Poster oleh Andreas Iswinarto
DALAM kunjungannya ke Amerika Serikat Oktober 2015 lalu, kepada Presiden Amerika Serikat Barack Obama, Jokowi menyatakan keinginan Indonesia untuk bergabung dalam Trans Pacific Partnership (TPP) atau pakta perdagangan antar negara-negara Asia Pasifik.
Keinginan Jokowi itu bukan saja mengejutkan publik dalam negeri, tetapi juga bagi Obama sendiri. Selama bertahun-tahun, Indonesia selalu menghindar dari lobi-lobi Washington untuk bergabung dalam TPP. Indonesia selalu bersikap berhati-hati dalam menyikapi pembentukan TPP, karena dampak yang akan ditimbulkannya cukup besar terhadap arsitektur kawasan Asia Pasifik, serta arah dan masa depan ASEAN. Terlebih kebijakan diplomasi ekonomi Indonesia terhadap rezim perdagangan internasional selama beberapa dekade terakhir, menempatkan ASEAN sebagai pusat perjanjian.
RCEP Vs TPP
Seperti diketahui, Indonesia baru menyatakan kesediaan bergabung kedalam RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership) yang disponsori oleh China. Berbeda dengan TPP yang cenderung meninggalkan ASEAN sebagai pusat perjanjian, RCEP justru sebaliknya, menjadikan ASEAN sebagai pusat perjanjian dan sebagai key driver dalam pengembangan arsitektur kawasan yang bersifat ASEAN-minded.
Langkah Jokowi yang mendorong Indonesia terlibat kedalam TPP, membuat Indonesia terperangkap efek ‘noodle bowl’ akibat terlalu banyaknya perjanjian perdagangan bebas yang diikuti dan menimbulkan kerumitan tersendiri bagi pelaku usaha dalam negeri. Pada sisi lain, dua perjanjian itu (RCEP dan TPP) saling berkompetisi, sehingga kecil kemungkinan keduanya secara simultan memberikan keuntungan bagi Indonesia.
Dalam konteks regional, dukungan Indonesia bagi pembentukan RCEP tidak lain guna memperkuat konsolidasi internal ASEAN. Pertimbangan lain, keterlibatan Indonesia dalam RCEP karena secara umum ambisi RCEP tidak semuluk TPP. RCEP lebih memikirkan kesepakatan tunggal mengenai perdagangan produk baru dan kemungkinan penurunan bea masuk. Perundingan ini juga jauh dari pembahasan hambatan non-tarif. Apabila TPP membahas sekitar 20 isu non-tarif, RCEP hanya membahas 6 isu non-tarif.
Selain itu cakupan geografis yang lebih terbatas dibandingkan dengan TPP, membuat RCEP dinilai lebih realistis sehingga lebih besar kemungkinannya untuk berjalan. Pada sisi lain, pembentukan RCEP memberikan peluang bisnis yang besar bagi 16 negara di kawasan dengan cakupan populasi 3,3 miliar dan total Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar US$ 19,7 triliun.
Namun demikian, tidak berarti bahwa keterlibatan dalam RCEP akan memberikan keuntungan bagi Indonesia. Dalam pengalaman kerjasama ACFTA (Asean-China Free Trade Agreement), Indonesia justru mengalami kerugian yang sangat besar. Hancurnya sejumlah industri dalam negeri, seperti industri tekstil, garmen, dan mainan anak-anak adalah contohnya. Sedangkan di sektor pertanian, pasar buah-buahan dikuasai oleh produk-produk impor dari China.
Sementara itu keterlibatan Indonesia dalam TPP dikhawatirkan berpotensi mematikan industri dalam negeri. Mengingat selama ini ekspor Indonesia ke sejumlah negara industri maju yang tergabung dalam TPP, hanya mengandalkan sektor pertambangan dan energi. Sebaliknya, negara-negara TPP lebih banyak mengekspor produk manufaktur ke Indonesia.
