HARI itu, Senin 15 Februari 2016. Hujan rintik-rintik membasahi Wamena, ibukota kabupaten Jayawijaya. Ribuan orang tak menggubris hujan, mereka memadati halaman seluas lebih kurang 1.000 m2. Pada bagian kiri dan kanan halaman, berjejer rumah beratap seng dan alang-alang. Di sebelah Barat Daya, sebuah bangunan berbentuk bulat beratap alang-alang, biasa dikenal dengan sebutan Honai, berdiri kokoh meski tampak tua. Sebuah bangunan bulat berwarna dominan biru dengan diameter 15 meter, berdiri megah di bagian Utara Timur Laut.
Pada pintu masuk bangunan biru itu menggantung sebuah pita berhiaskan bunga. Di sampingnya sebuah kemah beratap terpal biru dipenuhi manusia. Sementara di bagian jalan masuk ke halaman tempat itu, ribuan orang lainnya berkumpul dikawal oleh puluhan PETAPA (Polisi Penjaga Tanah Papua) berseragam hitam-hitam.
Berbagai jenis hiasan beraneka warna melingkar indah pada kepala beberapa perempuan dan laki-laki. Ada hiasan yang terbuat dari bulu burung cenderawasih, atau dalam bahasa Wamena disebut Tiposi; ada pula kare-kare yang terbuat dari burung Nuri, atau burung Werene dalam bahasa Wamena; ada herabuaken yang terbuat dari buah lokal herabua; dan juga hiasan kepala yang terbuat dari bulu ayam.
Beberapa perempuan berpakaian asli pegunungan Tengah Papua, berkumpul di sebelah Timur bangunan biru itu. Ada yang mengenakan Yokal. Ini adalah semacam rok yang terbuat dari kulit kayu tertentu dan biasanya dikenakan perempuan yang telah menikah. Beberapa perempuan tua dari wilayah Lembah Balim bagian Utara mengenakan Apeligik, rok yang terbuat dari pintalan tali berukuran lebih pendek dari Yokal. Sebagian perempuan muda mengenakan Sali , rok khusus bagi perempuan yang belum menikah. Perempuan-perempuan yang berkumpul di sebelah Timur menutupi bagian dadanya dengan noken besar terbuat dari kulit kayu.
Sebagian laki-laki mengenakan koteka. Mereka duduk di depan sebuah panggung tempat seorang imam berjubah putih berdiri memimpin ibadah. Alunan khas Wamena yang disebut Wisaila Etai (lagu rohani), menggema dalam upacara peresmian Honai besar berwarna biru tersebut. Honai ini diresmikan menjadi kantor Dewan Adat Papua (DAP) wilayah Lapago, sekaligus Kantor United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) atau Persatuan Gerakan Pembebasan Papua.
ULMWP adalah sebuah organisasi baru perjuangan pembebasan Papua, yang dideklarasikan di Vanuatu, pada Desember 2014. Organisasi ini merupakan penyatuan dari tiga organisasi utama gerakan kemerdekaan Papua, yakni Republik Federal Papua Barat (Federal Republic of West Papua/NRFPB); Koalisi Nasional untuk Pembebasan (National Coalition for Liberation/WPNCL), dan Parlemen Nasional Papua Barat (National Parliament of West Papua/NPWP), serta Komite Nasional Papua Barat (National Committee for West Papua/ KPNB). Untuk mengoordinasi dan menyebarkan aspirasinya, ULMWP membentuk sebuah sekretariat eksternal yang terdiri dari lima anggota terpilih dari berbagai kelompok. Octovianus Mote, seorang mantan wartawan yang kini bermukim di Amerika Serikat terpilih sebagai sekretaris jenderal pertama ULMWP , sementara Benny Wenda dipilih sebagai juru bicara dan tiga anggota terpilih lainnya adalah Rex Rumakiek, Leone Tangahma and Jacob Rumbiak.
