Ilustrasi oleh Andreas Iswinarto
SETAHUN lebih pemerintahan Joko Widodo berkuasa, sudah dengan tepat meringkus 10 tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY): pemerintahan yang berjalan tanpa arahan yang jelas, anggota kabinet yang bergerak liar tanpa kontrol, pembiaran atas aksi-aksi kekerasan terhadap kalangan minoritas, pelemahan lembaga KPK, hingga impunitas berkelanjutan terhadap tindakan pelanggaran HAM oleh TNI dan Polisi terhadap warga Papua dan warga miskin di seluruh pelosok tanah air.
Bukan berarti tak ada ketegasan sama sekali. Pada masa SBY Anda boleh bertindak bebas sejauh tidak menyentuh soal pribadi dan keluarganya. Sekali ini disinggung, maka hukum berjalan tanpa pandang bulu. Sementara itu, pada Jokowi, sejauh ambisinya untuk membangun sarana instruktur tidak diganggu, maka Anda boleh berteriak dan bertindak apa saja (kecuali pada kasus Ongen Sangaji).
Mau bukti? Apakah Jokowi peduli dengan pengusiran terhadap sekelompok warga yang bergabung dalam organisasi Gafatar atau kalangan pengikut Ahmadiyah, yang dituduh sebagai sesat dan menyesatkan? Ada tapi sekadar himbauan. Apakah Jokowi bersuara soal perlakuan keji aparat keamanan terhadap rakyat Papua yang menyuarakan aspirasi kemerdekaan? Tidak sama sekali. Apakah Jokowi berkomentar soal pembunuhan dan tindak kekerasan terhadap petani yang melawan akibat tanahnya digusur oleh TNI/Polisi yang sudah dibayar oleh korporasi? Tidak sama sekali. Apakah Jokowi memberikan arahan/teguran kepada menteri-menterinya yang melemparkan pernyataan-pernyataan rasis dan diskriminatif terhadap kalangan LGBTQ? Tidak sama sekali. Apakah Jokowi memberikan teguran kepada Ahok yang dengan pongahnya mengerahkan ribuan TNI/Polisi untuk menggusur rakyat miskin di Jakarta? Tidak sama sekali.
Jika dalam pelanggaran akan hal-hal paling fundamental dalam berbangsa dan bernegara ini Jokowi membisu, tidak demikian jika sudah bersentuhan dengan soal infrastruktur. Ia rajin sekali menyampaikan informasi soal pembangunan kereta cepat, pembangunan jembatan, pembangunan jalan tol, atau perlunya membersihkan sampah di sekeliling.
Bukan berarti apa yang menjadi perhatian Jokowi ini tidak penting, tetapi ia telah membalik 360 derajat prinsip utama berbangsa: “…membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,…” Amanat UUD 1945 itu dengan jelas menempatkan bahwa manusialah, rakyatlah, yang utama, yang harus dimuliakan dan didahulukan ketimbang masalah infrastruktur.
Tentu akan ada yang mengatakan,’Ah Anda saja yang tidak tahu bahwa Jokowi sudah berusaha memberikan arahan, petunjuk, dan perintah kepada anggota kabinetnya, termasuk TNI dan Polisi.’
‘Lalu mengapa arahan, petunjuk, dan perintah itu tidak dikerjakan oleh bawahannya?’
‘Oh, itu dua soal yang berbeda. Kritik Anda kan bukan soal apakah arahan, petunjuk, dan perintah itu dilaksanakan atau tidak?’
Jika demikian soalnya, maka presiden berarti tidak memiliki cukup kekuatan politik untuk mengendalikan aparaturnya agar bekerja sesuai dengan visi dan misinya. Tetapi, diskusi ini, jika diteruskan, berasumsi bahwa memang presiden masih setia dengan visi-misinya, yakni Nawacita yang dikemukakannya dalam masa kampanye. Namun, bagaimana jika presiden sendiri telah memunggungi Nawacita tersebut?
Ini bukan pertanyaan serampangan, tetapi sudah sering terjadi dalam banyak kasus di banyak negara. Sebagai contoh, calon presiden Argentina Carlos Menem, dalam kampanye presiden 1989, getol menyuarakan isu-isu populis, anti kebijakan penyesuaian struktural pesanan IMF dan Bank Dunia. Isu populisme ini dengan cepat diterima oleh rakyat Argentina yang sedang diterpa krisis saat itu, dan Menem terpilih jadi presiden. Tetapi, begitu berkuasa Menem menjadi presiden Argentina yang paling agresif menerapkan kebijakan neoliberal. Hal serupa juga dilakukan oleh calon preisden Peru keturunan Jepang, Alberto Fujimori, yang menjual isu-isu populis selama masa kampanye dan ketika terpilih sebagai presiden pada 1990, ia menjadi sekondan Menem ketika sudah berkuasa. Atau bagaimana SBY melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan Menem dan Fujimori selama 10 tahun ia berkuasa. Antara janji kampanye dan pelaksanaannya ketika telah menjadi presiden bertolak-belakang.