Karena itu, jangan bandingkan Indonesia dengan negara-negara anggota ASEAN lain yang memutuskan bergabung kedalam TPP, seperti Malaysia yang jumlah penduduknya hanya sekitar 25 juta ataupun Vietnam yang penduduknya hanya 50 juta. Perekonomian kedua negara tersebut memiliki ketergantungan terhadap ekspor hingga 100 persen dari PDB-nya, sehingga keikutsertaan dalam TPP memberikan keuntungan, sedangkan kontribusi ekspor Indonesia terhadap PDB hanya sekitar 30 persen.
Dalam kaitan itu, ketimbang melirik keterlibatan dalam TPP atau menyelesaikan perundingan RCEP, ada baiknya bila Indonesia mengoptimalkan potensi pasar di dalam negeri yang mencapai 70 persen, agar tidak tergerus oleh produk-produk impor. Dan pada saat bersamaan memperkuat kerjasamanya dengan negara selatan-selatan.
Kerjasama Selatan-Selatan
Kerjasama Negara selatan-selatan tidak bisa lepas dari andil Indonesia. Indonesia merupakan pendiri Pusat Kerjasama Teknik Selatan-Selatan Gerakan Non Blok (NAM CSSTC), yang memberikan pelatihan teknik dan mengirimkan tenaga ahli kepada negara-negara selatan.
Sejak 1999 hingga 2014, Indonesia telah berinisiatif menggelar lebih dari 400 program pelatihan di berbagai bidang, yang melibatkan 4.400 peserta dari 99 negara di Asia, Timur Tengah, Pasifik dan Afrika. Indonesia juga mengirimkan lebih dari 75 orang tenaga ahli ke Papua Nugini, Madagaskar, Nepal, Tanzania, Kamboja, Filipina dan Thailand serta beberapa negara lain.
Bantuan teknik yang diberikan Indonesia diantaranya membantu Fiji mengembangkan teknik menanam padi, hingga akhirnya negara tersebut dapat melipatgandakan hasil produksi padinya. Melatih petugas pertanian Afghanistan dalam teknologi agribisnis padi, holtikultura, dan peternakan, khususnya pembelajaran mulai dari pembudidayaan, pengolahan, sampai pemasaran.
Sementara itu ekspor Indonesia ke negara-negara selatan seperti Afghanistan, Papua New Guinea, Tanzania, Madagaskar, Fiji dan Zambia, terus meningkat dari tahun ke tahun yang didominasi komiditi pertanian (benih, pupuk, obat-obatan serta vaksin ternak), alat-alat pertanian (traktor, alat pengolah dan pengering). Peningkatan ekspor pertanian dan alat pertanian Indonesia ke negara-negara tersebut acapkali terjadi setelah mereka memperoleh manfaat dari pelatihan yang diberikan Indonesia.
Disamping itu, Indonesia juga perlu mempertimbangkan untuk menggeser pasarnya ke wilayah lain, terutama ke negara-negara di kawasan Afrika sub sahara, Amerika Selatan dan Tengah. Terlebih karena permintaan dari pasar ekspor tradisional Indonesia (Eropa, Jepang dan USA) menurun tajam sejak krisis 2008. Sementara nilai perdagangan Indonesia ke Afrika sub sahara, Amerika Selatan dan Tengah, meskipun volume dan nilainya masih relatif kecil, namun grafiknya justru terus menunjukkan kenaikan dari tahun ke tahun.
Penguatan kerjasama selatan-selatan jauh lebih strategis dan menguntungkan bagi Indonesia, (baik secara ekonomi maupun politik) ketimbang dengan negara-negara utara, melalui TPP dan RCEP, yang pada kenyataanya hanya menguntungkan negara-negara utara. Selain itu, kehadiran pakta perdagangan selatan-selatan dapat meningkatkan posisi tawar negara-negara selatan, terhadap negara-negara utara (Uni Eropa, Amerika Serikat, Jepang), maupun dengan negara-negara yang tergabung dalam BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan). Disisi lain, kehadiran pakta pedagangan baru ini memungkinkan dunia mengalami polarisasi baru.
Peran strategis inilah yang seharusnya dilakukan Indonesia.***