Sejarah pembangunan Honai ini sangat menyedihkan. Dahulu masyarakat adat sudah membangun Honai adat ini dengan keringatnya sendiri, tetapi kemudian dibakar oleh orang-orang jahat. Honai yang baru ini pun merupakan hasil keringat masyarakat sendiri. Mereka mengumpulkan uang hasil berjualan sayur dan hipere (ubi jalar).
Honai Dewan Adat Papua (DAP) wilayah Lapago, dibakar pada tanggal 16 Desember 2012. Di hari yang sama juga terjadi pembakaran Polsek Wouma pasca pembunuhan Hubertus Mabel di Kurulu, Kabupaten Jayawijaya. Pembakaran Honai DAP ini diduga dilakukan oleh aparat kepolisian Resort Jayawijaya. Namun proses hukum kasus pembakaran Honai DAP tidak jelas hingga saat ini.
Pastor John Jonga Pr, yang memimpin ibadah Eukumene pemberkatan Honai tersebut. Dalam kata pengantar ibadah, dia mengatakan bahwa Honai tersebut merupakan tempat masyarakat adat Lapago berjuang melawan badai kepunahan yang sedang terjadi di Papua.
Dalam khotbahnya, Pastor John menekankan bahwa Honai ini harus menjadi tempat orang-orang tua mendiskusikan berbagai persoalan yang dialami masyarakat. Itulah sesungguhnya yang selalau terjadi dalam adat istiadat masyarakat Papua. Jika ini dilakukan maka berbagai kebiasaan buruk yang tidak pernah ada dulu, seperti minum, mabuk, dan berhubungan seks sembarangan, tidak akan terjadi lagi.
“Kita sekarang berhadapan dengan badai kepunahan. Banyak kekerasan dan pembunuhan yang dialami masyarakat Papua, tetapi juga banyak kematian akibat minuman keras dan HIV. Persoalan-persoalan seperti ini tidak terjadi sebelum masuknya pengaruh luar di wilayah Pegunungan Tengah ini. Karena itu, Honai ini jangan hanya dibangun dengan megah tetapi mesti menjadi tempat penyebaran informasi penting bagi masyarakat Papua” demikian kata Pastor John.
Domi Sorabut, seorang aktivis Dewan Adat Papua, berpidato. Dia mengatakan akibat modernisasi dan masuknya agama, pemerintah, dan pengaruh luar lainnya, tatanan hidup masyarakat adat Papua yang sebelumnya tertata baik sekarang lenyap. Bahkan kini masyarakat Papua terancam eksistensinya.
Ia menerangkan bahwa Honai Dewan Adat Papua Lapago dibangun sebagai simbol persatuan untuk menghidupkan dan mempertahankan hak-hak dasar rakyat Papua, termasuk hak politik. Karena itulah ULMWP ditempatkan di dalam Honai tersebut untuk menjadi bagian dari hak masyarakat adat Papua.
Pada kesempatan itu juga dibacakan pidato Octovianus Mote, Sekretaris Jenderal ULMWP. Markus Haluk, seorang aktivis HAM asal Papua yang juga anggota Tim Kerja Dalam Negeri ULMWP, membacakan pidato itu. Octovianus Mote menjelaskan bahwa peresmian kantor ULMWP di jantung tanah Papua menunjukkan bahwa ULMWP bukan hanya ada di Amerika, Inggris, Vanuatu atau Australia. ULMWP yang sesungguhnya adalah Bapa-Mama yang ada di Papua. Hari itu hari yang menjadi saksi peresmian kantor ULMWP di Lapago, jantungnya tanah Papua.
“Masalah Papua bukan semata masalah negara-negara Melanesia tetapi juga masalah Pasifik Selatan. Tahun ini soal Papua Barat masuk dalam agenda pembicaraan pimpinan negara-negara Pasifik Selatan sebagai salah satu masalah utama. Mereka memutuskan agar mengirim tim pencari fakta ke Papua Barat untuk melihat dari dekat kondisi di Papua Barat,” demikian kata Mote dalam pidatonya.
