Ilustrasi oleh Andreas Iswinarto
PENGHUJUNG tahun 2015, jadi tanda pemerintahan Jokowi-JK telah melampaui masa setahun berkuasa sejak pelantikannya. Secara resmi, kantor kepresidenan menyebut dalam laporannya bahwa setahun ini sebagai masa membangun fondasi dari kekuasaan mereka. Pemerintahan ini, kita tahu, terkenal mempropagandakan secara terbuka slogan “kerja,kerja,kerja” sebagai citra kekuasaan mereka. Di paruh penghujung tahun ini pula, gerakan buruh Indonesia menggelar mogok serentak di berbagai kota industri secara nasional. Mogok ditujukan sebagai reaksi penolakan keras buruh terhadap peraturan pemerintah yang mengatur tata cara baru penetapan upah minimum tahunan di tingkat provinsi dan kabupaten (PP 78/2015). Editorial ini mengajak untuk melihat fondasi seperti apa yang dibentuk oleh pemerintahan “kerja, kerja, kerja” dalam mengatur dan mengendalikan rakyat pekerja.
Mulai tahun ini, pemerintah mengatur cara yang menjanjikan kenaikan upah minimum tiap tahun dengan formula yang tetap. Namun peraturan pemerintah ini juga berupaya menghapuskan ruang buat gerakan massa buruh menekan para kepala daerah, seperti yang efektif terjadi beberapa tahun terakhir. Ruang itu coba dihilangkan dengan membatasi partisipasi aktif kaum buruh dalam menentukan besaran variabel kebutuhan hidup layak (KHL) dalam formula penepatan upah minimum lokal tahunan. Variabel itu, dalam peraturan pemerintah kini, ditetapkan melalui survey BPS dan berlaku tetap setiap 5 tahun sekali. Kenaikan hampir pasti terjadi setiap tahun karena formula yang ada menyertakan variabel pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
Sejak pertengahan tahun, gerakan serikat buruh mulai menyuarakan penolakan terhadap rencana peraturan pemerintah tentang pengupahan tersebut. Pemerintah berkilah bahwa peraturan ini adalah mandat dari UU Ketenagakerjaan (UUK) sejak 2003, namun tidak pernah dituntaskan. Ironisnya, sebetulnya UU Ketenagakerjaan merumuskan perlunya partisipasi aktif dalam penentuan pengupahan minimum lokal tahunan. Tampaknya orientasi partisipasi di UUK tersebut dilandasi berkembangnya keyakinan di tahun-tahun awal reformasi bahwa partisipasi signifikan tidak akan tumbuh dari warisan politik otoriter yang sejak 1965 melumpuhkan kekuatan mobilisasi serikat buruh, ditambah dengan kebijakan pasca Orba yang mendorong perpecahan gerakan buruh. Ternyata sejak medio 2006 (momen penolakan rencana revisi UUK oleh rezim SBY-JK), juga periode sekitar pasca 2010, menghadirkan kebangkitan aksi-aksi mobilisasi massa buruh yang cukup merepotkan rezim politik baik di tingkat lokal maupun nasional.
Rezim politik yang dimaksud adalah jaringan kekuasaan partai-partai borjuasi yang berkuasa di tingkat lokal dan nasional, bersama dengan dukungan kelas kapitalis yang terorganisir di berbagai asosiasi bisnis dan pengusaha, birokrasi dan aparat kekerasan negara (militer dan polisi) yang memiliki kepentingan dari bisnis pengendalian keamaanan hubungan industrial. Secara unik, rezim politik ini memberikan ‘toleransi relatif’ terhadap kebangkitan gerakan-gerakan mobilisasi buruh di beberapa tahun terakhir. Kemungkinan toleransi tersebut terkait dinamika politik pilkada langsung, yang memaksa para politisi menjaga elemen popularitas mereka, terutama pada tahun-tahun pilkada (misalnya 2012 di Bekasi). Juga adanya arus pertumbuhan beberapa sektor industri terkait perubahan lokasi rantai produksi secara global. Toleransi pun bisa berubah seiring perubahan kondisi, seperti adanya kegelisahan tentang pelambatan ekonomi yang dijawab rezim politik dengan kebutuhan menarik lebih banyak minat investor dan dukungan kelas menengah yang terobsesi dengan ‘pertumbuhan ekonomi’.
