SETELAH produsen otomotif raksasa Ford, dan dua produsen elektronik terkemuka, Panasonic dan Toshiba menghentikan operasinya, pemerintah Indonesia dibayangi ketakutan akan gelombang relokasi industri.
Ancaman gelombang relokasi ini, menurut Menteri perdagangan, Thomas Lembong, disebabkan Indonesia kalah bersaing dengan negara sekitarnya yang telah bergabung dalam kerjasama perdagangan bebas dengan Uni Eropa, CEPA (Comprehensive Economic Partnership Agreement), serta dengan Amerika Serikat (Trans Pasific Partnership/TPP). Masih menurut Lembong, ketidakikutsertaan Indonesia dalam CEPA dan TPP, membuat Indonesia mengalami dampak trade diversion (pengalihan perdagangan). Trade diversion mengandaikan jika Malaysia dan Vietnam di satu pihak dan Amerika di pihak lain, melakukan perjanjian perdagangan bebas (FTA), maka impor Amerika akan lebih banyak berasal dari kedua negara tersebut. Sementara negara lain, seperti Indonesia mengalami kerugian karena kehilangan potensi ekspornya.
Hilangnya potensi pasar ekspor yang disebabkan tingginya tarif ekspor Indonesia dibandingkan Vietnam dan Malaysia, membuat produk-produk yang berproduksi di Indonesia menjadi tidak kompetitif di pasar Amerika dan Eropa. Situasi ini kemudian, mendorong korporasi-korporasi besar merelokasi pabriknya ke negara lain, terutama ke Vietnam dan Malaysia. Kedua Negara ini dinilai lebih menarik dan menguntungkan dibandingkan Indonesia.
Dalam kaitan itu, guna mencegah gelombang relokasi yang lebih besar, Lembong mengusulkan keterlibatan segera Indonesia ke dalam CEPA dan TPP. Namun, pertanyaannya apakah dengan terlibat dalam CEPA dan TPP, ada jaminan bahwa korporasi-korporasi itu tidak merelokasi pabriknya ke luar Indonesia? Apakah benar ketidakikusertaan dalam CEPA dan TPP merupakan penyebab utama keputusan korporasi-korporasi tersebut menutup lini produksi di Indonesia?
Footlose Industry
Sebagai akibat kebijakan Indonesia mengubah proses industrialisasi dari strategi substitusi impor ke promosi ekspor, serta dampak dari terjadinya relokasi besar-besaran industri Asia seperti Jepang, Taiwan, Korea, maupun Hongkong, akibat meningkatnya biaya produksi di dalam negeri, memasuki tahun 1985 Indonesia dilanda gelombang masuknya Penanaman Modal Asing (PMA)—sebagian besar ke industri elektronik. Namun seiring krisis ekonomi 1997-1998, sejumlah korporasi besar merelokasi basis produksinya ke luar Indonesia, khususnya Malaysia dan Vietnam.
Relokasi pabrik-pabrik di Indonesia ke Vietnam dan Malaysia sudah terjadi jauh sebelum kedua negara bergabung ke dalam CEPA dan TPP. Pada mulanya relokasi banyak terjadi pada industri tekstil dan sepatu (alas kaki), namun dalam perkembangan juga merambat ke industri eletronik. Salah satu kasus yang menarik perhatian adalah keputusan Sony Electronics Indonesia (SEI) pada tahun 2003 memindahkan pabriknya ke Malaysia.
Di samping alasan klasik seperti korupsi, pungli, panjangnya rantai birokrasi perizinan, infrastruktur dan menguatnya gerakan buruh, hengkangnya investor global dilatarbelakangi mulai terintegrasinya kawasan ASEAN ke dalam sistem jaringan produksi global (global production networks) atau juga rantai pasokan global (global supply chain) pada dekade 1990-an (Siow.Y.C, 2013). Jaringan produksi global adalah sistem produksi yang ditunjang oleh beberapa jaringan faktor produksi yang memiliki spesifikasi kemampuan produksi yang berbeda-beda dan terletak pada lokasi yang tersebar di seluruh dunia, namun di koordinasikan secara intens antara satu sama lain, guna menekan biaya produksi dan memperoleh profit maksimal.
Sebagai gambaran: sebuah perusahaan bernama Li&Fung dari Hongkong, mempunyai pelanggan dari jaringannnya yang berjumlah 8,000 sampai 10,000 pemasok (suppliers) yang tersebar di lebih dari 40 negara untuk memenuhi pesanan pakaian dari peritel AS, dimana kainnya ditenun di China, kancingnya dikerjakan Korea Selatan, dan penjahitannya di Guatemala. Contoh lainnya, Apple Inc, yang mengalihdayakan tiap-tiap 451 komponen proses manufaktur Ipod, ke seluruh jaringan perusahaan-perusahaannya yang luas, yang meliputi Amerika Utara dan Asia. Begitu pula Toshiba, mengalihdayakan produksi hard-drive, ke produsen-produsen kecil yang ada China dan Filipina.