Masyarakat berkumpul menghadiri peresmian kantor ULMWP. Foto oleh Ence G
Papan Nama ULMWP Diturunkan
Namun sayang, sehari setelah peresmian Honai Dewan Adat Papua tersebut, papan nama ULMWP diturunkan. Kapolres Jayawijaya, AKBP Semmy Ronny Thabaa beserta Dandim 1702 Jayawijaya, Letkol Infantri Muhammad Aidi, memimpin langsung penurunan papan nama ULMWP tersebut. Sebelum penurunan papan nama itu, pihak Polres Jayawijaya mengirim utusan ke lokasi untuk melakukan klarifikasi. Pada pagi hari Selasa (16/02/2016), Bupati Jayawijaya mengumpulkan forum komunikasi pimpinan daerah Jayawijaya untuk membahas masalah peresmian kantor ULMWP di ruang Bupati Jayawijaya.
Menurut Kapolres, dalam pertemuan tertutup tersebut Bupati menyampaikan bahwa ia telah melayangkan surat himbauan dan teguran kepada panitia penyelenggara dan meminta agar papan nama ULMWP dicopot. Pihaknya, bersama Dandim Jayawijaya, turun ke lokasi untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat dan menurunkan papan nama ULMWP tersebut.
“Kita memberikan pemahaman hukum kepada orang-orang tua di Dewan Adat bahwa organisasi itu (ULMWP) adalah organisasi terlarang, yang asasnya berbeda dengan Pancasila sehingga kita melarang mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan negara, melawan hukum negara Republik Indonesia.” kata Kapolres Jayawijaya.
Pada kesempatan yang sama, Dandim 1702/Jayawijaya Muhammad Aidi mengklaim bahwa undangan yang disampaikan adalah undangan syukuran dan peresmian Honai adat, dan tidak berkaitan dengan ULMWP.
“Dalam kenyataannya, kegiatan itu disisipi untuk kegiatan ULMWP. Kita anggap ini sesuatu yang tidak sesuai dengan asas negara kita, Pancasila dan UUD 1945, karena ada indikasi mendirikan negara di atas negara. Selain itu dari pantauan kami terhadap kegiatan tersebut, dalam orasi dikatakan bahwa Papua ini merupakan wilayahnya suku Melanesia, jadi yang ada di sini hanyalah suku Melanesia. Padahal ini adalah NKRI yang didirikan atas Bhinneka Tunggal Ika bukan atas dasar ras, jadi semua suku bisa ada di sini. Bagi kami ini NKRI adalah harga mati. Terkait dengan tindakan makar atau yang berseberangan dengan NKRI, kita lakukan dulu upaya-upaya persuasif.” ungkap Aidi.
“Di kantor itu, kami hanya menemukan papan nama ULMWP sedangkan dokumen tidak ada. Namun papan nama itu juga merupakan bentuk perlawanan terhadap negara. Papan nama ini menunjukan bahwa di sini merupakan kantor sekretariatan Perjuangan Papua.” tambahnya.
Bukan Organisasi Terlarang
Markus Haluk membantah tegas bahwa ULMWP adalah organisasi terlarang. ULMWP merupakan organisasi yang resmi mewakili masyarakat Papua dan diakui secara internasional. Organisasi ini bukan terlarang. Juga bukan organisasi teroris atau makar. ULMWP adalah sebuah organisasi yang bermartabat dan cinta damai.
Saat ini ULMWP telah diterima sebagai observer dalam konferensi tingkat tinggi para pemimpin Melanesia Spearhead Group (MSG) pada 26 Juni 2015 lalu di Salomon Island. Selain itu status ULMWP sudah dilaporkan secara resmi dalam sidang Majelis Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York pada 2 Oktober 2015 oleh Ketua MSG, Manasye Sogafare. Dalam sidang itu Ketua MSG, yang juga merupakan Perdana menteri Salomon Island, melaporkan bahwa MSG telah menerima ULMWP sebagai observer dan Indonesia sebagai anggota tetap dalam forum regional MSG.
