat Epikuros, kaum Stoik, dan kaum Skeptis dalam hubungannya dengan seluruh filsafat Yunani Kuno. Ini rencana yang tidak pernah Marx rampungkan. Namun terkait ketiga filsafat ini menarik juga melihat surat Marx ke Lassale jauh hari kemudian (tahun 1857), di mana ia mengatakan bahwa alasan utamanya untuk mempelajari ketiga filsafat ini adalah demi alasan politis, bukan filosofis [MECW, 40: 226]. Ini yang bisa menerangkan mengapa Marx mengatakan bahwa ketiga sistem filsafat ini jadi menarik karena bentuk subjektif dalam isi filsafatnya. Apa maksudnya?
Mari kita buka dengan Demokritos, “Dasar pertama dari alam semesta hanyalah atom dan ruang kosong, hal lain sekadar opini, sekadar penampakan” (MECW, 1: 79). Di antara dua jalan ini, baik filsafat alam Demokritos maupun Epikuros berangkat dari pengakuan atas atom dan kekosongan sebagai prinsip permulaan kajian alam semesta. Keduanya sama-sama mengakui atom sebagai substansi esa di permulaan alam semesta, sebelum adanya sifat indrawi (mahkluk hidup) dan nalar (manusia). Mudahnya, bayangkan saja sebuah titik di atas kertas kosong. Titik atau atom inilah yang jadi titik pijak bersama dalam menjelaskan alam semesta. Semua penjelasan harus bisa diturunkan dari titik pijak bersama ini. Itu kenapa filsafat keduanya bisa diperbandingkan. Sebutlah ini prinsip A. Titik pijak kedua yang merangkul filsafat mereka adalah pengakuan atom sebagai entitas yang tidak bisa di tangkap oleh pancaindra karena sebagai unsur terdasar semesta fisik, ia begitu kecil. Keduanya sepakat bahwa pancaindra kita amat terbatas dalam menjelaskan kenyataan secara utuh, dalam hal ini menangkap atom. Oleh sebab itu, pengetahuan kita atas atom, atas kenyataan, hanya bisa didapat lewat penalaran, lewat abstraksi, lewat konsep yang berangkat dari serapan indrawi. Sebut saja ini sebagai prinsip B. Lewat kedua prinsip ini coba kita lihat bagaimana keduanya menjelaskan atom sebagai dasar realitas.
Karena atom tidak dapat digapai pancaindra, maka pengetahuan dimulai dari manifestasinya, dari cara ia mengada, yakni sebagai gerak. Mengenai gerak, Demokritos dan Epikuros setidaknya sepakat tentang dua jenis gerak. Pertama adalah gerak jatuh dalam sebuah garis lurus; kedua gerak tolak menolak dari sejumlah atom. Bagaimana gerak ini dijelaskan? Agar sesuai dengan prinsip A, gerak mesti dijelaskan lewat kualitas inheren dari atom itu sendiri, dimana keduanya sepakat mengenai ukuran (magnitudo) dan bentuk (figura) sebagai kualitas inheren dari atom. Perbedaannya, kedua kualitas ini menurut Epikuros belum cukup menjelaskan gerak, ia hanyalah penjelasan lanjutan. Bentuk gerak pertama, gerak jatuh dalam sebuah garis lurus (atau atom sebagai ukuran) bermasalah dalam dua sebab. Sebab pertama, ia harus mengandaikan entitas atau atom lain yang menjadi penyebab gerak, berubahnya titik tunggal menjadi garis. Kedua, bila gerak ini tidak mengandaikan entitas atau atom lain, maka ia tidak memberi penjelasan soal gerak, atau malah mengubah atom itu sendiri menjadi garis. Menyamakan esensi dengan eksistensi. Jenis kedua, gerak tolak menolak dari sejumlah atom (atom sebagai bentuk), jelas-jelas mengandaikan adanya atom-atom lain dan dengan ini (lagi-lagi) menggagalkan prinsip keesaan atom. Dengan kata lain, kedua penjelasan ini melanggar prinsip A dan Demokritos belum mampu menjelaskan gerak dari berpegang hanya pada atom itu sendiri. Untuk menyelesaikan problem ini, Epikuros menambahkan satu lagi kualitas inheren dari atom, yakni bobot (pondus). Dengan adanya bobot, maka dalam prinsip yang ada hanya atom dan kekosongan, konsep gerak dapat dijelaskan dari atom itu sendiri. Apabila dua kualitas atom dan dua bentuk gerak yang diterima oleh Demokritos mengandaikan entitas lain, menjadikan gerak relatif atau tergantung pada entitas (i)material yang lain, maka kualitas bobot dalam atom dapat menjadi penjelas bagi gerak atau perkembangan dari dalam dirinya sendiri, sebagai negasi langsung atas ruang hampa. Adanya perkembangan atau gerak, jadi tidak relatif dengan entitas lain.
