DI BULAN pertama pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), Indonesia dikejutkan dengan keputusan salah satu raksasa otomotif, Ford, yang menghentikan operasionalnya di Indonesia. Belum usai dengan berita Ford, kejutan berlanjut dengan keputusan Panasonic dan Toshiba melakukan penutupan beberapa lini produksinya.
Di dalam negeri, kalangan pengamat ekonomi dan pengambil kebijakan berdebat tentang turunnya daya saing Indonesia, maraknya korupsi dan pungli, upah buruh, serta panjangnya rantai birokrasi perizinan yang membuat iklim investasi menjadi tidak kondusif sehingga memicu hengkangnya investor-investor global tersebut dari Indonesia. Namun dari sekian banyak perdebatan tersebut, tak satupun dari mereka yang menyinggung tentang rantai pasokan dan rantai nilai global (global supply chain dan global value chain) sebagai penyebab hengkangnya raksasa otomotif dan elektronik dunia tersebut.
Model rantai pasokan telah menjadi arus utama dari sistem industrial dan perdagangan dewasa ini. Sistem rantai pasokan membentuk sistem jaringan yang kompleks, meliputi berbagai pemangku kepentingan baik di hulu maupun di hilir dan mencakup seluruh kegiatan dan layanan untuk membawa suatu produk atau jasa dari tahap perencanaan hingga penjualan di pasar akhirnya. Sebagai gambaran dari sistem produksi ini: sebuah perusahaan bernama Li&Fung dari Hongkong, mempunyai pelanggan dari jaringannnya yang berjumlah 8,000 sampai 10,000 pemasok (suppliers) yang tersebar di lebih dari 40 negara. Li&Fung memenuhi pesanan pakaian dari peritel AS, dimana ini berarti kainnya ditenun di Cina, kancingnya berasal dari Korea Selatan, dan penjahitannya dikerjakan di Guatemala.
Contoh terkemuka lainnya adalah iPod dari Apple, yang mengalihdayakan seluruh proses manufakturnya dari tiap-tiap 451 komponennya ke seluruh jaringan perusahaan-perusahaannya yang luas, yang meliputi Amerika Utara dan Asia. Begitu pula perusahaan multinasional semacam Toshiba, yang memproduksi hard-drive, sampai ke produsen-produsen kecil yang ada di negara-negara seperti Cina dan Filipina, yang tenaga kerjanya membuat atau merakit komponen-komponen kecil tapi penting bagi produk finalnya.
Pembentukan MEA terkait erat dengan rantai pasokan ini. Siow.Y.C (2013) membuktikan bahwa sejak memasuki awal dekade 1990-an, kawasan ASEAN sesungguhnya telah terintegrasi penuh ke dalam sistem rantai pasokan global. Ini tercermin dari pertumbuhan perdagangan produksi jaringan suku cadang dan komponen dan produk rakitan final. Saat ini, Singapura dan Filipina mempunyai persentase tertinggi atas komponen dan bagian di dalam ekspor dan impornya. Singapura sebesar 57 persen dan 54 persen, sementara Filipina sebesar 56 persen dan 64 persen. Sementara Malaysia, Jepang, Korea dan Thailand persentase industri mesinnya dalam ekspor dan impornya melebihi 50 persen, sedangkan industri komponen dan bagiannya melebihi 30 persen.
Selain itu, keterkaitan ASEAN dengan jaringan rantai pasokan global telah membuat industri otomotif di kawasan ini berkembang dengan cukup pesat. Meskipun penjualan kendaraan di ASEAN menurun hingga hanya sebanyak 450.000 unit akibat krisis ekonomi pada tahun 1988, tetapi pulih kembali di tahun 2003, dengan mampu menjual sekitar 1,380,000 unit kendaraan.
Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi Negara-negara di kawasan Asia Tenggara, produksi otomotif di kawasan ini mengalami kegairahan kembali. Indonesia dan Thailand merupakan dua negara di ASEAN yang cukup gencar menarik perusahaan otomotif dunia berinvestasi ke wilayahnya. Thailand, misalnya, sedang berusaha menjadi “Detroit dari Asia” dan membangun posisinya sebagai dasar hub di wilayah negara-negara Asia Tenggara.
Menyusul rencana tersebut, produsen mobil Toyota mengumumkan proyek Innovative International Multipurpose Vehicle (IIMV). Proyek ini direncanakan untuk membangun sistem kompensasi yang saling menguntungkan dengan negara-negara ASEAN seperti Thailand, Indonesia, Malaysia, Filipina, Vietnam, plus India. Proyek ini berusaha untuk memperluas penggunaan efektif dari basis produksi, memperkuat tingkat operasi pabrik lokal, dan meningkatkan penjualan. Tujuan utama lainnya adalah produksi mobil strategis dengan desain umum di seluruh dunia di Asia Tenggara, Amerika Selatan, dan Afrika Selatan. Sementara itu Honda memproduksi lima jenis kendaraan, Accord, Civic, City, CRV, dan Streaming di Indonesia.