Sistem produksi semacam ini berkaitan erat dengan footloose industry, yakni jenis industri yang dikembangkan semata-mata dengan mempertimbangkan biaya produksi murah dan tidak terikat oleh lokasi tertentu sehingga lebih fleksibel untuk dipindahkan ke daerah manapun yang dirasa lebih menguntungkan. Daerah yang dinilai menguntungkan adalah daerah yang mampu menyediakan bahan baku dan penolong murah. Dengan kata lain, keberadaan industri penunjang merupakan syarat mutlak dipilihnya satu daerah sebagai tempat relokasi.
Selama ini Indonesia, hanya mengandalkan upah buruh murah sebagai keunggulan komparatif untuk menarik investasi asing, tanpa pernah serius mengembangkan industri penunjang. Akibatnya industri di Indonesia mengalami ketergantungan bahan baku, penolong dan komponen lainnya dari luar. Jarak yang terlalu jauh—lintas negara—membuat harga komponen menjadi tinggi, yang mendorong biaya produksi meningkat. Dan ini, tidak mampu ditutup dengan menawarkan upah murah dan berbagai insentif pajak. Terlebih bila negara lain menawarkan insentif pajak lebih menarik dan upah buruh yang lebih murah, dengan gampang korporasi-korporasi tersebut merelokasi pabriknya.
Dalam berbagai sektor, industri penunjang tidak berkembang di Indonesia. Ini ditunjukkan dengan masih tingginya impor komponen, bahan baku dan penolong maupun barang modal. Ini merupakan salah satu penyebab Ford, Panasonic dan Toshiba menutup lini produksinya di Indonesia. Industri penunjang dari perusahaan-perusahaan tersebut berada di negara lain, maka pillihan paling logis adalah mendekatkan diri ke sumber bahan baku dan penolongnya. Ketiadaan bahan baku dan penolong di dalam negeri, disebabkan desain industrialisasi yang diterapkan pemerintah selama ini cenderung membiarkan tiap-tiap industri berjalan sendiri-sendiri, tanpa ada keterkaitan antara industri besar dengan industri kecil dan menengah.
Usul Lembong agar Indonesia segera bergabung dalam CEPA dan TPP, dengan demikian tidak menjamin terjadinya gelombang relokasi industri ke luar Indonesia. Sebab tidak berangkat dari akar masalah sesungguhnya, yaitu selama bertahun-tahun Indonesia tidak membangun industri dalam negeri dengan sungguh-sungguh. Hasil-hasil sumber daya alam yang dimiliki dijual mentah-mentah ke luar negeri, tanpa pernah berusaha mengolahnya terlebih dahulu di dalam negeri menjadi produk yang memiliki nilai tambah tinggi yang dapat menunjang industri besar yang ada di dalam negeri. Akibatnya tidak ada keterkaitan produksi antara berbagai sektor yang ada. Masing-masing sektor pertambangan, pertanian, jasa, keuangan dan manufaktur tumbuh secara terpisah,
Demikian, di Indonesia tidak pernah berlangsung proses industrialisasi sesungguhnya yaitu suatu proses perubahan sosial ekonomi yang mengubah sistem pencaharian masyarakat dari agraris menjadi masyarakat industri. Sebagaimana dikatakan Bung Hatta dalam bukunya Jalan ke Ekonomi dan Koperasi, “sebuah negeri dikatakan terindustrialiasi jika dasar perekonomiannya yang selama ini bersifat agraria (pertanian) sekarang ditukar menjadi industri.” Artinya, basis ekonominya telah berpindah dari pertanian ke industri, yaitu jika sebagian besar rakyat mengubah dasar penghidupanya dari bertani pindah memburuh ke dalam pabrik.
Di Indonesia, pada kenyataannya, sampai hari ini sektor pertanian masih menjadi sektor paling dominan dalam menyerap tenaga kerja, dibandingkan sektor-sektor lain. Disamping itu, sebagian besar penduduk Indonesia masih bermukim di pedesaan dimana mata pencahariannya adalah bertani dan beternak.
Merujuk pada pernyataan Bung Hatta, maka berbagai kawasan-kawasan industri dan pabrik-pabrik yang bermunculan di berbagai kota di Indonesia, belum dapat diartikan terjadinya industrialisasi, namun baru sebatas mengadakan industri di Indonesia.***