BELUM lama ini penggusuran dengan cara kekerasan terjadi kembali di Kampung Pulo, Jakarta Timur. Ini mengulang-ulang kembali cerita politik kekerasan terhadap rakyat kampung kota di Jakarta. Masalahnya, ini terjadi di era Gubernur Basuki Tjahya Purnama (Ahok) yang, katanya, adalah seorang yang pro-rakyat dan demokratis, dibandingkan gubernur-gubernur Jakarta sebelumya yang merupakan bagian dari oligarki Orde Baru. Menarik untuk ditelaah, mengapa Ahok memakai metode kekerasan yang arogan terhadap rakyat miskin, yang sebenarnya adalah pendukung utama pasangan Jokowi-Ahok dalam mencapai posisi Gubernur sekarang ini? Apakah Ahok sekarang sedang memperlihatkan identitas sebenarnya yang anti rakyat miskin? Atau ada penjelasan lain?
Ahok sebagaimana Jokowi, adalah fenomena baru dalam perpolitikan di Indonesia. Saat ini adalah era pasang naiknya birokrat-birokrat modernis/reformis, atau dalam terminologi kelas, pasang naiknya kelas borjuasi nasional baru dalam ekonomi politik Indonesia. Jokowi, Ahok, Risma, Ridwan Kamil, dan lainnya memperlihatkan sebuah ekspresi borjuasi nasional baru, yaitu tidak berasal dari oligarki Orde Baru, reformis, modernis, demokratis, anti korupsi dan artikulatif dalam membedakan dirinya maupun bertentangan dengan borjuasi rente (kapitalis birokrat) yang masih banyak menghuni lingkungan legislatif (DPR/DPRD) maupun eksekutif, baik di pemda maupun kementerian/lembaga Negara. Perbedaan bornas generasi baru ini dengan borjuis rente ini sudah jelas terlihat, bahkan pertentangan-pertentangannya seringkali tajam, sebagaimana bisa dilihat dalam kasus Ahok versus DPRD maupun Risma versus wagub dan DPRD.
Cara mereka memandang modernisasi kota juga mewakili pandangan bornas, yaitu good governance dan kapitalisme modern. Bagaimana cara mereka melakukannya, bervariasi tergantung dari figurnya dengan latar belakang ideologinya. Akan tetapi secara esensi mereka semua sama, hendak melakukan modernisasi kota yang sesuai dengan tatacara manajemen kapitalisme modern yang serba efisien dan efektif. Tidak terkecuali Ahok. Karenanya tidak perlu heran bahwa pada satu saat tertentu, akan terjadi perbedaan dan simpang jalan antara borjuasi nasional ini dengan kaum buruh dan miskin kota yang mendukungnya. Kepentingan rakyat pada dasarnya sama, yaitu kebutuhan dasar mereka hendaknya dipenuhi oleh pemerintah, khususnya dalam hal sandang, pangan, papan dan layanan dasar lain seperti listrik, air dan BBM/gas. Bagi bornas, politik pemenuhan kebutuhan dasar rakyat adalah juga politik mereka. Cuma perbedaannya, sampai seberapa jauh bisa dipenuhi dan sampai dimana titik pertentangannya dengan kepentingan borjuasi sendiri. Sampai seberapa jauh bisa dipenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut tergantung pada anggaran yang tersedia yang terkait dengan pos-pos anggaran lainnya (manajemen anggaran). Sementara sampai dimana titik pertentangannya, ini adalah ketika harus beradu dengan kepentingan borjuasi sendiri, yang tentu saja akan lebih diprioritaskan pada kepentingan borjuasi. Misalnya, pemukiman mewah yang sesuai dengan tata kota tentu tidak boleh diganggu-gugat, atau kepemilikan dan penguasaan lahan properti yang ribuan hektar dengan jalan yang legal tetap harus dijaga dengan baik. Demikian pula pemilikan tanah yang tidak jelas surat-suratnya dari kaum miskin kota atau buruh, harus rela menyingkir dan digusur, karena memang tidak sesuai dengan manajemen perkotaan modern. Hanya warga yang punya surat kepemilikan lahan bersertifikat dan punya kartu tanda penduduk yang akan dilayani. Ini adalah titik-titik pertentangannya. Dan ini akan berakibat luas sebagaimana kasus-kasus penggusuran yang kita jumpai sehari-hari. Biasanya bornas liberal berpikiran seperti itu. Berbeda dengan bornas kiri seperti Sukarno.
Kota di negeri-negeri kapitalisme primitif atau kapitalisme pinggiran selalu merupakan ajang pertarungan kelas. Khususnya masalah tanah atau lahan, karena tanah tidak dapat diproduksi lagi atau merupakan barang langka. Karenanya politik agraria perkotaan akan selalu keras dan penuh kekerasan. Perlu dipahami bahwa asal kata istilah borjuasi (bourgeoisie), merujuk pada warga baru dari kota-kota yang baru terbentuk di dalam sejarah Eropa sejak abad 11. Orang-orang kota (borjuasi) ini berbeda dengan orang-orang desa maupun tuan-tuan tanah pedesaan, karena mereka membawa kehidupan yang lebih modern, bersifat industri dan bebas dari kekangan siapapun (terutama bebas dari kekuasaan tuan tanah dan aturan-aturan adat). Kaum borjuasi inilah yang membentuk kota-kota modern di Eropa (dan Amerika, Jepang) yang seiring dengan tingkat peradaban kapitalisme yang semakin maju. Karenanya kota-kota di Barat menunjukkan citra kelas borjuasi yang bercitarasa tinggi dan mewah, dan manajemen perkotaan dan tata-kota diurus sedemikian baiknya guna melayani kenyamanan kaum borjuasi, dan tentunya dinikmati warga kota lainnya. Demikian pula antara satu kota dengan kota lainnya tidak banyak berbeda dan merata, tidak terjadi kesenjangan antar kota. Bahkan ibukota sering lebih kecil ukurannya ketimbang kota-kota bisnis/perdagangan lainnya. Ini karena kaum borjuasinya bersepakat membangun kotanya masing-masing tanpa harus memusat.
