PADA tahun 1977, terdengar gema pidato kebudayaan dari mulut seorang Mochtar Lubis yang berjudul Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban. Pidato yang disampaikan di Taman Ismail Marzuki (TIM) ini berkisah tentang watak dasar manusia Indonesia yang setidaknya terangkum dalam enam jenis: hipokrit, enggan bertanggungjawab, berperilaku feodal, percaya takhayul, artistik, dan lemah watak.
Konon, Mochtar melantunkan khotbahnya itu dengan keras, berapi-api, dan penuh kecaman. Ia mengecam segala bentuk kekolotan manusia sebangsanya di tengah kredo pembangunan yang saat itu tampil mewah dengan pernak-pernik khas modern. Kekolotan adalah wajah “manusia Indonesia” yang bersemayam dalam pelukan hangat “bidadari pembangunan”.
Dalam situasi ‘aman’ dan ‘tertib’ kala itu―karena represi dan teror negara―, pidato Mochtar menjadi sentilan keras yang membuat kuping ‘manusia Indonesia’ kepanasan. Tak syak lagi, sentilannya dilayangkan kepada insan Orde Baru―sebagai konfigurasi ‘manusia Indonesia’-nya Mochtar―yang terbuai oleh manisnya kemajuan industri, namun lupa bahwa diri justru kian menjadi bakhil dan primitif.
Sebuah pidato besar, yang disampaikan oleh seorang yang juga besar. Ia menghadirkan sebuah diskursus tentang ‘diri’ pada jamannya, di saat yang lain kesilauan oleh terang lampu pembangunan kapital.
Namun begitu, pidato Mochtar bukan tanpa kritik. Di balik kehebatan pidato Manusia Indonesia, ternyata di dalamnya menyimpan kecacatan yang justru tak kalah hebat. Ada dua kecacatan dalam pandangan Mochtar, yakni pada level epistemologis dan aksiologis. Pertama, pada level epistemologis, pandangan Mochtar terjebak pada stereotipe dan generalisasi. Ia menempatkan ciri manusia Indonesia sebagai sesuatu yang esensial: melekat dan abadi. Seakan-akan, enam watak di atas telah ada (given) secara ilahiah dan baku (tidak berubah-ubah). Ia hanyut dalam cara berpikir yang berdasarkan prasangka. Kita tahu, prasangka melahirkan manifestasi terburuk dalam pergaulan umat manusia dan menelan banyak korban: rasisme.
Stereotipe dan generalisasi adalah pusaka ampuh yang dipakai kolonial untuk menginjeksi kesadaran pribumi agar selalu merasa rendah diri (inlander) dan menjadi mudah diatur. Sehingga setiap bentuk eksploitasi, dari yang paling subtil sampai yang vulgar, diterima apa adanya (taken for granted).
Padahal, manusia berada dalam proses sejarah yang tidak statis melainkan bergerak dinamis. Ia terus menerus bergulat dalam ruang dan waktu yang konkret dan senantiasa berganti tampang. Kebergantian tampang inilah yang ikut menyertai bergantinya watak manusia. Watak manusia terus berubah seturut terjadinya perubahan penting dalam sejarah. Ia tak berada dalam ruang hampa dan ruang eksakta. Sungguh keliru mengatakan watak manusia Eropa paska Renaissance idem dengan watak manusia Abad Pertengahan. Atau manusia Indonesia paska kemerdekaan adalah copy-paste dari manusia jaman kolonial.
Kedua, kekeliruan epistemologis ini melahirkan efek domino terhadap kekeliruan aksiologisnya. Kalau benar watak dasar yang disebutkan oleh Mochtar, maka hanya dibutuhkan ‘industri kebajikan’ yang rajin memproduksi nasehat-nasehat atau kalimat-kalimat motivasi sebagai solusinya. Kalau begitu, maka tidak diperlukan sistem politik, transisi kepemimpinan, apalagi debat-debat gagasan yang bikin urat mengencang. Semua itu tereduksi menjadi sejumput kata-kata indah―yang tak jarang puitis―demi mengubah watak lama. Super sekali!
Persoalan kedua inilah yang kian kemari kian menampakkan wujudnya yang paling gamblang. Sejurus booming-nya media sosial, muncul dan bertebaran ‘industri kebajikan’ dalam bentuk ‘akun-akun’ dengan bermacam nama dan tagline. Gemerlap dunia maya makin menampilkan konfigurasi masyarakat―khususnya perkotaan―yang doyan memproduksi dan mengonsumsi kata-kata indah. Jika Anda pengguna sosial―dan saya yakin akan hal itu―, tengok saja betapa nasehat-nasehat dan kalimat motivasi berhamburan memenuhi timeline.
Sebut saja salah satu aplikasi yang sedang gandrung akhir-akhir ini, semisal Line dan Instagram. Dalam aplikasi ini ocehan-ocehan motivasi yang disertai beribu like dan tak jarang diiringi sahut-sahutan ’komentar cerdas’ hilir mudik tanpa henti.
“Manusia Pancasila” sebagai manusia ideal yang ditawarkan Mochtar berwujud dalam kreativitas industri kebajikan yang mendangkalkan renungan mendalam soal Pancasila menjadi sejumput kata-kata unyu. Karya-karya para pemikir yang berjilid-jilid dan diskusi berjam-jam mengenai dasar filosofis bangsa tertutup oleh manisnya postingan aduhai dan meme-meme lucu.
Kegemaran memproduksi dan mengonsumsi nasehat dan motivasi menandakan ogahnya ‘manusia Indonesia’ menoleh horison keilmuan yang njelimet dan membosankan tentang kenyataan yang kompleks. Cara berpikir yang dilandasi stereotipe dan generalisasi suguhan Mochtar, malah menemukan jejadiannya yang paling tak keruan. Apa yang menjadi dasar tuduhan Mochtar justru berlanjut dalam kesadaran meng-update kalimat-kalimat necis sembari melupakan renungan-renungan para pemikir yang sebagian hidupnya dipenuhi dengan perjuangan melawan kebosanan berjuang.
Soekarno, dalam pembelaannya di sidang pengadilan kolonial yang terkenal dengan nama Indonesia Menggugat mencatat, “… Berabad-abad kami mendapat cekokan inlander bodoh. Berabad-abad kita diinjeksi rasa kurang karat. Turun-temurun kita menerima sistem ini. Dipadam-padamkan segenap kita punya energi. Sekarang, percaya kita, bahwa kita sesungguhnya adalah memang bangsa kurang karat yang tak bisa apa-apa”.
Ya, catatan Soekarno memang benar. Kita memang bangsa kurang karat yang tak (mau) bisa apa-apa. Lebih memilih kalimat dan motivasi ‘cepat saji’ di media sosial ketimbang merenung dan berlama-lama memahami rumitnya realitas.
Kalau begitu, harapan Mochtar Lubis―sebetulnya―sudah kesampaian.***