HARIAN Kompas tanggal 28 Januari 2016, menurunkan sebuah berita utama yang jadi perbincangan, yaitu “Pemodal kuasai lahan desa”. Disebutkan bahwa ribuan hektar lahan desa kini dikuasai para pemodal. Mengacu data Badan Pertanahan Nasional (BPN), 56 persen aset berupa properti, tanah, dan perkebunan dikuasai hanya 0,2 persen penduduk Indonesia. Sementara Sensus Pertanian (SP) 2013 menunjukkan, 26,14 juta rumah tangga tani menguasai lahan rata-rata 0,89 hektar per keluarga. Sekitar 14,25 juta rumah tangga tani lain hanya menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar per keluarga. Kasus-kasus yang diacu adalah desa-desa di Pandeglang, Serang dan Lebak.
Menariknya pada hari yang sama, laman dari Partai Rakyat Pekerja (PRP) menurunkan artikel menarik berjudul “Diferensiasi kelas dan rakyat petani”. Di situ ditampilkan diskusi analisis kelas agraria dari desa-desa di Sulawesi Tengah, yaitu terjadinya diferensiasi dan konsentrasi kepemilikan tanah kepada petani-petani kaya yang jumlahnya segelintir. “Dari sekitar 200 petani yang menjadi sampel penelitianku, hanya ada 3 orang petani yang menguasai tanah lebih dari 5 hektar. Bahkan di antara 3 orang petani ini, hanya 1 yang menguasai tanah di atas 10 hektar,” ungkap Kadi Katu, kader PRP Komite Kota Palu. Diferensiasi kelas pedesaan ini menyebabkan terbentuknya kelas petani “semi-proletariat”, yaitu petani pemilik lahan kecil yang juga bekerja kepada petani kaya. Sementara menurut Anchu Juliana Cahya, kader PRP Komite Kabupaten Banggai, terbentuk tiga kelas utama, yaitu Pertama, kelas petani kaya yang rata-rata menguasai tanah lebih dari 5 ha sampai 30 hektar, bahkan bisa mencapai 50 hektar. Komoditi yang ditanam mereka 90 persen adalah komoditi yang bersifat tahunan, seperti kakao, cengkeh, kelapa dalam, pala, atau padi sawah. Kedua, jenis petani miskin yang rata-rata menguasai tanah 1 hektar sampai 5 hektar. Mayoritas petani miskin ini menanam komoditi bulanan seperti sayur, padi ladang, ubi-ubian, jagung. Ketiga, petani hutan yang sebagian besar menguasai tanah hanya 0 hektar sampai 2 hektar. Lahan yang dikuasai petani hutan hampir tidak ada bukti kepemilikannya secara legal. Contoh petani hutan adalah masyarakat adat Loinang di Banggai dan Sea-Sea di Banggai Kepulauan. Menurut analisis mereka, petani miskin atau petani hutan memiliki potensi untuk berwatak revolusioner. Mereka sering berkonflik dengan perusahaan, kebanyakan karena lahan mereka dirampas oleh perkebunan berskala besar, pertambangan dan Negara. “Kemudian setelah kalah dalam konflik tersebut dan lahan mereka berhasil dicaplok, mayoritas mereka menjadi buruh upahan di perusahaan atau urbanisasi ke kota untuk menjadi buruh dan kaum miskin kota,” ungkap Anchu. Petani ‘semi-proletariat’ seperti ini mungkin bisa didorong menjadi revolusioner dan membangun persekutuan dengan kaum buruh.
Apa yang bisa disimpulkan dari kedua berita di atas? Bahwa proses kapitalisasi di pedesaan terus bergerak cepat seiring dengan proyek-proyek investasi kapitalisme di wilayah-wilayah pedesaan. Ini sebenarnya bukanlah hal baru. Yang perlu dianalisis lebih lanjut sebenarnya, bagaimana diferensiasi petani yang terjadi? Dan siapa para pemodal besar atau kelas kapitalis tersebut? Kasus-kasus yang diangkat Kompas memperlihatkan bahwa lahan-lahan tersebut dibeli oleh para spekulan dari luar daerah yang melihat adanya rencana KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) Tanjung Lesung, maupun untuk investasi lapangan golf, pabrik dan perkebunan sawit, peternakan ayam, serta kawasan pariwisata. Sementara di Sulawesi Tengah memperlihatkan pertumbuhan petani kaya setempat yang tidak lepas dari kerjasama mereka dengan perusahaan-perusahaan perkebunan besar sawit atau lainnya dari luar daerah. Apakah petani-petani kaya tersebut menjadi kelas kapitalis atau borjuasi baru? Kelihatannya tidak. Seperti dikatakan Anchu, petani kaya tidak menjalankan usaha taninya secara ekspansif-agresif seperti kapitalis tulen. Mungkin karena mereka juga memiliki pekerjaan lain seperti beternak, pejabat negara, pedagang, dan lain sebagainya. “Mereka lebih suka menjadi tengkulak, pejabat negara dan tokoh agama,” tambah Anchu. Apakah benar terjadi diferensiasi kelas-kelas petani? Dalam kenyataannya yang dimaksud diferensiasi tidaklah menyebabkan terjadinya perubahan kualitas masyarakat pedesaan, yaitu tidak mengarah kepada kapitalisme pedesaan, borjuasi petani atau ekonomi industri/produktif.
