TAMPAKNYA aksi peledakan sejumlah bom dan serangan bersenjata yang dilakukan oleh sekelompok orang di jalan Thamrin, Jakarta, pada tengah hari bolong awal bulan ini, memiliki dampak yang berkelanjutan. Pihak aparat keamanan negara mengumumkan bahwa serangan itu dilakukan oleh jaringan teroris yang menyebut dirinya ISIS (atau Negara Islam Irak dan Suriah). Tak lama berselang, melalui rilis yg disebarkan di jaringan Internet (dan kemudian diberitakan kembali oleh berbagai kantor berita), pihak yang menyatakan dirinya ISIS membuat klaim bertanggungjawab atas tindakan yang menyebabkan jatuhnya beberapa korban jiwa – termasuk 4 orang pelaku yang terkena ledakan bom mereka sendiri. Singkatnya, kita mengenal peristiwa ‘serangan jalan Thamrin’ sebagai satu lagi bentuk aksi terorisme seperti yang sebelumnya juga terjadi dalam peristiwa “Bom Bali” atau “Bom di Kedubes Australia”. Terorisme yang telah diperangi Negara bertahun-tahun – mengikuti perang terhadap terorisme yang awalnya dilancarkan oleh Negara-negara Imperialis pasca ‘serangan World Trade Center’ pada 11 September 2011, tampaknya gagal membendung aksi-aksi mereka.
Menariknya, seolah hendak menjawab aksi terorisme dalam “serangan Jalan Thamrin”, dalam hitungan jam muncul respon kelas menengah kita dalam bentuk pernyataan “Kami Tidak Takut”. Respon balasan ini diedarkan lewat Internet, terutama di jaringan media sosial. Serangan broadcast di jaringan media sosial dan online ini menyerbu kita dalam bentuk berita atau pun gambar terkait “Serangan Jalan Thamrin”. Sayangnya, tanggapan kelas menengah di jaringan media sosial itu fokusnya bukan pada analisis tentang apa yang melandasi aksi terorisme yang mereka kecam, melainkan lebih banyak tentang: “polisi ganteng” dan aneka rupa aksesoris pakaian yang dikenakan, atau debat kusir seputar keganjilan gambar-gambar (tak bergerak) yang berhasil didokumentasikan beberapa wartawan. Untung saja masih ada satu dua artikel di media online yang cukup kritis mempertanyakan fokus yang dangkal dalam memahami aksi-aksi terorisme yang terus terjadi. Tapi, tampaknya, terlalu sedikit gaung dan cakupan pengaruhnya di komunitas yang lebih luas.
Begitu heboh soal “serangan jalan Thamrin” menyurut, pihak keamanan menyatakan ada ancaman yang lebih besar ketimbang serangan teroris, yaitu bahaya Narkoba yang beredar luas di lingkungan hidup masyarakat. Belum reda ‘ketakutan’ masyarakat akan bahaya Terorisme dan Narkoba, muncul lagi bombardir peringatan di jaringan media sosial dan pemberitaan media massa tentang bahaya yang tak kalah mematikan, yakni keberadaan dan aktivitas komunitas Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transexual (LBGT). Media reaksioner seperti harian Republika, membingkainya sebagai: #serangan LGBT. Target serangannya menyasar soal moral. Tak kurang Menteri Riset dan Teknologi dari pemerintahan Jokowi turut menyebarluaskan teror mental tentang bahaya moral bila komunitas LGBT dibiarkan ada di komunitas akademik, seperti perguruan tinggi.
Tentu saja rentetan marabahaya yang diperingatkan kepada kita secara silih berganti tersebut bukanlah fenomena baru. Di masa Orde Baru, kita juga tak henti diperingatkan akan berbagai bahaya laten dari apa yang oleh rezim disebut sebagai ekstrim kiri (Eki) dan ekstrim kanan (Eka), yang selalu berupaya mengancam stabilitas negara. Pada era otoriter itu, kebebasan informasi dan komunikasi nyaris tidak ada karena sepenuhnya dipantau dan dikendalikan secara represif oleh Negara. Belasan tahun pasca Orba, jaringan informasi dan komunikasi berkembang pesat. Terutama oleh fenomena jaringan dunia maya dan media sosial yang sangat luas. Akan tetapi, ketakutan akan berbagai bahaya sosial politik yang dicekokkan untuk membuat kita bingung dan hilang orientasi, justru semakin merajalela. Kemampuan kita sebagai masyarakat yang telah diperlengkapi oleh kemajuan teknologi dan jaringan komunikasi yang cukup canggih, ternyata gagap untuk menjawab masalah-masalah sosial berdasarkan nalar yang adil dan ilmiah.
Serangan terhadap keselamatan dan kemanusiaan sudah terbukti tidak dapat diatasi oleh solusi yang semata-mata mengutamakan pendekatan keamanan, teknologi, apalagi moral – yang tentu selalu dapat diperdebatkan terkait moral siapa yang paling baik dan unggul. Pendekatan semacam itu terbukti telah menyuburkan beragam teror pada kehidupan sosial kita. Dengan kata lain, pendekatan dalam mengatasi teror selama ini hanya menguntungkan kepentingan kelas berkuasa. Pendekatan yang membuat relasi sosial kita justru bergerak ke arah ketidaksetaraan yang semakin ekstrem, atomisasi dan pembelahan sosial yang membuat sulitnya menghadirkan kolektivitas yang progresif, dan karenanya memupuk kebencian sektarian pada pihak yang dianggap berbeda dan patut dijadikan kambing hitam.
Kalangan progresif perlu bertanya secara kritis dan mencari solusi radikal secara bersama untuk mengakhiri beragam teror yang memanfaatkan jaringan sosial kita — yang nyatanya justru makin berwatak anti sosial. Dalam sejarah negeri ini, solusi itu adalah agenda persatuan anti penindasan kolonialisme dalam satu bangsa sebagai komunitas politik yang dibayangkan. Bayangan tentang komunitas politik dalam sejarahnya memang tumbuh subur lewat perkembangan jaringan media massa (cetak) yang menghubungkan dan memungkinkan komunikasi antara mereka yang berbeda-beda menjadi satu gerakan kolektif yang progresif. Dalam bentuknya sebagai “NKRI harga mati” dan mengabdi penuh pada kepentingan akumulasi kapital, komunitas yang dulunya progresif itu telah menjadi instrumen penindasan dan pembodohan politik.
Ilusi tentang adanya komunitas yang dapat melindungi di tengah realitas sosial yang penuh ketidakadilan itulah kiranya yang menggerakkan banyak orang terlibat dalam jaringan terorisme, bahkan dengan mengambil pilihan mengorbankan dirinya. Sementara itu kalangan progresif di Indonesia belum mengorganisir komunitas bersama yang luas dan efektif sebagai alternatifnya. Di titik inilah kita perlu berefleksi tentang jaringan teror dan beragam teror yang menggunakan jaringan sosial kita. Kebanyakan kita telah kalah dibandingkan jaringan teroris maupun kelas berkuasa dalam memanfaatkan jaringan media sosial dan komunikasi yang ada. Konsekwensinya jelas, dibutuhkan usaha maha serius untuk mengatasi kosongnya agenda politik progresif dalam membangun komunitas politik bersama yang luas dan kuat di era penindasan kapitalisme terkini yang baru dan semakin canggih.***