Kritik – Musik dan Mesin: Futurisme dalam Perkembangan Musik
Kliping – The Very Best of Fluxcup
Karya – Karya-Karya The Popo
Catatan Kawan – 50 Kencan Pertama Bersama Tragedi 1965
Mixtape – Boikot Bela Negara
LEMBAR KEBUDAYAAN INDOPROGRESS terbit lagi pada November ini. Pengantar edisi kami kali ini tidak akan berpanjang-panjang; kami sedang loyo, ringkih, dan sedikit kendor untuk urusan disiplin. Tenang, tidak berarti gara-gara kondisi di atas kami lantas ikut-ikutan dukung proyek pemborosan uang negara bernama Bela Negara. Apa pasalnya? Selain sepak terjang TNI yang berdarah-darah, coba pembaca hitung berapa kali mereka melakukan tindak indispliner di wilayah sipil. Intinya, kami dan mereka sama-sama kurang disiplin. Bedanya, cuma mereka yang boleh pegang senapan.
Pengantar ini ditulis menjelang International People’s Tribunal atas kejahatan kemanusiaan 1965. Pengadilan ini tentu tak memiliki kewenangan legal untuk menyeret para jagal ke meja hijau, namun ia menjadi bukti bahwa negara sedikit pun tak mampu menghadirkan rasa keadilan bagi korban setelah lima puluh tahun berlalu. Bagaimana tribunal ini bisa merajut solidaritas internasional untuk kejahatan kemanusiaan 1965, masih akan kita tunggu hasilnya. Yang jelas, inisiatif sekecil apapun untuk mengabarkan tragedi ini ke seluruh dunia patut diapresiasi.
Rubrik Catatan Kawan kali ini diisi ole Viriya Paramitha. “50 Kencan Pertama Bersama Tragedi 1965” secara singkat menelusuri politik ketakutan Orde Baru, dari era ketika Sampek Engtay dilarang pentas lantaran menampilkan atribut Tionghoa, hingga pelarangan pemutaran Samin vs Semen di kampus. Kabarnya, seorang dosen mengatakan bahwa film ini mengandung anasir-anasir komunis. Astaghfirullah, luar binasa benar iklim intelektual kita.
Mengenang Hari Pahlawan yang jatuh pada 10 November ini, kami memilih untuk menerbitkan mixtape anti-militerisme yang disusun Herry Sutresna AKA Morgue Vanguard. Lagu-lagu ini lahir dari berbagai pengalaman: perang Vietnam, bentrok dengan aparat, hingga menonton Muhammad Ali, petinju kulit hitam AS yang menolak wamil. Adalah sebuah pertanyaan bagi kita semua: mengapa pada jaman susah, tentara makin menyusahkan orang susah dan sedikit sekali lagu protes yang muncul?
Masih berkaitan dengan musik, kawan Aliyuna Pratisti dan Muhammad Firmansyah menulis esai berjudul “Musik dan Mesin: Futurisme dalam Perkembangan Musik” di Rubrik Kritik. Jika pembaca akrab dengan musik-musik mesin yang kaku dan tidak enak buat teman tidur itu, nah, Futurisme inilah biang keroknya. Pada zamannya, musik-musik macam ini adalah perlawanan terhadap elitisme opera. Makin kaku, makin bising, makin sulit disenandungkan, makin radikal pula musik—kira-kira demikianlah pesannya.
Terakhir, pada Rubrik Kliping, kami menyuguhkan kompilasi video parodi dari Fluxcup. Tidak ada kaitannya dengan 1965 dan tentara-tentaraan, saudara-saudara, tapi cukup untuk menghibur Anda sekalian ketika musim hujan sudah sampai di gerbang tapi bajingan-bajingan korporat pembakar hutan belum juga tertangkap. Semoga Anda tersenyum dengan kompilasi video yang diberi pengantar oleh kawan Martin Suryajaya ini.
Ilustrasi oleh Timoteus Anggawan Kusno