Di sini, kemudian, kita harus meletakkan subjek Jokowi sebagai presiden ini dalam konteks struktural perkembangan kapitalisme saat ini. Melihatnya sebagai pribadi yang ingkar janji, sama sekali tidak membantu kita dalam memahami kekisruhan saat ini. Di tengah kondisi ekonomi yang tak kunjung pulih seperti masa sebelum krisis 1997, dipadani dengan terpaan krisis ekonomi dunia pada 2007 sebagai akibat dari penerapan dogma neoliberalisme dan finansialisasi ekonomi, Jokowi ternyata tak cukup tangguh mengawal gagasan Nawacitanya. Kondisi struktural ini memaksanya untuk tunduk pada resep-resep pemulihan krisis ala neoliberal seperti yang sudah dijalankan oleh SBY, tetapi dengan lebih bertenaga. Jokowi ingin sekali membuktikan kepada para – meminjam istilah sosiolog William I. Robinson – oligarki transnasional dan kolaborator domestiknya, bahwa pemerintahannya lebih efektif dan efisien dalam melaksanakan mandat neolioberalisme ketimbang yang lain.
Lalu apa kaitannya dengan segala rupa pengabaian terhadap amanat pembukaan UUD 1945, seperti yang disebut di atas? Apakah memang neolioberalisme senantiasa membutuhkan tumbal seperti itu? Jawabannya adalah ya. Eksperimen neoliberalisme yang pertama di dunia dilaksanakan di Chile di bawah komando kediktatoran militer Augusto Pinochet dan ekonom-ekonom “Chicago Boys.” Eksperimen ini hanya bisa berlangsung efektif setelah jenderal Pinochet mengkudeta pemerintahan terpilih melalui pemilu demokratik, Salvador Allende, yang diikuti dengan pembantaian sekitar 4 ribu warga Chile, terutama para aktivis partai pendukung Allende, aktivis serikat buruh, serikat tani, dan guru. Belum terhitung jumlah penduduk yang dihukum penjara atau terpaksa mengasingkan diri ke luar negeri. Di Inggris, ketika perdana menteri Margaret Tacther memulai proyek neoliberalismenya, maka hal pertama yang dilakukannya adalah menghancurkan kekuatan serikat buruh tambang terkuat, National Union of Mineworkers (NUM) pada 1985. Kekalahan NUM ini kemudian segera disusul oleh melemahnya secara signifikan kekuatan serikat-serikat buruh Inggris lainnya, sekaligus menandai kemenangan Thatcher dan partai konservatif. Demikian juga di Amerika Serikat, ketika presiden Ronald Reagan mencanangkan agenda neoliberalismenya, maka hal pertama yang dilakukannya adalah menghancurkan salah satu serikat buruh terkuat, yakni The Professional Air Traffic Controller (PATCO) pada 1981. Hancurnya PATCO menjadi titik balik kemunduran yang sangat signifikan bagi gerakan buruh di AS.
Tapi, bagaimana menghubungkan neoliberalisme dengan aksi-aksi kekerasan terhadap kelompok-kelompok minoritas yang mengemuka selama ini? Pengalaman Turki bisa menjadi wawasan yang penting dipelajari. Seperti dicatat oleh Özgür Öztürk (2015), tahun 1980 menjadi titik balik bagi kapitalisme Turki dari yang sebelumnya berorientasi ke dalam menjadi berorientasi ke luar (baca: neoliberal). Perubahan orientasi ini ditandai oleh dua proses yang saling berkaitan: pertama, represi sistematis terhadap kelas pekerja selama “liberalisasi ekonomi” dan kedua, junta militer mempromosikan Islamisme sebagai cara untuk menghancurkan kekuatan kiri di level ideologi. Melalui Islamisasi secara bertahap ini, maka bukan saja organisasi-organisasi Islam yang berpengaruh berhasil dikooptasi negara, tapi juga nilai-nilai Islam secara perlahan diinjeksikan ke dalam masyarakat Turki yang sekuler.
Kesimpulannya, pelanggaran terhadap prinsip berbangsa yang fundamental saat ini, yang diimbuhi dengan kampanye sistematis untuk mendiskriminasi kalangan minoritas dengan menggunakan isu-isu keagamaan, tidak lain merupakan upaya sistematis untuk menghancurkan kekuatan rakyat pekerja. Sebab hanya dengan begitu, maka negara bisa memaksakan pelaksanaan kebijakan-kebijakan neoliberalisme yang agresif dengan leluasa. Dan Jokowi, sebagai presiden, adalah orang pertama yang harus bertanggung jawab untuk semua ini.***