Indonesia, dengan populasi terbesar di kawasan ini, terlihat tengah memperkenalkan kebijakan untuk mendorong produksi dan penjualan kendaraan murah karena bertujuan untuk memaksimalkan pertumbuhan kendaraan dan membangun industri manufakturnya. Di sisi lain, negara-negara seperti Malaysia, Filipina dan Vietnam sedang mencari strategi untuk menjadi bagian dari supporting dari industri otomotif Korea, terutama bagi pengembangan kendaraan ramah lingkungan, seperti mobil listrik dan hybrid.
Untuk mempercepat pertumbuhan Indonesia sebagai basis produksi industri otomotif dan elektronik, serta mengintegrasikan dirinya secara penuh dalam sistem rantai pasokan otomotif global, Indonesia dituntut membangun industri penunjang untuk mendekati berbagai perusahaan produksi besar. Namun pada kenyataanya, industri penunjang di berbagai sektor tidak berkembang. Ini ditunjukkan dengan masih tingginya impor komponen, bahan baku dan penolong maupun barang modal. Berdasarkan kode HS 10 digit selama Januari 2010 – April 2014 menunjukkan ada 9.023 produk hasil industri yang diimpor ke Indonesia. Apabila dikelompokkan berdasarkan Broad Economic Categories (BEC), impor dominan sebesar 66,70 persen adalah bahan baku dan penolong. Porsi lainnya diisi kelompok barang modal dengan pangsa 26,73 persen dan kelompok barang konsumsi dengan pangsa 6,57 persen. Produk impor untuk tiga kelompok barang tersebut paling banyak berasal dari China, yakni porsinya 17,53 persen untuk bahan baku, 27,64 persen untuk barang modal, dan 24,13 persen untuk barang konsumsi.
Tidak berkembangnya industri penunjang, merupakan salah satu penyebab hengkangnya Ford serta Panasonic dan Toshiba menutup beberapa lini produksinya di Indonesia. Karena industri-industri penunjang dari perusahaan-perusahaan tersebut berada di luar Indonesia, maka pillihan paling logis bagi mereka yakni mendekatkan diri ke industri penunjangnya yang berada di negara lain. Sementara Indonesia ditempatkan hanya sebagai pasar dari produk final mereka.
Pada sisi lain, tidak berkembangnya industri penunjang disebabkan Indonesia selama ini tidak membangun industrialisasi dengan sungguh-sungguh. Hasil-hasil sumber daya alam yang dimiliki dijual mentah-mentah ke luar negeri, tanpa pernah berusaha mengolahnya di dalam negeri menjadi produk yang memiliki nilai tambah dan dapat menunjang industri besar. Ini membuat Indonesia menjadi negara yang tergantung pada sektor primer yang terbatas kapasitasnya untuk memberikan kontribusi kepada pembangunan ekonomi di masa depan. Dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan Indonesia digerakkan oleh lonjakan perdagangan komoditas global.
Akibat dalam sistem rantai nilai dan pasokan global, posisi Indonesia hanya menjadi sub-bagian saja, yakni menjadi bagian pemasok bahan-bahan mentah dan komoditas pertanian (di bagian hulu) untuk industri-industri di luar (negara lain), serta menjadi pasar bagi barang-barang jadi dari industri luar (hilir). Nilai tambah yang didapat masihlah di tingkat komoditas mentah atau setengah jadi, bukan sebagai industri pengolah, yang menyebabkan Indonesia masuk dalam jebakan ‘perangkap komoditas’.
‘Perangkap komoditas’ berakibat pada lambatnya industrialisasi, pembangunan, dan kedewasaan dalam mengambil manfaat dari pasar global. Sektor manufaktur Indonesia dalam beberapa tahun terakhir memperlihatkan perkembangan yang kurang positif. Pemerintah Indonesia dinilai terlalu terlena dengan pertumbuhan komoditas primer, sehingga tidak serius mengatasi masalah-masalah fundamental yang di sektor manufakturnya.
Pertumbuhan Indonesia yang masih mengandalkan sektor primer ini juga menunjukan bahwa cara produksi Indonesia masih sangat terbelakang, yakni di mana negara-negara berkembang mengeskpor bahan mentah ke negara industri maju untuk kemudian diolah, dan hasil olahannya di ekspor kembali ke negara berkembang (perdagangan komoditi). Agaknya ini pula yang membuat Indonesia tidak terintegrasi penuh ke dalam rantai pasokan global, sehingga menyebabkan Ford, Panasonic dan Toshiba menghentikan operasionalnya di Indonesia. ***