Dalam Demokritos, karena ia tidak mampu menjelaskan gerak dari dalam atom itu sendiri, dari kualitas yang inheren di dalamnya, maka sistem pengetahuannya mau tidak mau hanya dapat berhenti dalam penjelasan soal relasi antar fenomena-fenomena, soal ukuran-ukuran dan bentuk-bentuk. Kepada hal-hal ini sajalah seharusnya pengetahuan manusia diarahkan. Meski awalnya percaya bahwa atom adalah penyusun dasar realitas yang tidak dapat diketahui hanya bersandar pada cerapan indrawi, dan karena itu hanya ada dalam bentuk idea, ia kemudian menjadikan cerapan indrawi, yakni relasi antar fenomena, sebagai realitas itu sendiri. Menjadikan atom atau esensi realitas hanya sebagai konsep, sambil membuat cerapan indrawinya sendiri sebagai realitas; mereduksi kenyataan pada opini-nya tentang kenyataan. Ketika yang indrawi menjadi esensi realitas, maka cerapan indrawi seperti keniscayaan juga ditanamkan ke dalam realitas. Dengan ini, Demokritos menanam benih-benih empirisisme dan positivisme yang kini kita kenal sebagai paradigma dominan ilmu pengetahuan. Ini mengapa Cicero menyebutnya sebagai Manusia Sains. Tapi ini juga kenapa ia berkelana ke seluruh dunia mengumpulkan pengetahuan (belajar geometri ke Mesir, menemui Kaldean di Persia, berguru pada para Gymnosofia di India) dan kenapa kemudian di akhir hayat ia memutuskan membutakan matanya sendiri hanya agar cerapan indrawi tidak menghalangi ketajaman pemikirannya.
Di lain pihak, ada Epikuros kita yang berhasil menjelaskan gerak dari dalam atom itu sendiri. Ia tahu bahwa cerapan indrawi kita amat terbatas untuk mengetahui atom, dan karenanya seperti Demokritos, ia tahu bahwa kita hanya bisa mengetahui atom lewat pikiran, melalui abstraksi semata. Karena atom hanya ada dalam konsep, dan perkembangannya dijelaskan dari kualitas inherennya sendiri, maka ia tidak mengelirukan objek pengetahuan dengan objek riil, antara teori dan sejarah. Penjelasan yang utuh atas atom, atas kenyataan, tetap ia kunci sebagai objek pengetahuan dalam bentuk teoretis. Pengetahuan yang utuh atas realitas tertentu, karena itu, bagi Epikuros, hanya mungkin dalam bentuk sistem teoretis murni. Ia tidak mengubah pengetahuan atas kenyataan menjadi kenyataan itu sendiri. Ia tidak tertarik mencari hubungan kausalitas antar fenomena, dengan kesejarahan objek, karena dalam objek riil yang ada baginya hanya peluang. Dalam perbandingan yang sama dengan Demokritos, barangkali ini sebab kenapa Epikuros sang filsuf tak pernah jauh-jauh mencari pengetahuan. Sampai akhir hayatnya hanya sesekali ia keluar dari sekolah Taman untuk mengunjungi kawan lamanya. Ia, menurut Marx, tercukupi dan terberkati oleh filsafat. Menjelang ajal, daripada membutakan mata sendiri hanya agar tak terganggu cerapan indrawi seperti Demokritos, Epikuros memilih berendam di air hangat, meminta segelas anggur terbaik, lalu berpesan pada murid-muridnya untuk terus percaya pada kekuatan akalbudi menggapai dasar kenyataan.
Kalau diperhatikan, ada hipotesis kecil yang mau saya ajukan dari hubungan Marx dengan Epikuros ini, terutama bagi pembaca yang sedang mengkaji Kapital Marx. Dalam pengantarnya, Marx menulis begini “titik pijak saya—yang melaluinya perkembangan formasi ekonomi masyarakat dilihat sebagai suatu proses sejarah alam…”, kalimat ini menurut saya jelas menyatakan bahwa Marx sejak disertasinya sampai karya puncaknya masih bergerak dalam tradisi yang sama, tradisi naturalisme (lihat juga Manuskrip Paris). Kedua, yang paling penting, pembacaan Marx atas sistem teoretis Epikuros dan Demokritos terlihat sebangun dengan perbedaan antara metode analisis Marx dengan Ekonomi-Politik Klasik (dan dengan demikian tradisi sains modern dan karenanya Demokritos), dengan pembedaan antara metode penyelidikan dan metode penyajian dalam Kapital, antara struktur dan peristiwa, antara teori dan sejarah.***
01 Maret 2016