Minggu lalu akhirnya gerakan buruh menggelar taktik perlawanan terhadap PP 78/2015 yang mereka sebut sebagai “mogok nasional” selama 4 hari (24-27 Desember 2015). Kelas menengah meresponnya dengan sinisme yang klise dan khas terhadap gerakan buruh. Media massa mainstream sangat minim memberitakan, tampaknya dengan maksud tidak membangkitkan perhatian massa yang luas. Media sosial dijejali dengan opini dan prasangka anti buruh yang dianggap egois atau pun kurang ajar di mata kelas menengah. Hegemoni rezim “kerja, kerja, kerja” berhasil mendominasi kesadaran mayoritas kelas menengah. Sebagian mencoba memahaminya sebagai bentuk gangguan terhadap pemerintahan idola mereka. Bahkan mengembangkan opini dan berita yang memosisikan gerakan buruh sebagai kelanjutan dari polarisasi elit politik sejak masa pilpres.
Di tengah kecemasan akan terjadinya krisis ekonomi akibat situasi global dan juga kemandegan rutin dari kabinet pemerintahan Jokowi-JK, kelas menengah dan rezim politik yang ada menganggap aksi-aksi buruh menolak pengendalian upah dan mobilisasi buruh sebagai cara yang bertentangan dengan mekanisme pasar. Buruh yang bersyukur, nrimo, dan hidup sangat sederhana adalah gambaran ideal rakyat pekerja yang diidamkan oleh para pendukung mekanisme pasar sejak masa Orde Baru. Buruh harus bersyukur dengan upah yang dikendalikan tapi dituntut untuk memiliki tingkat produktifitas yang tinggi, dan yang terpenting, dapat hidup harmonis dengan para penindasnya.
Seperti ungkapan yang terkenal ‘Demokrasi berhenti di gerbang pabrik’, demikian juga yang diterapkan sejak masa Orde Baru dan masih terus dijalankan hingga era rezim “kerja, kerja, kerja” ini. Berbagai pabrik bahkan kini kembali dijagai oleh aparat kekerasan negara dengan alasan berstatus “Obyek Vital Nasional”. Intimidasi dan represivitas aparatus kekerasan negara, pengelola kawasan industri, para preman bayaran di tingkat lokal, dan juga para pengusaha yang terorganisasikan dengan sangat rapi, telah membuat mogok nasional 2015 tidaklah sedahsyat yang terjadi di tahun-tahun lalu dan tidak seperti yang diharapkan para buruh. Efek yang terparah terjadi di tingkat unit kerja, dimana tampaknya ada kebingungan yang meluas di antara para buruh tentang arah gerakan mogok nasional yang mereka lakukan. Bahkan di Bekasi, kehadiran seorang anggota DPRD yang memiliki latar belakang serikat buruh di tengah massa aksi pemogokan diganjar dengan penangkapan dan pembubaran paksa yang vulgar oleh aparat. Hari-hari paska pemogokan nasioanal diisi ketakutan oleh aksi pembalasan pengusaha dalam bentuk PHK massal.
Di tahun pertamanya ini, tampaknya rezim “kerja, kerja, kerja” ini cukup berhasil menyediakan fondasi yang mereka idealkan bagi penciptaan kondisi bebas politik dalam hubungan industrial, seperti yang dijanjikan pada para investor. Kurang dahsyatnya efek gerakan mogok tahun ini membuat negara, sejauh ini, tidak merasa perlu bernegoisasi dengan tuntan gerakan buruh. Namun demikian, dengan tetap digelarnya “Mogok Nasional 2015” dengan segala keterbatasannya, menunjukkan bahwa rezim ‘kerja, kerja, kerja” belum berhasil meniadakan sepenuhnyak gerakan buruh yang telah relatif bangkit beberapa tahun terakhir. Demikian juga agenda pemerintahan Jokowi-JK yang hendak meniadakan sama sekali mobilisasi-mobilisasi buruh, masih akan terus dipertaruhkan dan tidak akan mudah terwujud tanpa ongkos mahal demokratisasi berupa pemberangusan serikat dan meningkatnya kekerasan negara di medan perburuhan. Kemampuan gerakan buruh bertarung keras dan berdaya tahanlah yang, saya yakin, akan jadi penentu demokratisasi melampaui hadangan represi gerbang pabrik.***