“Indonesia sebagai associate member dan ULMWP sebagai observer duduk di MSG bersama-sama. Jadi ini bukan organisasi terlarang. Pemerintah Indonesia harus transparan sampaikan kepada aparat keamanan di Indonesia dan di Papua bahwa ULMWP merupakan organisasi yang sah. Dengan itu tidak bisa sekadar melihat persoalan Papua secara hukum, tetapi harus melihat secara utuh dan harus ada dialog politik. Tidak bisa lagi menggunakan hukum makar yang merupakan peninggalan Kolonial Belanda kepada masyarakat Papua, tetapi harus lakukan dialog politik,” demikian ungkap Markus Haluk.
Markus menyayangkan sikap reaktif pemerintah yang sekadar melarang-larang tapi tidak mau dialog. “Tanyakan kepada kami kenapa dan bagaimana sampai ada kantor ULMWP. Jangan gunakan pendekatan militeristik karena itu tidak akan menyelesaikan masalah. Indonesia sebagai associate member MSG, dan sebagai negara demokrasi, jangan mengkriminalisasi dan membuat masalah ini seolah-olah persoalan kriminal. Seakan-akan tidak ada aspirasi masyarakat Papua terkait kemerdekaan politik. Itu pembohongan publik. Pemerintah Indonesia harus menggunakan pendekatan yang bermartabat untuk menyelesaikan masalah Papua, menutup atau mencopot papan ULMWP tidak akan menyelesaikan masalah.” tambah Haluk
Lebih jauh Markus Haluk menjelaskan bahwa kelahiran ULMWP didorong oleh kenyataan bahwa persoalan Papua masih ada hingga saat ini. Perjuangan rakyat Papua menuntut kemerdekaan masih terus dilakukan. Tidak saja perjuangan orang Papua di luar negeri, tetapi juga di hutan-hutan, di desa-desa dan di seluruh kota di wilayah Papua. ULMWP hadir untuk memperjuangkan apa yang menjadi tuntutan rakyat Papua secara damai, yaitu melalui dialog politik. Pada 21 Januari 2016 lalu, Ketua MSG telah mengatakan bahwa Indonesia dan ULMWP perlu melakukan dialog, dan MSG siap menjadi mediator.
The Melanesian Spearhead Group (MSG) adalah sebuah organisasi inter-pemerintahan yang terdiri dari empat negara Melanesian, seperti Fiji, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, dan Vanuatu, dan Kanak and Socialist National Liberation Front of New Caledonia. Pada Juni 2015, Indonesia diakui salah satu anggota asosiasi.
Pembukaan kantor ini merupakan sebuah pesan bahwa persoalan Papua itu ada dan harus dibicarakan. Sudah ada wadah resmi bagi rakyat Papua yang siap untuk berdialog dengan pemerintah Indonesia .
Bukan Kantor OPM
Markus Haluk mengaskan bahwa Honai tersebut ditujukan sebagai kantor ULMWP, bukan kantor OPM (Organiasi Papua Merdeka). Tuduhan peresmian kantor OPM, seperti yang diberitakan beberapa media online, dianggapnya sebagai berita salah yang provokatif. “Harus tahu masalah Papua secara utuh sehingga bisa melihat masalah secara baik.” demikian ia tegaskan. ULMWP merupakan wadah resmi yang bertujuan untuk menjadi tempat dialog Jakarta dan masyarakat Papua.
Kantor yang dibangun dengan biaya Rp 350 juta tersebut merupakan kantor ULMWP yang sudah dikerjakan secara terbuka sejak 15 Agustus 2015 lalu. Sejak awal masyarakat tahu bahwa ini merupakan kantor ULMWP dan DAP, dan semua masyarakat berpartisipasi menyumbang untuk pembangunan kantor itu dari hasil jualan sayur dan kayu masyarakat.***
Penulis adalah staff Sunspirit for Justice and Peace