Berbeda dengan di negeri kapitalisme pinggiran seperti Indonesia, dimana perkembangan kota-kotanya dibangun sesuai dengan kepentingan kolonialisme. Di dalam kota-kota tersebut terjadi segregasi yang tidak saja bersifat kelas, tetapi juga segregasi ras, etnis, golongan, agama dan lainnya. Kota-kota di kapitalisme pinggiran hanya berfungsi melayani mesin eksploitasi kolonialisme. Bagian-bagian kotanya mencerminkan pembedaan antara golongan Eropa dengan golongan kulit berwarna, yaitu warga terjajah, baik itu dari negeri-negeri timur jauh (warga pendatang yang dibutuhkan tenaganya seperti orang Tionghoa, India, Arab ataupun Afrika) maupun warga pribumi. Segregasi atau pembedaan ini kemudiannya akan menjadi segregasi kelas ketika negeri-negeri tersebut merdeka, yaitu pembedaan antara kaum kaya, kelas menengah dan kaum miskin. Bedanya, kaum kaya atau borjuasi di negeri kapitalisme pinggiran tidak mempunyai cita-cita peradaban yang konsisten dijaga sebagaimana kaum borjuasi Barat (dan Jepang), karena kelas borjuasinya tidaklah mapan (ajeg) atau bersifat temporer. Borjuasi lumpen atau borjuasi rente yang berkuasa tidak mempunyai politik kota yang jelas. Idenya hanyalah memperkaya diri sendiri dan keluarganya secara instan dengan membeli rumah-rumah atau properti yang mewah. Mereka tidak membangun sebuah kota modern yang bagus, layak, mewah atau tertata dengan baik. Konglomerat properti hanya tertarik membangun bisnis properti kota-kota baru modern untuk hunian golongan menengah ke atas (kaum kaya saja), yang semakin memperkuat segregasi kelas. Jadi bisa dimengerti bahwa politik perkotaan kaum borjuasi (rente) dan borjuasi komprador adalah amburadul dan semrawut. Ini berbeda dengan borjuasi kecil atau kelas menengah yang punya kecenderungan bertentangan dengan borjuasi rente, karena mereka ikut merasakan dan menjadi korban dari kesewenang-wenangan borjuasi lumpen ini.
Kota-kota di kapitalisme pinggiran mencerminkan kepentingan kelas borjuasi rente dan borjuasi komprador dalam melayani modal besar. Tugas kota adalah melayani lalu lintas dan arus bebas kepentingan modal besar dan perdagangan bebas, khususnya modal internasional yang beroperasi di wilayah perkotaan mereka. Karenanya tidak heran bahwa baik di Jakarta atau di Bangkok atau di Manila, telah menjadi kota primat (primate city). Ini adalah konsep yang merujuk kepada kota yang menyedot semua sumberdaya nasional untuk selalu berada di kota tersebut. Kota primat biasanya menyedot sumberdaya nasional hingga 70-80 persen. Tidak heran Jakarta menyedot arus keuangan nasional hingga 70 persen untuk hanya berputar-putar di Jakarta saja. Demikian pula sumberdaya lainnya, seperti industri, perdagangan, bisnis, semuanya dipusatkan dan ditempatkan di ibukota saja. Dengan demikian jarak kota primat dengan kota keduanya sangat jauh. Contohnya kesenjangan Jakarta dengan Surabaya, atau Bangkok dengan Chiangmai, atau Manila dengan Baguio. Ini adalah ekspresi paling jelas dari salah urus perkotaan, yang bukan saja diakibatkan oleh salah urus dari borjuasi (rente dan komprador)nya, tetapi juga akibat warisan kolonialisme masa lalu.
Dengan demikian, apa ekonomi politik perkotaan Jakarta? Tidak lain kesenjangan kelas yang terjadi karena akibat-akibat kolonialisme (dan lalu neo-kolonialisme), dan praktik-praktik salah urus yang terus terjadi dari borjuis rente (kapitalis birokrat) karena menjalankan sebuah kapitalisme kota yang primitif. Munculnya borjuasi nasional baru-baru ini memerlukan jalan yang panjang untuk bisa sampai kepada politik perkotaan yang menjadi idaman semua orang dan warga kotanya. Mungkin harus ada revolusi mental yang benar-benar dijalankan dengan keras dan tegas oleh mereka sendiri, untuk bisa mencapai kepada tujuan tata-kota yang modern dan beradab. Terutamanya penting untuk digalang aliansi permanen antara kaum buruh dan miskin kota dengan kelas menengah (borjuis kecil/menengah), karena kepentingan mereka yang relatif sama. Dengan bornas, harus dicari kesepakatan-kesepakatan prinsipil dan teknis menyangkut pembangunan kota yang modern, hijau, beradab sekaligus manusiawi. Peradaban demokratis dan maju hanya bisa dibangun oleh kesadaran progresif dan humanis, yang mencita-citakan ruang kota bersama yang nyaman, modern dan bisa dinikmati oleh semua warga kota.***