APABILA ada yang bertanya, apakah bukti atau dimana letak situs kelahiran Marxisme sebagai sains? Tampaknya tidak keliru kalau kita menunjuk Kapital, sebagai jawabnya. Sebuah adikarya dari sang pendiri, guru dari semua guru sebuah tradisi pemikiran dan politik yang bersetia dengan metode berpikir dan temuan-temuan revolusionernya; Karl Marx. Hanya dalam karya ini kita bisa menjumpai Marxisme sebagai sains utuh yang merentang mulai dari pertanyaan, metode, penyelidikan empiris, pembangunan kategori konseptual, perampatan hukum-hukum, dan terutama pendirian sistem logis yang merangkum keseluruhannya. Konon, hanya dalam detail-detail empirisnya saja kita—yang tidak sedang berupaya membangun sistem pemikiran baru—bisa menambal kekurangannya tanpa merevisi atau menjadikannya eklektik. Membaca Kapital, karena itu akan menjadi pengalaman yang sangat berbeda dari pengalaman kita sebelumnya membaca buku pengantar teori atau hasil penelitian tertentu yang sekarang banyak bermuara pada teori tingkat menengah yang cakupan penjelasannya lebih terbatas. Dalam Kapital yang akan kita temui bukan poin-poin kesimpulan soal apa sains marxis itu, melainkan runtutan penjelasan soal bagaimana sains itu dibangun.
Karya ini, seperti kita tahu belum begitu dikenal di Indonesia. Penerbitan terjemahannya hadir duabelas tahun silam di tahun 2004, terpisah satu setengah abad dari kelahiran pertamanya di Jerman. Ini adalah pencapaian hebat jika kita membandingkan dengan nasib karya-karya tokoh Ekonomi-Politik Klasik lain seperti Adam Smith atau David Ricardo yang hingga kini tak akan kita temui di pasar buku di Indonesia. Jadi, hal pertama yang harus diingat bagi para pembaca Kapital di Indonesia adalah kenyataan bahwa kita memiliki sebuah karya dengan sub-judul “Kritik atas Ekonomi-Politik”, tanpa Ekonomi-Politik yang justru dikritiknya. Kedua, karya ini sudah benar bila dikatakan sebagai ‘karya puncak’ Marx. Namun arti ‘karya puncak’ disini akan lebih jelas bila kita menyadari bahwa Kapital adalah satu-satunya karya yang lahir dari proyek seumur hidup Marx; Kritik atas Ekonomi-Politik. Ia adalah karya puncak, sekaligus satu-satunya karya utuh yang lahir dari proyek ini. Dengan pembacaan kronologis seperti ini, karya Marx yang lain mesti dilihat sebagai proses pematangan (dan penyisihan) gagasan-gagasan yang nantinya akan tertuang dalam Kapital dan bukan sebaliknya.
Sulit mencari keterangan kapan tepatnya karya ini pertamakalinya hadir di Indonesia. Kemungkinan pertama,Kapital bersama teks-teks Marxis lain kemungkinan besar telah hadir sejak awal abad-20 dalam bahasa Belanda. Kemungkinan kedua, ia hadir menjelang Agustus 1945, ketika banyak literatur Marxis dikirim lewat laut. Pengiriman ini menurut Sudharsono (2009) dilakukan dengan cara memasukkan teks-teks itu ke dalam kaleng-kaleng makanan dari Belanda lewat cara dititipkan ke pelaut-pelaut Indonesia yang banyak bekerja di kapal-kapal Belanda. Bagaimanapun, Marxisme yang dikenal di Indonesia zaman kemerdekaan adalah Marxisme yang belum begitu akrab dengan teori. Hal ini terlihat misalnya dari pernyataan Njoto di era itu;
“selama seperempat abad sedjak berdirinja, Partai kita sebagai Partai di salah satu negeri djadjahan, hampir-hampir tidak bisa beladjar teori sama sekali. Baik kaum kolonialis Belanda maupun kaum fasis Djepang mengadakan blokade dan embargo jang rapat terhadap setiap lektur progresif. Sampai-sampai bibliotik museum jang dikatakan ‘obyektif’ dan ‘ilmiah’ tidak boleh mempunjai buku-buku Marx dan Engels. Demikianlah buku-buku klasik ketika itu hanja bisa dihitung dengan djari tangan sebelah, sebagai hasil dari usaha-usaha penjelundupan…” (Sudharsono, dalam Chambert-Loir (peny.), 2009: 701)
Kekurangan ini dikemudian hari ditanggulangi dengan dibentuknya Komisi Penerjemah Partai dan Yayasan Pembaruan sekitar tahun 1950-51. Banyak karya Marx-Engels yang diterjemahkan oleh kedua badan ini, namun tidak ada keterangan yang bisa didapat tentang kapan persisnya penerjemahan Kapital dimulai. Hasil terjemahan Kapital jilid 1 yang belum rampung malah hadir pertamakali dalam bentuk stensilan di masa-masa pelarian setelah peristiwa’65. Terjemahan ini menurut Sudharsono, dikerjakan oleh eks-mahasiswa yang dulu berada di Eropa Timur (ibid: 712).