Jadi dari gambaran-gambaran singkat tersebut, bagaimana sebenarnya kelas kapitalis tersebut di pedesaan? Nampaknya memang muncul kelas petani kaya. Hal ini sudah terindikasi sejak lama di Jawa, yaitu kelas-kelas tuan tanah di pedesaan yang sebenarnya lebih merupakan kelas petani kaya. Ini mirip kelas kulak (petani kaya) di Rusia pada abad 19, di tengah-tengah perkembangan kapitalisme di Rusia. Akan tetapi berbeda dengan di Rusia, dimana kelas kulak adalah kelas petani borjuasi yang didukung program Negara (reformasi Stolypin) di tengah-tengah transformasinya kepada ekonomi kapitalisme. Sebagaimana kesimpulan Lenin mengenai diferensiasi petani dalam bukunya Perkembangan Kapitalisme di Rusia:
Undoubtedly, the emergence of property inequality is the starting-point of the whole process, but the process is not at all confined to property “differentiation.” The old peasantry is not only “differentiating,” it is being completely dissolved, it is ceasing to exist, it is being ousted by absolutely new types of rural inhabitants—types that are the basis of a society in which commodity economy and capitalist production prevail. These types are the rural bourgeoisie (chiefly petty bourgeoisie) and the rural proletariat—a class of commodity producers in agriculture and a class of agricultural wage-workers …
… that this system of village relationships reveals the absolute differentiation of the peasantry, that the more completely bondage, usury, labour-service, etc., are forced out, the more profoundly will the differentiation of the peasantry proceed. Above we have shown, on the basis of Zemstvo statistics, that this differentiation is already an accomplished fact, that the peasantry have completely split up into opposite groups.
Tidak diragukan lagi, munculnya ketimpangan kepemilikan adalah awal mula dari seluruh proses, akan tetapi proses ini tidaklah dibatasi hanya pada “diferensiasi” pemilikan. Petani lama tidak saja “terdiferensiasi”, tetapi juga telah sepenuhnya dihapus, tidak lagi ada, telah disingkirkan sepenuhnya oleh jenis-jenis baru warga desa – jenis yang merupakan basis dari masyarakat dimana bekerja ekonomi komoditas dan produksi kapitalis. Jenis-jenis ini adalah borjuasi desa (utamanya borjuis kecil) dan proletariat desa – sebuah kelas produsen komoditas pertanian dan sebuah kelas pekerja-upahan pertanian …
… bahwa sistem saling hubungan pedesaan mengungkapkan terjadinya diferensiasi petani sepenuhnya, dimana telah disingkirkan segala hal terkait perbudakan, tengkulak, kerja layanan dan lain-lainnya, maka semakin nyata terjadinya diferensiasi petani. Sebagaimana telah kita tunjukkan d iatas, berdasar statistik Zemstvo, bahwa diferensiasi ini telah merupakan fakta yang terpenuhi, bahwa kaum tani telah sepenuhnya terbagi menjadi kelompok-kelompok yang saling bertentangan”
Sementara di Indonesia, transformasi ke ekonomi kapitalisme belum juga berkembang ke arah yang jelas, karena kelas-kelas pedesaannya masih terikat pada ekonomi sisa feodal (tengkulak, birokrasi, tokoh agama), dimana juga elit-elit borjuasi ekonominya menjalankan kapitalisme rente dan komprador. Operasi perusahaan-perusahaan sawit, pencaplokan lahan dan investasi spekulatif mencerminkan hal ini. Dan ini setidaknya tercermin juga di pedesaan, dimana kelas petani kaya (borjuasi desa) juga menjalankan praktek-praktek sisa feodal yang terus dilestarikan, yaitu dengan menumpang kepada kekuasaan birokrasi atau agama. Kelas-kelas pedesaan tidak mampu menjalankan ekonomi produksi komoditas yang semakin meluas yang akan mengarahkan mereka untuk menjadi kelas kapitalis sesungguhnya, karena tidak berkembangnya sektor industri di desa, di daerah maupun secara nasional. Secara umum di Indonesia tidak berkembang sebuah ekonomi pasar domestik yang semakin kuat, yang sebenarnya juga mencerminkan lemahnya pasar pedesaan/lokal.
Pedesaan di Indonesia mencerminkan primitifnya perkembangan kapitalismenya, yang dicirikan oleh pencaplokan lahan dan konflik-konflik agraria di seluruh penjuru wilayah dikarenakan kebuasan perusahaan-perusahaan besar swasta maupun Negara (PTPN dan Perhutani) yang hanya menjalankan ekonomi ekstraksi. Lahan-lahan pertanian dijadikan area pertambangan, perkebunan sawit, batu-bara, sampai kepada bisnis property (real estat) dan kawasan industri untuk perusahaan-perusahaan asing. Kini termasuk juga ekspansi proyek-proyek infrastruktur untuk menjalankan sistem logistik dan konektivitas yang mendukung jaringan industri rantai pasokan, baik regional maupun global. Indonesia hanya menjadi pemain pinggiran di bagian hulu (pemasok bahan baku/mentah), di bagian pemrosesan (buruh murah) dan di bagian hilir (supermarket/mall). Rezim kapitalisme primitif ini bukanlah transformasi ke kapitalisme yang sebenarnya, melainkan hanya sebuah kapitalisme semu (ersatz capitalism) atau kapitalisme rombengan (lumpen capitalism) atau kapitalisme terbelakang (underdeveloped capitalism). Singkat kata, sebuah kapitalisme rente/birokrat. ***