Di luar usaha penerjemahan, menarik mencatat peran Semaun, melalui beberapa karyanya di tahun 1960-an terutama yang berjudul Tenaga Manusia: Postulat Teori Ekonomi Terpimpin. Karya ini adalah buku yang diterbitkan setelah beliau diangkat sebagai Doktor Honoris Causa dalam bidang Ilmu Ekonomi di Universitas Padjadjaran tahun 1961. Selama masa pembuangannya di Uni Soviet, Semaun memang pernah mengenyam pendidikan ilmu ekonomi Marxis di Universitas Taskent dan perguruan tinggi Vostokowedjenjia. Bekal ini yang menurut beliau menjadi dasar penulisan karyanya yang dilatarbelakangi oleh dua hal, alasan keilmuan dan alasan sosio-politis. Dalam bidang ilmu, Dr. Semaun merasa cukup prihatin dengan ketimpangan isi buku-buku ajar ilmu ekonomi zaman itu yang amat didominasi oleh buku-buku ‘ekonomi liberal’. Sedang alasan sosio-politiknya ialah upaya untuk menyumbang pemikiran teoretis yang bisa menjadi landasan Usdek Bung Karno.
Jika menengok paparan yang tersaji dalam Tenaga Manusia, kita akan segera menyadari bahwa buku ini adalah karya ilmiah pertama di Indonesia yang mendasarkan diri secara kritis terhadap Kapital Marx. Hal ini terlihat misal dari daftar isi buku berikut:
Di dalam Tenaga Manusia, Semaun berusaha mendekati persoalan Ekonomi Negara melalui kategori-kategori konseptual khas Marxis. Semaun juga sedikit membahas metode Marx yang disebutnya menggunakan metode induksi (hal. 124). Selain itu beliau juga mengajukan beberapa penemuan baru mulai dari rumusan mengenai perbedaan besar-kecilnya upah pada umumnya sampai teori asal-usul perlengkapan materiil dan persenjataan negara sebagai pecahan nilai-lebih. Satu hal yang sedikit mengganjal dalam penemuan Semaun ini adalah soal beliau yang tampak menolak teori nilai Marx ketika menyatakan bahwa “segala hal atau faktor yang pada jarak dan jangka waktu antara tempat-tempat membikin (memproduksi) dan tangan konsumen harus harus diperhitungkan dan dimasukkan dalam nilai, dan juga dalam nilai perlebihan yang merupakan sumber keuntungan itu” (hal. IV & 116). Sumbernya saya kira berasal dari pembahasan beliau sebelumnya mengenai nilai-lebih ketika menyatakan “Jadi, nilai perlebihan sebagai sumber keuntungan dapat diperoleh hanya sesudah barang yang diprodusir itu dipakai oleh konsumen, dan tidak melulu dari tempat membuatnya barang itu”. Sepertinya disini beliau mengelirukan antara sumber nilai komoditi—yang bersumber dari curahan kerja manusia—dengan realisasi nilai komoditi yang memang berada dalam aras sirkulasi dan konsumsi.
Kembali ke masalah penerjemahan, saya menemukan sebuah catatan kaki menarik dari artikel Fritjof Tichelman, “Marx and Indonesia: Preliminary notes” (1983). Disitu diungkapkan bahwa satu salinan terjemahan awal Kapital jilid 1, diterima oleh Institut Sejarah Sosial (Institute of Social History), Amsterdam tahun 1979 dengan label “non-resmi”. Dari wawancaranya dengan Dr. Go Goen Tjwan (April 1983), dikatakan bahwa terjemahan dilakukan di sebuah desa terpencil di Cina, menggunakan edisi Rusia dan Hungaria yang kemudian di cek lagi dengan edisi Jerman (MEW, 23). Dalam kopian itu para penerjemah juga menyertakan biografi pendek Marx yang ditulis Lenin dan meminta maaf atas kekurangtahuan mereka baik dalam aspek bahasa maupun aspek keilmiahan. Keterangan ini setidaknya menambkan sedikit soal aspek penerjemahan Kapital yang bisa kita tahu berasal dari penerjemah ulang dan final ketiga jilid buku Kapital, Oey Hay Djoen. Oey menuliskan “Kapital buku pertama ini diterjemahkan—oleh team penejemah ‘teman-teman di Eropa’—dari bahasa Hongaria dan Rusia. Kemudian dicocokkan dan disesuaikan dengan edisi bahasa Jerman…”. Tidak ada informasi soal waktu penerjemahan, namun dalam keterangannya Oey Hay Djoen mengatakan mencocokkan lagi terjemahan yang sudah ada dengan satu lagi edisi Kapital berbahasa Belanda serta dua edisi berbahasa Inggris (Foreign Languages Publishing, Moscow & Penguin Classics).
Kapital: Sebuah Kritik Ekonomi Politik, pada akhirnya benar-benar terbit dengan utuh di tahun 2004 berkat penerbit Hasta Mitra. Buku jilid kedua dan ketiga juga segera menyusul di tahun-tahun setelahnya. Pasca penerbitan ini, sejauh yang saya ketahui baru lahir tiga buku kajian mandiri yang sampai saat ini saya kira agak didiamkan dan kurang mendapat apresiasi yang layak, Kapitalisme: Perspektif sosio-historis, (Ultimus: 2010), Genealogi Kapital (Resistbook: 2012), dan Asal-usul Kekayaan (Resistbook: 2014) oleh Dede Mulyanto dan Martin Suryajaya. Ketiganya bila kita periksa adalah kelanjutan tradisi kajian mendalam atas Kapital yang telah dimulai sejak era Semaun. Bersama dengan Tenaga Manusia, karya-karya ini belaka yang bisa jadi ‘pengantar’ kita untuk berkenalan langsung dengan keluasan pemikiran Ekonomi-Politik Marx.
Demikian catatan terbatas soal Kapital dan penerimaannya di negeri ini. Seperti yang bisa dilihat, karya ini dapat dibilang produk kontemporer yang lahir di awal abad-21. Ia lahir tidak begitu jauh, barangkali hanya sama ‘kuno’-nya dengan masa ketika kita pertama kali mengenal Friendster.***
2 Februari 2016